Minggu, 15 November 2020

0

Rumah Ibu by Anggi Saputri

Rumah Ibu

“Aku sudah bilang berapa kali kalau Andin butuh cincin itu!!” Ucap seorang wanita berusia 30-an yang tengah berada di sebuah ruang tamu. Pria di depannya hanya memandang wanita itu seakan tidak percaya atas perkataan wanita di depannya itu. “Lidia kamu pikir saya akan membenarkan tindakan kamu dan menganggap semua ini rasional? Yang benar saja kamu.” Jawab pria dengan setelan jas itu seiring dengan mengusap kasar wajahnya. Sedetik kemudian mereka saling menghela napas berat dan menoleh bersamaan ke arah sebuah kamar.

“Ayo main sama aku, kamu lagi ngapain sih? Kamu lagi telponan? Telponan sama siapa sih? Yaudah 

tapi nanti kita main ya. Hahahahaha, aku senang sekali.”

7 tahun kemudian.

“Happy birthday to you, happy birthday to you. Happy birthday anakku Andin, happy birthday to you. Selamat ulang tahun anakku, happy sweet seventeen my dear.” Ucap Lidia seiring mencium kening anak gadisnya itu. Andin hanya tersenyum tipis dengan wajah lelahnya, lingkaran hitam di bawah matanya juga tidak dapat ditutupi, dari bibir pecah-pecahnya berucap “ Thanks, mom” Lidia kembali mencium kening anak semata wayangnya itu dan mengusap tangan anak gadisnya yang tersemat cincin hitam legam di salah satu jari manisnya itu. “Mama tahu kamu kuat dan bisa mengahadapi ini semua, stay with me for a long time okay?” Lidia memandang anaknya dengan senyuman tanpa luntur, senyuman pengharapan itu yang membuat Andin mengangkat sudut bibirnya. Tersenyum. “Y-yes, mom” Jawab Andin disertai senyumannya itu.

Setelah merayakan ulang tahun sederhananya itu, Lidia kemudian merapihkan barang-barangnya dan tidak sengaja melihat sebuah surat tergeletak di meja ruang tamunya. Dia lupa jika kemarin satpam apartemen memberikannya surat, dari rumah sakit katanya. Dengan tidak acuhnya Lidia membuang surat itu ke tempat sampah. Entah berapa kali surat dari rumah sakit mantan suaminya itu dikirimkan dan berakhir ke tempat sampah bahkan tanpa sidikitpun dibuka. Lidia tidak ingin tahu apa isinya, ia sudah muak jika mendengan kalimat “Rumah Sakit” dalam pikirannya hanya ada orang-orang yang dibencinya. Lidia kembali melakukan aktivitasnya pagi ini, tidak lama kemudian suster untuk Andin sudah tiba yang berarti juga sudah waktunya Lidia berangkat kerja.

“Mama tinggal dulu ya Ndin, mama kerja dulu” Ucap Lidia sembari mengusap kepala anaknya dengan lembut. Kemudian Lidia pergi, pergi ke tempat kerja yang sangat ia benci, rumah sakit. Di sepanjang perjalanan, Lidia menggerak-gerakan kakinya tanpa henti dan selalu menggigit jari-jari tangannya, ketika sampai di parkiran Lidia mengamati beberapa orang yang berlalu lalang. Menunggu jam menunjukkan pukul 07.50 pagi, dengan mengetuk-ngetukan jarinya diatas setir mobil. Tidak lama kemudian ia berhenti, pukul 07.45 sepasang suami istri keluar dari sebuah mobil, terlihat bahagia. Setelah berlalu 5 menit, tepat pukul 07.50 Lidia keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke rumah sakit dengan percaya diri. Kini kegelisahannya seakan sirna.

Di rumah, Andin mulai menjalani kesehariannya yang dimulai dari mendengarkan percakapan berbahasa inggris dengan earphone, berlatih piano, mengikuti kelas online, dan sebagainya. Andin yang sedang memainkan piano dengan handalnya seketika berhenti, “Kamu mau dimainkan lagu apa? Ah lagu itu? Aku juga suka, baiklah.” Ucap Andin sembari melihat jari-jemarinya. Suster yang melihat hal itu mulai beranjak dari tempat duduknya menuju kamar mandi dan menyalakan keran air di bathube. Sang suster masih terus berada di dalam kamar mandi, dengan mengepalkan sebelah tangannya dan tangan yang lain menahan pintu kamar mandi. Dari dalam kamar mandi yang berisik dengan kucuran air keran disusul samar-samar suara lantunan piano.

Lidia sedang berbincang dengan salah satu pasiennya, bertanya dengan penuh kehati-hatian sembari mencatat perkembangan pasien itu. “Terkadang ada suatu hal yang menjadi semacam pemancing, seperti ketika saya terus-terusan melakukan hal-hal yang rutin saya lakukan sejak dahulu. Maksud saya, saya tidak benar-benar menyukai apa yang saya lakukan itu yang sebenarnya sudah saya lakukan dalam waktu yang lama.” Ucap pria berumur 25 tahun itu, tepat hari ini dia berulang tahun. “Maksud kamu, kamu tidak terlalu suka hal-hal yang dilakukan secara rutin. Seperti itu? Dan karena hal itu pula yang membuat kamu bisa kambuh?” Tanya Lidia dengan senyum hangat yang dia keluarkan. 

Lidia beristirahat sejenak dengan menyeduh kopi sembari melirik hasil wawancaranya dengan pasien sebelumnya. Memainkan jarinya sebentar, lalu meraih ponselnya untuk menelpon seseorang. Setelah selesai memainkan piano, Andin segera bangun dari kursinya dan melangkah menuju dapur. Ketika melewati kamar mandi Andin berhenti lalu memiringkan kepalanya, terheran sejenak lalu Andin memerlihatkan senyumnya. Suster yang berada di dalam kamar mandi menyadari jika Andin telah selesai bermain piano, ia dengan tergesa-gesa merogoh kantong celananya tetapi apa yang ia cari ternyata tidak ada di sana. “Aduh! Aku lupa lagi” Sesal sang suster.

Sesampainya di dapur, Andin melihat sebuah handphone yang berdering, ia hanya diam menatapnya. “I hate the name. I hate, hate, hate, hate, hate.” Ucap Andin menandingi nada dering handphone itu sendiri. Setelah handphone itu tidak berbunyi, Andin mulai mencari sesuatu di dapur itu. 

Lidia merasa kesal karena orang yang tengah ia telpon tidak mengangkatnya, tidak lama kemudian dari jendela ruangannya ia melihat pasiennya sedang merayakan ulang tahun bersama ibunya hari ini. Lidia kemudian menghela napas super berat dan tersenyum senang. Baru saja ia ingin kembali ke meja kerjanya, sebuah pemandangan aneh menghujam kornea matanya. Ia melihat pasiennya mulai mengamuk, menangis ketakutan, dan tiba-tiba menodongkan sebuah pisau yang entah bagaimana bisa ia 

dapatkan.

Lidia dengan cepat keluar dari ruangannya dan memanggil satpam untuk bergegas ke taman rumah sakit. Dalam jarak sekitar 2,5 meter Lidia berhenti, terperangah melihat darah yang sudah mengalir di tangan pasiennya dan ibunya yang tengah tergeletak tidak berdaya. Pasien Lidia langsung dijaga oleh satpam, Lidia dan beberapa petugas medis membawa korban ke rung UGD. Sepanjang perjalanan di koridor rumah sakit Lidia berusaha membuat korban tetap tersadar, “Mela, kamu tetap sadar ya Mela, Mela, Mela, stay with me, don’t close you’re eyes, I beg you, Mela please.” Ucap Lidia sembari memegang tangan korban. “Lid, I’am wrong. Deri tidak pernah menyukai perayaan ulang tahun. Haah, haah. Selama ini dia hanya menahannya, dia selalu ingat kenangan buruknya. Haah.” Ucap korban sembari menahan sakit.

Lidia berhenti didepan pintu UGD, ia melihat seorang dokter wanita yang akan memasuki ruangan untuk melakukan tindakan dengan segera. Sejenak dokter wanita itu bersitatap dengan Lidia kemudian segera memasuki ruang UGD. Lidia kembali meraih handphonenya untuk menelpon seseorang. Seketika itu juga dia bergegas ke arah parkiran mobil dengan tergesa-gesa, saat perjalananya menuju parkiran seorang pria berpakaian jas mencoba menghentikan Lidia. “Kamu lihat apa yang terjadi sama Deri dan Mala berusan? Kamu tahu kalau Andin tidak mendapatkan perawatan yang baik akan seperti apa? Hah?” Ucap pria itu dengan memegang tangan Lidia kuat-kuat. “Berhenti ikut campur urusan saya, dan jangan pernah sentuh saya lagi. Apalagi seolah-olah peduli dengan anak saya!!!” Balas Lidia yang menepis tangan pria berpakaian rapi itu.

Lidia kembali berlari menuju mobilnya dan tanpa henti terus menelpon seseorang. Sekarang mobilnya sudah berlalu dari parkiran rumah sakit itu. Mengabaikan pria yang tadi menahannya sedang mengetuk-ngetuk kaca mobilnya. “Anakmu itu juga anakku Lid!!!” Ucap pria itu lagi yang berusaha menghentikan Lidia. Lidia menangis sejadi-jadinyaa, tanpa henti ia berteriak-teriak histeris menangis dengan kencang. Pikirannya tidak karuan membanyangkan apa yang terjadi di rumahnya saat ini. Setelah sampai, Lidia dengan cepat berlari masuk ke dalam rumahnya. Hening. Tidak ada musik klasik yang seharusnya disetel untuk Andin, tidak ada suster, tidak ada Andin, Lidia mulai memanggil-manggil anaknya dengan histeris.

Lima menit berlalu, tidak ada satupun orang yang menjawab Lidia. Entah itu sang suster ataupun anaknya. Sampai pada pengelihatannya tertuju pada sebuah kamar mandi, Lidia membuka kamar mandi itu seketika itu pula ia hanya menatap isi kamar mandi itu dengan tatapan kosong. Lidia mulai terduduk di depan pintu kamar mandi, di sana ia melihat tiga amplop yang berserakan. Lidia membuka sebuah amplop yang berada paling dekat dengan dirinya. Bertuliskan 21 Juli 2015.

# 21 Juli 2015

Hari-hari di SMP sangat membosankan, tapi di rumah lebih membosankan. Belajar bahasa inggris, piano, musik klasik, pertengkaran Ayah dan Ibu. Dan perselingkuhan Ayah, Ibu yang mulai kehilangan kepercayaannya terhadap pekerjaannya sendiri. Ibu yang mulai membenci rumah sakit, jujur aku tidak membenci rumah sakit tapi karena Ibu membencinya aku juga harus membencinya. Aku sering mengalami gangguan tidur, terlalu banyak Bu…. Terlalu banyak yang aku pikirkan Bu. Aku tidak bisa fokus belajar, aku hanya terpikir bagaimana perasaan Ibu, bagaimana keadaan Ayah, apakah aku bukan anak yang baik sampai Ayah pergi dari rumah? Bu kumohon jawab, jangan hanya ada sorot mata pengharapan itu. Aku tidak bisa dan tidak akan menjadi alat balas dendam kepada Ayah. 

Lidia terperangah setelah membaca isi amplop itu. Segera ia membuka satu amplop lagi di dekatnya. Bertuliskan 21 September 2015

# 21 September 2015

Andin tidak tahu apa yang kemarin terjadi, tetapi Ibu sangat marah kepada Andin. Bu, Andin tahu Andin juga sudah membaca surat perceraian yang dikirim Ayah. Andin tidak melakukan kesalahan apapun kepada Ibu. Andin tahu siapa perempuan yang akan menikahi ayah, Andin tahu betuk tante itu. Tapi apa salah Andin sampai-sampai Ibu sangat marah? Bu, Andin lelah. Bu, Andin ingin menyusul Leora. Setiap malam Leora datang Bu, sepi katanya di sana. Andin mau ikut Leora Bu, Andin akan bermain terus dengan Leora. Andin tidak akan membiarkan Leora jatuh ke air seperti waktu itu, Andin janji. Andin sayang sama Ibu.Lidia menggelengkan kepalanya seakan tidak percaya, menggerang menangis sejadi-jadinya. 

Tersisa satu amplop yang belum terbuka, Lidia dengan wajah tak karuan membuka amplop terakhir. 

Bertuliskan 21 Oktober 2015

#21 Oktober 2015

Bu, hari ini aku benar-benar bertemu dengan Leora, kenapa Ibu tidak percaya dan menganggap ini ulah makhluk halus Bu? Aku juga tidak butuh cincin itu Bu, Andin benar-benar bertemu dengan Leora. Bu, biarlah ayah bahagia dengan kebahagiannya sendiri dan kita bahagia dengan kebahagiaan kita sendiri. Ibu adalah kebahagiaan Andin, dan Andin juga bisa menjadi kebahagiaan Ibu. Andin tahu hari ini Ibu benar-benar berpisah dengan Ayah, Ibu benar-benar akan membenci rumah sakit, Ibu akan terus menganggap Andin tidak bertemu Leora. Andin benar-benar ingin bersama Leora Bu, Andin mau bermain lebih lama dengan Leora. Ibu, tidak ada sedikitpun niat untuk menyakiti hati Ibu tapi Andin ingin pergi dulu dari rumah Ibu. Jika Andin bukan kebahagiaan Ibu, maka biarkanlah Andin pergi Bu menyusul Leora.

Lidia terpaku pada kertas yang sedang ia pegang. Habis. Setiap tetes air mata yang telah keluar kini sudah habis, napas Lidia terasa berat, pandangannya kabur dan seketika pengelihatan Lidia menjadi gelap. Lidia terbangun di atas sofa ruang tamu, seluruh badannya terasa pegal. Lidia yang mulai mendapatkan kesadarannya langsung berlari kea rah kamar mandi. Mata Lidia mngerjap tidak percaya pemandangan yang seharusnya ada di sana kini tidak ada. Tiba-tiba handphone Lidia berbunyi, terpampang jelas tanggal 21 Juli 2015. Lidia menelan salivanya dengan susah payah. “Halo?” Ucap Lidia terengah-engah. “Tidak Mel, aku tidak butuh lagi cincin itu. Dan deri, kamu harus membawa Derik e rumah sakit.” Ucap Lidia dengan tergesa-gesa dan langsung mematikan panggilan telponnya itu.

Lidia segera beranjak ke kamar putrinya, di sana Lidia memandangi wajah anaknya itu melihat di atas meja belajarnya terdapat selembar kertas bertuliskan #21 Oktober 2015 Bu hari ini aku benar-benar bertemu dengan Leora. Hanya sampai kalimat itu, belum dilanjutkan oleh Andin. Andin saat ini yang sedang tertidur tidak akan mendengar suara tangis Lidia, tidak akan melihat air mata Lidia yang membanjiri seluruh wajahnya. Dengan tangan gemetar, Lidia meraih handphonenya, menelpon seseorang. Setengah jam kemudian petugas rumah sakit datang, Lidia masih terus menangis dalam diam. Hanya air matanya yang menjadi saksi bahwa ia sedang menangis. Lidia bangkit untuk membuka pintu rumahnya, seiring dengan itu di sepanjang perjalanan menuju pintu rumahanya. Lidia meletakkan kembali sebuah bingkai foto yang di dalamnya terdapat tiga orang yang tengah merayakan kelulusan dan satu lagi bingkai foto yang berisi dua anak kecil perempuan. kemudian Lidia membuka pintu rumahnya.

***Selesai***

Anggi Saputri

@anggisptr07

0 comments:

Posting Komentar