Bismillaah..
Sebait Kisah Pejuang DB
Hiliran angin bergantian memaksa masuk ke dalam menyentuh rongga-rongga
dada yang sesak. Menambah ceria dalam kepenatan yang tercipta. Bersatu
dengan nuansa senja dalam keserasian. Semangat baru pun datang bersama
kemeriahan dalam kesederhanaan. Bersiap menyambut hari dalam acara yang
ditunggu.
Acara yang sudah jauh-jauh hari diagendakan oleh para pejuang DB,
Pejuang Desa Binaan. Itulah sebutan kelompok pejuang yang bisa jadi
tidak dirasa kehadirannya oleh sekelilingnya. Sebutan sederhana yang
menambah semangat jiwa dalam lelahnya aktifitas hari ini. Para pejuang
yang berasal dari mahasiswa biasa berhati natural. Tidak ada dusta dalam
berkasih sayang, bukan? Itulah pemberian kecil dari seorang pejuang.
Seperti biasanya setiap Selasa dan Rabu para pejuang DB bertemu dengan
wajah kecil penuh keceriaan, bisikan nyaring si kecil yang setiap
harinya dipenuhi semangat belajar. Berjumpa kembali di tempat belajar
yang tidak asing lagi bagi para pejuang DB dan pejuang kecil masa depan.
Di sebuah tempat berukuran amat cukup untuk melakukan pembelajaran dan
menuntaskan canda tawa bahkan tangis yang sempat tertunda di sekolah.
Sebuah tempat yang sungguh familiar bagi para mahasiswa salah satu
Universitas Negeri di Jakarta yang sering berdiskusi atau sekedar
berbincang-bincang hangat di sana. Sekaligus tempat yang tepat untuk
para para pejuang DB melepas kepenatan setelah berlelah - lelah mengemban
ilmu di kelas berteman rumus-rumus, laporan, praktikum , dan hafalan
yang lagi-lagi demi menambah pengetahuan yang tak kunjung penuh.
Memang sore yang cukup indah, berteman angin yang menyejukan. Di bawah
atap Saung Ungu mereka berkumpul. Atap saung yang mendapatkan sentuhan
ungu memancarkan keteduhan. Pohon-pohon rindang di pinggiran saung tak
kalah menambah keindahan yang menentramkan kala itu.
Hingar bingar suasana sudah mulai terdengar menambah keceriaan antara
pejuang. Rasanya mereka tidak dapat lagi menunggu terlalu lama, ingin
segera memulai asiknya sains yang kesekian kalinya. Program DB yang
diadakan dua minggu sekali. Kepala desa yang sering dipanggil “ka
Danang” oleh pejuang kecil DB memulai acara dengan amat meriah. Ya,
tercipta cita kekeluargaan yang hangat.
“Ka Danang, ayo ayo kak, kita mulai aja mainnya,” Seorang pejuang kecil DB berteriak merengek dengan mulut mungilnya.
“Iya, kak, ayo kak. Panas nih.” Terdengar suara sahut menyahut di antara
kerumunan pejuang DB dan pejuang kecil DB di bawah atap ungu yang cukup
sedikit menyerap panas yang datang sesekali.
“Oke oke, nih kakak punya telur ayam. Siapa yang percaya kalau kakak tekan, telur ayam ini gak akan pecah?”
“Pecah lah kak, namanya juga telur ayam,” ujar Jelang, salah seorang
pejuang kecil DB yang cerdas. ia menggumam sedikit keras bukti yakin
dengan perkataannya.
“Yaudah, kalau gak percaya, coba Jelang maju.”
Jelang dengan santainya maju dengan wajah yang sepertinya dipenuhi
keingintahuan tentang telur ayam yang dipegang pak kepala desa.
Jelang mencobanya dengan kekuatan yang dianggapnya sudah amat maksimal.
Namun, ia tak juga berhasil memecahkan telur tersebut dengan keadaan
seimbang.
“Nah, siapa ayo yang mau mencoba lagi?
"Sepertinya kakak - kakaknya juga
harus coba nih. Wah siapa ya, nah ayo ka Endra saja.
Ayo ayo kak Endra
maju ke depan,”
Kak Danang melambaikan tangan sebagai isyarat untuk
segera menghampirinya. Kak Endra pun menyetujuinya sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Hihi. Memang
seperti itulah pejuang DB yang satu itu, lucu dan sungguh menambah
kehangatan keluarga Desa Binaan.
“Sekarang ayo kak Endra mempraktikan seperti Jelang tadi,” Kak Danang
memeragakan gerakan memecahkan telur seakan-akan mengerahkan kekuatan
yang super.
Endra mencobanya, kekuatan kecil.. oh tak ampuh. Lebih kuat mungkin..yah, sepertinya kurang kuat. Sekuat tenaga..prak.
“Wah, telurnya pecah.”
Tiba-tiba..
“Selamat ulang tahun, kami ucapkan. Selamat panjang umur, kita kan
do’akan…” Nyanyian itu terintegrasi dengan tangga nada yang beraneka
macam dan dengan intonasi yang beragam. Padahal Endra tidak sedang ulang
tahun. Hihi. Memang kekeluargaan yang amat dinanti datangnya. Endra pun hanya tersenyum dengan sedikit telur yang mengenai bajunya.
Bau amis pun bersirkulasi di antara dirinya. Endra..endra.. baru menjadi
pejuang DB sudah mendapat kejutan spesial. Sungguh luar biasa mahasiswa
baru itu.
Setelah cukup puas melihat acara yang begitu sarat makna seiring
berjalannya waktu, para pejuang kecil pun segera pulang karena melihat
kondisi awan yang mulai gelap dan tak memungkinkan lagi untuk bersenda
gurau di bawah Saung. Namun pejuang DB yang kelelahannya sudah cukup
terbayarkan dengan gelak tawa dan inspirasi di sore itu belum
diperkenankan pulang. Demi menjalin tali silaturahim antar pejuang
dibiasakan untuk mengevaluasi dan saling memberikan afirmasi.
Namun tiba-tiba keributan antara Mia dan Fajri terdengar…
“Ada apa Mia, Fajri? Kenapa kakak mendengar kegaduhan? Kalian tidak
langsung pulang?” Mahasiswa yang berusaha menjadi pejuang DB sejak tahun
2012 ini yang biasa disapa Kak Jihan mulai menghampiri.
“Ini kak, dia rusakin rem sepeda aku, hiks,” Mia berkata sambil menumpahkan air matanya.
“Dih, apaan kak, nih aku udah mau bayar nih kak buat dia benerin remnya.
Dikasih goceng gak mau kak. Digantiin gak mau. Yaudah,” Fajri mulai
mengelak dan mempertahankan egonya selaku anak kecil.
Fajri, pejuang kecil DB yang mulai terdaftar di DB sejak setahun yang
lalu. Memiliki khas yang amat berbeda dengan yang lainnya. Ia dan
Jelang memang sejoli, tak jauh beda. Bahkan pejuang DB sering bingung
dibuatnya karena tak tau cara apa yang cocok menaklukan keaktifan mereka
yang sungguh berlebih. Mia, yang juga pejuang kecil DB. Sama halnya dengan Fajri yang duduk di
bangku kelas 5 SD dan cukup aktif di awal tahun 2013 ini. Sering
terlihat diledeki oleh teman - temannya padahal ia anak yang baik dan
manja terutama pada Kak Jihan, mahasiswa biasa yang belajar menjadi
pejuang DB sesungguhnya.
Dengan modal kasih sayang yang ia dapat dari evaluasinya yang hampir
satu setengah tahun di DB, ia berharap bisa menaklukan kerasnya hati
Fajri yang memang salah jika diperhatikan dari cerita yang diungkapkan
keduanya. Irgi dan Amat juga ikut berkata seakan-akan menjadi saksi.
Namun lagi-lagi Kak Jihan tahu tatapan keaslian dan kepalsuan pejuang
kecil yang berusaha membela teman satu genk nya ini.
“Mia, mamah ada di rumah?,” lontaran lembut Kak Jihan terdengar
menggetarkan gendang telinga Mia yang sebelumnya masih dirundung
ketakutan omelan ibunya saat sampai rumah nanti.
“Ada kak,” jawab Mia sambil menganggukan kepalanya.
“Yasudah, nanti kakak coba jelasin ke mamah yah,” Kak Jihan mencoba menenangkan Mia.
Pandangannya kembali ke arah Fajri.
“Fajri, nanti temani kakak ke rumah Mia yah,” ucap Kak Jihan sambil
melempar tatapan lembut yang diajari ibunya padanya selama
membesarkannya. Hingga saat tepat seperti itulah ia menggunakannya demi
menaklukan hati pejuang kecil DB yang satu ini.
Segera Fajri mengelak.
“Ah, gak mau ah kak. Saya udah ada janji. Lagian rumahnya dia kan jauh.”
“Memang rumah Mia jauh?” tanya Kak Jihan pada Mia.
Mia menggeleng.
“Fajri, kakak tetap mau Fajri temani kakak ke rumah Mia untuk minta maaf
ke mamahnya. Oke?” Kak Jihan mulai menegaskan suaranya sebagai tanda ia
tak sedang main-main.
Fajri merasa salah tingkah tak karuan sejak awal tadi berbincang dengan
Kak Jihan, ia tidak dapat merasa tenang jika ia bersalah.
“Oke kak, lagian aku juga gak takut ke rumahnya.”
Kak Jihan merenung sejenak.
“Kakak gak berpikir Fajri takut kok, justru kakak tahu Fajri pasti mau
bertanggung jawab dengan yang sudah Fajri perbuat tadi,” Kak Jihan mulai
melembutkan suaranya sebagai tanda ia merasa bangga dengan muridnya
yang satu ini.
Akhirnya setelah beberapa menit membujuk ego keras yang bersarang di
pikiran Fajri, kini lumat juga dengan segenap kelembutan yang perempuan
itu berikan.
Mereka segera menuju rumah Mia yang memang begitu sulit dihafal karena
tikungan yang begitu banyak dilewati. Sampailah mereka di depan rumah
Mia.
Rumahnya berada di pedalaman kota Jakarta yang memang terpencil.
Matahari pagi hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki lantai dua
di rumahnya. Begitu pun rumah Mia, terdapat dua tingkat di rumahnya
walau berukuran mini tetapi cukup ampuh untuk mengeringkan baju-baju
yang dijemur oleh ibunya.
Sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang, Ia harus segera berbicara
pada ibunya dan mengajak Fajri meminta maaf pada ibu Mia.
Kak Jihan melihat ibu Mia di lantai atas sedang menjemur baju .
“Assalamu’alaikum ibu,” Kak Jihan melontarkan senyum pada ibu Mia yang
terlihat kaget dengan kedatangan Kak Jihan, Mia, Fajri, dan beberapa
teman Fajri yang tergabung dalam genk nya, sebut saja Irgi, Amat, dan
Tio.
“Ya, wa’alaikumussalam kak, owalah, bentar ya kak saya turun,” jawab ibu Mia terlihat salah tingkah.
“Oh iya, Bu,” Kak Jihan menjawabnya dengan tenang agar ibu Mia juga terbawa tenang.
Tibalah Ibu Mia di depan pintu dengan memakai baju yang sewajarnya
digunakan oleh seorang ibu rumah tangga di rumahnya. Daster panjang yang
memang nyaman untuk melakukan aktifitas rumah tangga sehari-hari.
“Ayo masuk kak,” ajak ibu Mia.
Mia juga sambil menarik tangan Kak Jihan untuk mengajak masuk ke dalam
ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang tidur untuk keluarganya. Sungguh
hebat keluarga ini, keprihatinan tak membuat mereka putus asa, ucap Kak
Jihan dalam hati.
Dengan segera ke poin pembicaraan, Kak Jihan menjelaskan yang terjadi
dan maksud kedatangan mereka ke rumah keluarga mereka. Setelah
menjelaskan dengan jelas kejadian yang sebenarnya..
“Begitu Bu ceritanya. Jadi Fajri, ke sini ingin meminta maaf sama ibu atas kesalahannya.”
“Fajri, fajri, sini masuk. Katanya mau minta maaf ke mamah Mia? Ayo
sini,” Kak Jihan memanggil tetap dihiasi senyuman karena tak ingin Fajri
merasa tegang.
Fajri pun masuk dan segera meminta maaf pada ibu Mia.
“Mamah Mia, saya minta maaf yah karena tadi sudah gak sengaja merusak
rem sepedanya Mia,” ucap Fajri sedikit menggetarkan nada kegelisahan.
“Iya,” ucap ibu Mia sambil mengusap kepala Fajri dengan sentuhan kasih sayang seorang ibu bahkan seorang wanita.
“Saya khawatir jika hal ini terus dibiarkan nantinya akan menjadi watak
anak sampai besar, Bu. Jadi saya ajak Fajri ke sini untuk langsung
meminta maaf pada ibu sebagai bentuk tanggung jawab walaupun sederhana,”
perlahan Kak Jihan menjelaskan pada ibu Mia.
“Iya, Kak. Tadi saya pikir ada apa rame - rame datang ke sini. Walah,
ternyata masalah ini. Sepeda itu memang saya pakai untuk kerja besok
pagi. Haha. Tapi gak apa-apa kok,” Ibu Mia menjelaskan dengan perasaan
lega karena sudah tahu maksud kedatangan mereka ke rumahnya.
“Iya, Bu. Sekali lagi kami minta maaf ya, Bu. Kalau begitu kami pamit dulu, Bu. Sudah mau maghrib.”
“Oh iya Kak, hati-hati ya.”
“Iya, Bu. Wassalamu’alaikum,” salam Kak Jihan sambil lagi-lagi melontarkan senyum.
“Wa’alaikumussalam.”
Adzan Maghrib berkumandang, Mia dan temannya menuju mesjid dekat rumah
untuk shalat berjama’ah. Kak Jihan dan Fajri menuju lokasi yang
kebetulan satu arah, Kak Jihan ke arah kosnya dan Fajri ke arah
rumahnya.
Di perjalanan yang penuh keheningan suasana ba’da adzan magrib, Kak
Jihan mengucapkan kata singkat yang jarang terlontar dari mulutnya. Ia
berkata sambil menepuk pundak Fajri seperti seorang kakak terhadap
adiknya. Kata-kata yang hanya ia berikan pada seseorang yang memang
berhasil membuatnya salut. Kata-kata yang bisa membuat pendengarnya
memotivasi dirinya menjadi lebih baik dan terus lebih baik. Kata-kata
ajaib itu adalah…
“Fajri, Kakak bangga dengan Fajri hari ini.”
Nb:
Tema: Cita Cinta Guru Indonesia
Judul: Sebait Kisah Pejuang DB
Created by : Evarani Jihan Yoanda (Vanda Al Khansa))
Alhamdulillaah..
Copy Paste from