Selasa, 21 Juni 2022

26

[CERPEN] Jangan Terburu-buru untuk Patah karya Bayyinah

Jangan Terburu-buru untuk Patah

        Mempergunakan kedua telinga yang telah Tuhan karuniakan untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara memang tantangan luar biasa. Wanita dengan pakaian longdres berusaha berdiri tegap di ketinggian 540 Mdpl. Matanya terpejam, nafasnya menghirup lembut udara bukit desa. Longdresnya menyapu rerumputan yang agak basah karena gerimis sore. Perlahan wanita itu membuka matanya dan menatap lurus ke arah bentangan Gunung Geureudong yang berada di posisi barat laut dari Kecamatan Syiah Utama, Bener Meriah, Aceh. “Bagaimana aku memangkas perkataan mereka? Tak ingin rasa percaya diriku terus digerogoti oleh sebuah kalimat tak mendasar. Apa aku harus terus mendengar statement1 itu jika kepulanganku dari sini tak juga membuahkan hasil?”
 
Suara selawat sebelum azan sudah mulai menggema dari musala dekat rumah-rumah yang berada di kaki pegunungan sana. Matahari mulai menuju tempat terbenamnya. Segera wanita itu membalikkan badan untuk kembali ke vila.
 
“Masih ke pikiran itu ya, Fir?” tanya Gea dari balik pintu dan diikuti dengan terbukanya pintu vila.
 
“Iya nih. Betah banget di kepala,” ujar Fira dengan sedikit gurauan pengalih kekhawatiran Gea.
 
“Hmmm betah atau betah?”
 
“Mending salat magrib Gee sebelum habis waktunya,” pungkas wanita itu sambil menggulung lengan baju dan berjalan menuju kamar mandi. Gea menutup beberapa gorden yang tersingkap oleh angin dan bersegera mengikuti Fira.
 
        Fira dan Gea adalah mahasiswa tingkat akhir. Kedatangan mereka ke vila bukan dalam rangka berlibur atau demi senang-senang belaka. Mereka datang demi terjun mengabdi pada masyarakat di desa ini. Idealnya mahasiswa dengan usia semester tua memang seharusnya mulai menyusun bab per bab skripsi. Akan tetapi, terkadang jalan hidup bukan hanya tentang ideal atau tidak ideal, melainkan bagaimana mempertahankan semangat untuk mengerahkan potensi yang bermanfaat untuk sekitar.

“Kita jadi turun ke hutan kan?” tanya Gea yang sudah berbaju rapi dan menepuk pundak Fira yang sedang menghirup udara pagi di teras depan vila.

“Melihat Rangkong Badak?” jawab Fira dan secara spontan pandangannya beralih dari hamparan perkebunan kepada wanita yang menepuk pundaknya.

“Iya. Kemarin aku menemui kepala desa untuk bertanya apakah aman untuk melihat-lihat kawasan hutan. Beliau memastikan aman jika kita melihat di area hutan yang belum terlalu jauh dari permukiman warga.”

“Loh justru bukankah kita perlu observasi di kawasan hutan yang lebih dalam? Jika hanya perihal bahaya pemburu, kita bisa minta bantuan beberapa warga atau polisi untuk keamanan kita.”

“Kepala desa sudah wanti-wanti loh, Fir. Enggak baik memaksa kalau dari awal kita sudah minta izin. Lagi pula, Rangkong Badak masih bisa kita lihat di hutan dekat permukiman.”

“Oke. Ku rasa kita lebih baik tetap meminta pengawasan beberapa warga, berhubung kita cuma berdua dan sama-sama perempuan.”

“Nah aku setuju kalau itu.”

        Fira dan Gea meminta bantuan kepada salah seorang warga di desa yang bermukim tak jauh dari vila tempat mereka singgah. Beruntungnya, ternyata mereka bertemu dengan pemuda yang juga merupakan mahasiswa di salah satu Universitas di kota Nanggroe Aceh Darussalam. Nama pemuda itu adalah Antana.

        Untuk sampai ke Hutan Kala Bugak, kami harus berjalan kaki sejauh 800 Km. Akses paling mudah untuk memasuki hutan memang berjalan kaki. Membawa motor hanya akan menimbulkan risiko karena akses jalan di sini belum sepenuhnya aspal. Wajarlah jika tanahnya licin, lebih-lebih sore kemarin turun hujan di desa ini.

“Hati-hati Ka, tanah hutannya masih agak basah,” respons Antana ketika Fira terlihat sangat selektif ketika berjalan di kawasan hutan.

“Selain bahaya karena tanahnya basah, pemburu di sini bahaya juga enggak?” tanya Fira.

“Kebanyakan mereka kan memburu untuk dijual hidup-hidup, Ka. Jadi sejauh ini belum pernah kejadian ada peluru yang mengenai warga di sini.”

Fira semakin antusias dan kembali bertanya, “Iya juga ya, tetapi An.. kok kami enggak diizinkan masuk ke kawasan hutan dalam?”

“Kawasan dalam hutan cukup gelap dan minim sekali sinyal, Ka. Agak bahaya kalau kesasar di sana. Hmm kakak mau ambil penelitian skripsi tentang Rangkong Badak ini ya?”

“Ha? SKRIPSI? Hahahahaha” tawa Gea sontak memecah hening Hutan Kala Bugak.

“GEAAA!! Di hutan kok malah tertawa lepas. Kami niat mau bantu mengurangi pemburuan Rangkong Badak atau paling tidak meningkatkan rasa kepedulian warga Aceh terkait populasi Rangkong Badak saja sih.”

“Jangan panggil kita kaka, Antana. Tinggimu saja cocok menjadi tempat bertengger Rangkong Badak. Upss maksudku selisih umur kita pasti enggak jauh beda,” celetuk Gea.

“Menurutmu Antana, mahasiswa jurusan Ilmu Komputer seperti kami ini bisa membantu apa untuk masalah ini?”

Dahi Antana berkerut seolah tak percaya bahwa kedua mahasiswa yang nekat menunda skripsi demi berkontribusi untuk kelestarian alam bukanlah mahasiswa jurusan Kehutanan atau Biologi, “Wah jadi jurusan kamu dan Gea itu Ilmu Komputer? Salut loh saya. Saya saja jurusan Kehutanan justru kuliah hanya fokus menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan mengisi
hari libur dengan main game online2 .”

“Yupss, Game3 ! Fir, bagaimana kalau kita bikin game yang maskotnya Rangkong Badak?”

Fira tidak mengiyakan atau menolak tawaran Gea. Iya hanya menaikkan kedua alisnya pertanda bahwa ide tersebut menarik. Matanya terus memutar ke sudut sekeliling hutan dan menatap tajam beberapa Rangkong Badak yang terlihat terbang dan bertengger di atas pohon.

Bhukk

“Ahhh..” teriak Fira yang dalam kondisi duduk karena tersandung oleh ranting yang berserakan di hutan.

Antana yang berjalan di belakang Fira segera lari menghampirinya, “Baru saya mau bilang kalau jalan lihat ke depan bukan ke atas, eh sudah jatuh. Sini saya bantu.”

Fira hanya mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja dan tidak memerlukan bantuan.

“Ya sudah, lebih baik kita balik ke vila saja Fir, supaya kamu bisa istirahat. Lagi pula, enggak enak juga lama-lama merepotkan Antana,” seruan Gea diikuti dengan menarik tangan Fira.

        Sesampainya di vila, Gea bergegas menuju kamar dan mencari laptop yang ia simpan di dalam tasnya. Seolah banyak hal yang ingin ia cari dan telusuri. Tangannya lincah mengetik di peramban.

“Kamu cari apa, Ge? Yakin mau bikin game4 ? Temannya baru habis jatuh bukannya diambilkan obat.”

Jari Gea seketika berhenti mengetik dan ia segera menoleh ke arah Fira yang berdiri di depan pintu kamar, “Loh bukannya kamu baik-baik saja? Kalau tentang game, tahu enggak kenapa kamu selalu overthinking5 ? Karena statement6 dari mereka bahwa programmer7 wanita itu enggak bisa bikin program yang keren kan? Terus karena itu mereka menganggap kita enggak
bisa menyusun skripsi yang bagus-bagus amat. Aku yakin ini kesempatan emas buat kita untuk membuktikan kalau statement mereka itu salah, Fir!”

Ucapan Gea seperti petir di tengah hari bolong. Mengagetkan namun begitu membuka pandangan Fira. Fira seketika teringat akan keinginannya untuk mematahkan statement yang selama ini menggerogoti rasa percaya dirinya, “Aku enggak sangka Ge kamu bisa punya ide itu. Bangga loh aku jadi teman kamu hahahaha.”

“Iya sebenarnya kita punya pilihan Fir untuk mengolah statement itu jadi perkataan yang sekedar bikin kita patah atau justru jadi peluang ide kayak begini. Pemuda seperti kita kalau tidak memanfaatkan sebanyak-banyaknya peluang kan sayang, Fir.”

        Terkadang jiwa-jiwa kreatif justru muncul ketika diri kita sedang disuguhkan oleh pekiknya realitas. Cara pandang kita terhadap masalah yang ada justru bisa menjadi latar belakang lahirnya ide-ide kreatif. Mulai hari itu Fira dan Gea mencari referensi bagaimana meluncurkan sebuah game hingga bagaimana mendapat hak paten dari game tersebut. Tak lupa karena misi mereka adalah menyelamatkan populasi Rangkong Badak, maka mereka rela habis-habisan mengeluarkan dana demi keberhasilan pembuatan game ini serta agar game ini dapat dimainkan oleh banyak masyarakat secara gratis. Usaha mereka membuahkan hasil dan ide mereka disambut baik oleh Gubernur Kota Nanggroe Aceh Darussalam. Atas kehendak Tuhan mereka dapat lulus tanpa jalur skripsi yakni dengan memenangkan pembuatan game Rangkong Badak dalam kompetisi kreativitas mahasiswa tingkat nasional.

Bayyinah_@bayyinah_28

1 Pernyataan dari orang lain dalam konteks memberi label kepada seseorang

2 Permainan yang memerlukan jaringan internet 

3 Permainan

4 Permainan 

5 Berfikir secara berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan 

6 Pernyataan dari orang lain dalam konteks memberi label kepada seseorang 

7 Orang yang membuat sebuah aplikasi dengan memberikan perintah kepada komputer untuk melaksanakan  suatu tugas menggunakan bahasa pemrograman tertentu

26 komentar:

  1. Bagus banget!!! Semangat terus kak❤

    BalasHapus
  2. MasyaAllah bagus bangett 🙌🌹

    BalasHapus
  3. Bagus banget ceritanya, namun kurang dapet di bagian komplikasi nya. Tapi ceritanya menarik👏👏👏

    BalasHapus
  4. Ceritanya keren kak.. buat cerita seru yg lainnya dong.. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kotak saran terbuka ka, terima request 👍

      Hapus
  5. Wah, jadi Tertarik untuk buat Game nih ✌🏻

    BalasHapus
  6. gjoob iiin👍ditunggu next cerpenya hehe

    BalasHapus
  7. Bagus ceritanya, endingnya ga ketebak, menyelamatkan hewan lewat game, out of the box ka

    BalasHapus