Selasa, 02 November 2021

92

Berguru Pada Bunga Tidur karya Rida Nur Rochmah

Angin berhembus kencang membuat ranting – ranting pohon menabrak jendela kamar. Sudah sekitar lima jam hujan tak berhenti turun, entah jam berapa sekarang, terlalu malas untuk beranjak dari ranjang empukku ini.

“Dek, bangun. Siap – siap sekolah.” ujar wanita paruh baya dengan daster bermotif bunga anggrek.

Aku kesal, tidurku sejak tengah malam terganggu oleh bisingnya ranting yang menabrak jendela kamarku. Grrr, kurasa tidurku kali ini belum cukup. “Sebentar mah, lima menit lagi saja. Tidurku semalam tidak nyenyak.”

“Bukankah kau bilang hari ini spesial dan harus pergi ke sekolah lebih awal, Amel? Kamu sendiri yang minta mamah untuk membangunkanmu.” terus terang mamahku sambil merapikan buku yang berserakan di meja belajar. Benar, aku lupa hari ini hari spesial sehingga aku harus pergi ke sekolah lebih awal.

Dengan rambut yang sudah seperti rambut singa, kelopak mata yang berat bagaikan digelayuti hantu malas, aku berjalan bersiap untuk sekolah bertemu dengan banyak manusia di luar sana. Mandi, mengenakan baju, menyiapkan buku, sarapan lalu bergegas ke sekolah dengan berjalan kaki, menikmati suasana pagi dengan jalan yang masih basah dan dedaunan dengan bulatan air hujan semalam. Namaku Amelia Putri, biasa dipanggil Amel. Aku duduk dibangku kelas 2 SMP, anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak-kakakku? Mereka semua sudah merantau keluar kota untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi, aku hanya anak satu-satunya di rumah. Tak apa, lagi pula itu menyenangkan.

‘Pakk’

“Aww!”

“Tidak usah lebay*, apa itu sakit?”

“Pakai tanya lagi, pastilah sakit pukulanmu itu.” dia yang baru saja menepuk pundakku tertawa melihatku mengerang kesakitan sambil mengusap-usap pundak. Makin geram aku melihatnya.

“Sudah aku kira, kau akan, atau malah hanya pergi sekolah pagi di hari yang spesial ini.”

“Lalu apa masalahnya untukmu Tuti?” Ya, teman yang sedari tadi menggangguku adalah Tuti. Baik, pintar, namun jahilnya luar biasa.

Sudah aku katakan bukan, hari ini adalah hari spesial? Ya, sebulan sekali dengan hari yang tidak menentu sekolah akan menyediakan susu segar dengan berbagai rasa untuk para muridnya. Rasanya yang lezat, segar, namun jangan harap jika kami datang terlambat. Sebab, susu-susu segar itu sudah lenyap.

Setelah mengambil bagian susu segar itu, kami berdua bergegas masuk kelas dan bercerita bersama teman-teman yang lain sebelum guru datang ke kelas kami.

“Semuanya, apa kalian sudah tahu berita hari ini? Sungguh aku tak percaya, ini semua terjadi yang sebelumnya hanya ada di khayalanku saja” Ujar perempuan berkacamata sambil menghampiri sekumpulan anak-anak -termasuk diriku dan Tuti- yang sedang bercerita. “Berita apa yang kau maksud Marwah?” tanyaku penasaran.

“Apa benar di sini hanya aku saja yang tahu berita ini? Kau tahu wabah menyeramkan yang selama ini kita takut-takutkan di negara sana? Tepat hari ini, wabah itu masuk ke negara kita.”

Sudah menjadi kebiasaannya, menyampaikan berita yang diketahuinya dengan suara lantang hingga kelas tetangga kami pun dapat mendengarkannya. Aku kembali berpikir, mencerna semua kalimatnya. Wabah yang selama ini kami takut-takuti keberadaannya? Sekarang menghampiri kami? Lalu apa yang akan terjadi berikutnya? Sungguh, bekal amal baikku untuk di alam selanjutnya belum mencukupi. Seketika topik pembahasan kelas berubah menjadi wabah tersebut. Semua cemas karena apa yang kami lihat, wabah tersebut menyeramkan.

Tak terasa, guru kami memasuki kelas tanpa membawa buku tidak seperti biasanya. “Anak-anak, mungkin kalian sudah mengetahui kabar tidak baik menimpa negara kita tercinta. Hari ini, kepala sekolah memutuskan untuk mengadakan rapat dengan para guru sehingga tidak ada pelajaran dikelas. Setelah itu, bapak akan kembali ke kelas dan informasikan hasil rapat para guru. Kalian jangan ada yang pulang, tetap kondusif di ruang kelas. Dapat dipahami?”

Teman-teman serentak menjawab paham, dilanjut dengan Pak Guru yang bergegas meninggalkan kelas. Seperti sudah terbaca oleh kami, kelas diliburkan, para murid dipersilakan pulang, dan kami diberi libur satu minggu tidak ada kegiatan belajar di sekolah. Teman-teman, inilah awal dari ceritaku.

Harumnya ayam goreng sampai ke kamarku. Aku lapar, namun tugas sudah menumpuk sejak pukul tujuh tadi. Tak disangka, pikirku pandemi hanya berlangsung selama beberapa minggu. Namun, nyatanya tidak. Selama pandemi, kebiasaanku dan orang-orang rumah berubah. Mamah yang biasa menyajikan sarapan pagi-pagi sekali, sekarang disiapkan pukul delapan karena kami -aku dan ayahku- berkegiatan di rumah saja. Aku juga sudah merasa suntuk, kegiatanku di rumah hanya mandi, makan dan minum, belajar, membantu orang tua, bermain, lalu tidur, setelah itu kembali bangun dan menjalani aktivitas itu berulang-ulang. Ada rasa ingin mencoba hal baru, namun diriku sudah terbiasa dengan aktivitas santai seperti ini.

“Dek, cepat makan. Nanti siang biar mamah antar kamu ke sekolah.” Suara mamah yang berteriak sambil sibuk dengan hidangan di meja makan.

“Sebentar mah, aku makan kalau tugas matematikaku selesai.” Ya, kuharus selesaikan tiga tugasku sebelum nanti siang datang ke sekolah mengambil selebaran evaluasi kegiatan murid selama pembelajaran jarak jauh. Tentunya dengan anjuran protokol kesehatan yang tepat.

Waktu berjalan seperti biasanya, matahari sudah tepat berada di atas kepala. Waktunya berangkat ke sekolah.

“Huuff, hari ini panas sekali mah.”

“Kalau begitu, ayo cepat ke sekolah sebelum hari makin panas, atau malah nanti hujan.”

‘Tok tok tok’

“Selamat siang mel, Bu.”

“Selamat siang.” Jawabku dan mamah serentak. Mamah bergegas membuka pintu. Rupanya Tuti datang.

“Silakan masuk Tuti, Amel baru ingin berangkat ke sekolah.”

Tuti tersenyum menggelengkan kepala, “Terima kasih ibu. Tuti di luar saja. Kebetulan Tuti datang kesini ingin ajak Amel ke sekolah. Apa Amel boleh berangkat sama Tuti Bu?”

“Iya boleh kok, ajak saja Amel berangkat bareng. Ibu jadi tidak perlu antar Amel ke sekolah.” Terlihat Tuti yang langsung tersenyum setelah dapat izin dari Mamah dan beralih menatap jahil diriku yang sedang bersiap-siap berangkat ke sekolah. Dasar, sangat berbeda perangainya saat di depan dan di belakang Mamah.

Hari ini cuaca sangat panas, ingin rasanya minum air kelapa segar yang dijual dipinggir jalan sana. Berbanding terbalik saat aku melihat Tuti, diriku yang berjalan lemas, dia berjalan dengan semangatnya berlari ke kanan dan ke kiri.

“Lihat, di sana sudah ada Faiza dan Nida!” Unjuknya ke arah dua perempuan yang sedang berjalan menuju pagar sekolah.

Sekolah sudah mulai ramai oleh para murid. Huff, sudah lama tidak bertemu orang banyak. Rasanya kelu bibir ini untuk bercakap-cakap dengan mereka. Aku dan Tuti berlari menuju Faiza dan Nida. Rupanya, mereka sedang menunggu Marwah mengambil tiga lembar kertas evaluasi. Berjalan menuju ruang guru mengambil lembar evaluasi itu bersama Tuti, lalu membawanya ke sebuah gazebo yang ada di dekat taman sekolah.

“Ayo kita isi evaluasi ini bareng-bareng. Pasti seru. Aku kira evaluasi hanya untuk bulan ini saja, ternyata untuk bulan selanjutnya pun harus tetap mengisi.” Ucap Marwah yang sedang membaca selebaran tersebut.

“SISWA DIHARAPKAN MENGFOTO KOPI SELEBARAN UNTUK PENGISIAN EVALUASI BULAN BERIKUTNYA.” Baca Tuti dengan lantang.

“Hah? APA KEGIATAN PRODUKTIF YANG SISWA LAKUKAN SELAMA PJJ**? APA NILAI TEMBAH YANG KALIAN DAPAT SELAMA PJJ?” Lantang suaraku membaca dua dari banyaknya pertanyaan evaluasi. Kegiatan produktif? Nilai tambah? Aku hanya melakukan kegiatan bosan yang sama berulang setiap harinya.

“Iya, untung bulan kemarin aku ikut lomba poster dan baca puisi yang diadakan oleh sekolah kelurahan sana. Syukurlah, aku dapat juara favorit.” Ucap Marwah dengan bangganya, aku mengernyit, lomba?

“Aku juga! Aku tidak tahu kau juga ikut lomba poster di sana, Marwah. Tapi, hasilnya aku tidak juara. Tak apa, mamahku bilang pengalaman yang terpenting.” Balas Nida dengan ekspresi sedih lalu seketika berubah menjadi tersenyum.

Aku semakin bingung, kutatap Faiza dan Tuti. “Faiza, bagaimana denganmu?”. Faiza menatapku dengan mata yang dilebarkan, “Aku? Minggu kemarin aku ikut lomba menyanyi yang diadakan oleh kelurahan.” Jawab Faiza.

Entah sudah berapa kali aku menelan ludah berat, Tuti? Aku sudah tahu dua bulan yang lalu dia ikut kontes fotografi. Hanya aku saja yang tidak mengikuti apa-apa. Tidak ada gairah rasanya mengisi selebaran evaluasi ini bersama mereka. Pamit pulang untuk mengisinya di rumah adalah salah satu solusi yang tepat. Dengan tidak ada rasa semangat, aku duduk di meja belajarku, menatap selebaran yang baru aku isi kolom nama dan kelas saja.

‘Lomba? Kegiatan Produktif? Apa?

‘Kringg, Kringg, Kringg.’

“Halo? Ada apa Tuti?”

“Bukankah kau meminta bantuanku untuk cari informasi perlombaan yang ada? Lihat poster lomba yang aku bagikan di grup. Mungkin kau tertarik.” Dengan rasa malas, aku cek grup tersebut. Banyak lomba yang tersedia, hampir semuanya sesuai dengan bakat yang kumiliki. Namun apa daya jika memang aku malas?

“Halo Mel, tak usah banyak bingung.” Suara Tuti membuyarkan kebingunganku, aku lupa kalo kami masih dalam panggilan. “Hm? Maksudmu?”

“Aku sudah daftarkan dua lomba sekaligus untukmu. Lomba cipta puisi dan buat video pendek. Tolong jangan potong dulu ucapanku.” Tegas Tuti. Sudah terlalu banyak kalimat-kalimat yang ingin aku lontarkan padanya. Dengan mudahnya sekali dia melakukan ini?

“Aku tahu kau tidak bisa baca puisi, tapi kau punya bakar untuk menciptakannya dengan keahlian rangkaian katamu yang indah. Tentang video pendek, kamu itu pandai dalam hal akting Mel. Lagi pula, aku akan membantumu dalam mengambil videonya. Pengumpulan karya paling lambat satu minggu dari hari ini. Kita masih punya enam hari. Bersiaplah.”

“Kamu tidak habis pikir? Enam hari?!” Hanya pertanyaan itu yang bisa kulontarkan padanya.

“Yap! Kau bilang, kau tidak ada kegiatan lain dan bosan kan? Sudah, akan kututup teleponnya. Semangat!”

‘Tuut, tutt, tutt’

“Arghhhh.” Aku sudah tak bisa berpikir panjang dan yang kupikirkan hanya lomba itu.

###

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam hari telah berlalu dengan cepat. Tak aku sangka, Tuti bisa membuatku semangat menjalani lomba ini dan orang tuaku pun sama halnya mendukung kegiatan ini. Kunikmati setiap prosesnya. Tak menyangka kegiatan sehari-hariku sekarang sudah berubah. Meskipun motivasi awal aku mengikuti perlombaan ini adalah demi selebaran evaluasi terisi dan teriming-iming hadiah, namun saat ini pola pikirku terhadap lomba sudah berubah. Pengalamanlah yang berarti, inilah salah satu caraku menuangkan kreativitas yang tak terhalang pada keadaan pandemi seperti ini.

“Amel, ayo kita masuk!” Teriak Tuti mengajakku masuk ke dalam sebuah Aula megah di tengah kota. Ya, hari ini adalah waktunya pengumuman pemenang akan dilangsungkan, empat belas hari tepatnya setelah Tuti meneleponku yang dengan mudahnya mengatakan dia telah mendaftarkanku lomba.

“Iya, sebentar!” Aku berlari kecil menghampiri Tuti dan masuk ke aula bersama-sama. Acara demi acara pembuka sudah dilewati, waktunya pengumuman pemenang. Aku dan Tuti

saling berpegangan tangan meyakinkan satu sama lain. Waktunya pembawa acara membacakan pemenang lomba video pendek.

“Baik, pengumuman selanjutnya dari lomba video pendek. Juara Favorit, ialah video dengan nama Bintang dan Rayhan. Lalu, Juara Satu diberikan kepada video atas nama Agil dan Dimas! Beri tepuk tangan yang meriah.” Ucap pembawa acara dengan lantang. Tuti menatapku lama, wajahnya mengisyaratkan kesedihan karena tidak dapat membantuku dalam lomba tersebut. Namun kuyakini dia, bahwa menang bukanlah tujuan utama kami.

“Tak apa, ingat tujuan utamanya. Lagi pula, masih ada lomba cipta puisi.” Ucapku sambil tersenyum ke arah Tuti.

“Baiklah, pengumuman pemenang selanjutnya dari lomba cipta puisi. Juara favorit dimenangkan oleh puisi karya Ajeng Mutiara. Selanjutnya, juara pertama dimenangkan oleh puisi karya... Amelia Putri! Beri tepuk tangan yang meriah!”

Sungguh perasaannya yang tak bisa diungkapkan lagi. Kami berdua serentak berteriak. Tanpa menunggu lama, aku berjalan dengan percaya diri menuju panggung siap menerima hasil manis dari usahaku. Terima kasih Tuhan, akhirnya aku merasakan manisnya hasil perjuanganku. Bukan hal yang salah dan berat aku melaksanakan semua ini. Banyak sekali nilai baik yang kudapat. Sudah aku tekadkan, kreativitas dan kemampuan yang aku punya tak akan aku sia-siakan. Biar kutuangkan di setiap kesempatan yang ada. Terima kasih. Terima kasih.

“Amel, Mel.” Suara apa itu? Siapa yang memanggil saat aku sedang bersiap menerima penghargaan atas karya puisiku?

“Mel, bangun sayang sudah sore.”

###

Angin dingin menjalar masuk kamar, hujan kembali turun malam ini. Tak kusangka, semua hal indah itu adalah bagian dari bunga tidur siangku. Setelah mendapat mimpi itu, aku langsung mengirim pesan singkat kepada Tuti, meminta bantuan untuk memberi informasi kepadaku jika tahu ada lomba yang bisa diikuti. Tuti pun tak percaya dengan permintaanku.

Tidak apa-apa, akan aku mulai kembali semuanya dengan rasa tulus dan semangat. Jangan lupa terus berkarya.

Cerita Pendek karya Rida Nur Rochmah

Instagram : @rdnrmah.r

92 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Cerpennya mudah dipahami dan mengandung maknaa🤩🤩🏆

    BalasHapus
  3. Awsdedfeddd...nice 😎👍 cemumut ❤️

    BalasHapus
  4. Waww Amazing, tetap semangat�� sukses selalu kawan ��

    BalasHapus
  5. Mantappp, Semangat !!!, Terus berkarya!!!

    BalasHapus
  6. Bagus,kata kata mudah di pahami,keren 👍

    BalasHapus
  7. Kerennn bangettt semangattt ridaaa 🥰🙆‍♀️

    BalasHapus
  8. keren bangett, semangatt daa 💪💪💪

    BalasHapus
  9. waaa kerenn bangett!! Semangattt Ridaaa!💜💜

    BalasHapus
  10. Semangattttttttttttt ka ridaaaaaaa

    BalasHapus
  11. waahh baguss banget!! sukaa~

    BalasHapus
  12. wahh keren bangett, semangat terus yaaa!!

    BalasHapus
  13. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  14. Keren bgttt!!! semangaat trs yaaa

    BalasHapus