Selasa, 21 Juni 2022

34

[CERPEN] Secercah Asa untuk Asa karya Cindy Kristina Sartika

 Secercah asa untuk Asa


        Di tepi jalan sebuah lorong gelap terlihat seorang wanita sedang duduk termenung. Dari mulutnya mengudara kepulan asap tipis. Sementara di ujung jalan terlihat seorang lelaki berusia sekitar 25 tahun dengan kemeja biru muda dan celana bahan berwarna hitam berjalan perlahan menghampirinya.

“Sedang apa?” Tanya lelaki tersebut.

Wanita itu hanya menoleh sekilas, kemudian meneguk air dari sebuah botol kaca yang ada di tangan kirinya.

“Saya Doni, namamu siapa?” Ucap lelaki itu kemudian.

Masih tidak ada jawaban, wanita itu hanya menghembuskan kepulan asap tipis dari rokok di tangan kanannya.

“Merokok membunuhmu.” Ucap lelaki tersebut sembari duduk pada kursi kosong di sebelah wanita itu.

“Kalau mau iklan di televisi, jangan di sini.” Wanita berusia 21 tahun itu akhirnya mengeluarkan suara.

“Nah begitu dong, ada jawaban.” Ucap Doni.

Wanita dengan rambut yang dikuncir asal itu kemudian beranjak dari kursinya tanpa berkata apa-apa, berjalan gontai sembari meneguk air dari botol kaca digenggamannya. Doni mengikuti dari belakang.

“Merokok tidak baik untuk kesehatan.” Ucap Doni perlahan.

“Peduli apa anda pada kesehatan rakyat kecil seperti saya? Memangnya siapa anda? Seorang Dokter?” Ketus wanita tersebut yang dibalas dengan anggukan oleh Doni.

“Oh, benar, anda Dokter?” Tanya wanita itu memastikan.

“Iya, benar.”

“Saya tidak punya uang untuk membayar anda, silahkan pergi dan praktik di tempat lain.” Ucap wanita itu.

“Saya tidak datang untuk praktik.” Balas Doni.

“Lalu untuk apa?” Tanya wanita tersebut.

“Sudah berapa lama seperti ini?” Tanya Doni mengalihkan pembicaraan.

“Maksudnya?” Wanita itu menghentikan langkahnya.

“Merokok dan minum alkohol, sudah berapa lama?”

“Memang apa urusannya dengan anda?” Ketus wanita tersebut.

“Tidak baik untuk kesehatan.”

“Tidak usah sok peduli pada kesehatan rakyat kecil seperti saya.” Ia melanjutkan langkahnya.

“Ibu saya pergi karena kami tidak punya cukup uang untuk membayar biaya perawatannya. Ibu saya terkena paparan virus Corona dan ia memiliki riwayat penyakit jantung. Ibu saya meninggal karena terlambat penanganan oleh tim medis. Mereka itu hanya akan bergerak kalau diberikan uang banyak.” Ucap wanita itu kemudian sembari duduk di sebuah halte.

“Salah saya juga, tidak bisa mengumpulkan uang yang banyak untuk pengobatan ibu. Malahan saya menghabiskan uang tabungan ibu untuk perkuliahan.” Lanjut wanita itu.

“Kamu kuliah? Sudah semester berapa?” Tanya Doni sembari duduk di sebelahnya.

“Sudah berhenti.”

“Sejak kapan? Dan kenapa?”

“Sejak dua tahun lalu, tepatnya setelah ibu pergi. Dulu saya mau kuliah untuk ibu, kalau ibu sudah tidak ada, untuk siapa saya kuliah?”

“Untuk dirimu, untuk calon anakmu kelak, kalau kamu sukses, ibumu pasti bangga dan sangat senang melihatmu dari atas sana.” Ucap Doni sembari menunjuk langit.

    Wanita itu melihat langit yang kebetulan sedang sangat indah di malam ini. Bulan bersinar terang seolah sedang bahagia, ditemani bintang-bintang bertaburan dengan cahaya yang tak kalah indahnya dari bulan. Kemudian ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

“Namamu siapa? Kamu belum menjawab pertanyaan saya ini sedari tadi.”

“Asa.” Jawab wanita itu tanpa sedikit pun memalingkan pandangannya dari langit.

“Nama yang bagus. Ibumu pasti menaruh harap yang besar padamu. Beliau pasti sedih melihat Asa putus asa seperti ini.” Ucap Doni perlahan.

“Asa, saya tahu kamu sedih dan kecewa, tapi, kamu tidak bisa menyalahkan siapapun atas kepergian ibumu, baik itu tim medis atau pun dirimu sendiri.” Lanjut Doni.

Asa melihat ke arah Doni.

“Bapak dan adik perempuan saya pergi karena terkena paparan virus Corona juga. Saya dan Ibu saya adalah tenaga medis, tapi apa? Kami tetap tidak bisa membuat Bapak dan adik bertahan. Tidak berhenti di situ, seminggu setelah kepergian mereka, ibu juga terkena paparan virus Corona, lalu akhirnya menyusul bapak dan adik saya. Hidup saya hancur saat itu. Tapi, saya sadar bahwa kehidupan saya harus tetap berlanjut. Lagipula, jika Tuhan sudah berkehendak, kita manusia bisa apa?”

    Asa terdiam mendengar cerita Doni, ia mulai menyadari bahwa kehidupannya bukanlah yang paling menyedihkan di bumi ini. Masih ada Doni, yang kehilangan tiga orang yang dicintainya sekaligus.

“Saya turut berduka cita.” Ucap Asa akhirnya.

“Terima kasih.” Jawab Doni.

“Sebenarnya saya sudah sering melihat kamu.” Ucap Doni kemudian.

“Di mana?”

“Di lorong itu. Saya sering melihat kamu merokok dan minum alkohol di sana.”

“Saya memang selalu menghabiskan waktu di sana.” Jawab Asa

“Beberapa kali saya juga melihat kamu melukis.”

“Melukis?”

“Iya, melukis botol bekas alkohol.”

“Oh, hanya corat-coret saja. Saya takut kalau corat-coret di tembok nanti ditangkap polisi karena tidak ada perizinannya. Jadi, di botol saja.” Asa kembali meminum alkohol di tangannya.

“Kamu suka melukis?”

“Nggak juga. Saya hanya senang corat-coret saja, jadi, semua botol bekas minuman, ya, saya corat-coret.”

“Terus botol-botolnya di mana?”

“Anda mau lihat?”

“Boleh?”

    Asa beranjak dari posisi duduknya dan berjalan meninggalkan halte serta memberikan isyarat pada Doni untuk mengikutinya. Doni pun berjalan di belakang Asa. Setelah berjalan sekitar 5 menit, langkah Asa terhenti pada sebuah rumah berwarna abu-abu, rumah yang tidak begitu besar namun juga tidak terlalu kecil. Asa mengajak Doni masuk ke dalam rumah tersebut. Doni pun mengikutinya. Setelah berada di dalam, Doni dibuat sangat terkejut. Ia merasa seperti masuk ke dalam sebuah galeri seni. Doni melemparkan pandangannya ke segala arah, ia melihat beberapa sudut tembok dilukis dengan sangat menarik. Sungguh seperti sebuah galeri seni. Asa menunjukkan kumpulan botol yang telah dilukisnya, kumpulan botol tersebut disusun rapi pada sebuah rak dari besi. Lalu Asa mengambil kuas dan beberapa cat warna, ia mulai melukis pada botol yang baru saja ia bawa pulang. Sementara Doni masih terkesima dengan isi rumah Asa, ia menjelajahi setiap detail karya yang ada dalam rumah tersebut.

“Sejak kapan suka melukis?” Tanya Doni memulai obrolan.

“Sejak kecil. Dulu saya biasa melukis di kanvas, Bapak yang selalu belikan kanvasnya. Sejak Bapak pergi, tidak ada lagi yang belikan kanvas. Ibu suruh saya melukis di kertas, tapi kertas mudah sobek, saya nggak suka. Akhirnya berhenti melukis. Saya juga nggak pernah memaksa ibu untuk belikan kanvas, banyak hal yang lebih diperlukan selain kanvas. Sejak bapak pergi, kehidupan kami memang berubah drastis.” Jelas Asa.

“Bapakmu terkena paparan virus Corona juga?” Tanya Doni sembari berjalan mendekati Asa yang sedang sibuk bermain dengan kuas dan warna.

“Nggak. Perginya sudah lama, saat saya masih di bangku Sekolah Menengah Pertama, karena kecelakaan.”

“Saya turut berduka cita.”

“Terima kasih.”

“Terus, kenapa sekarang jadi suka melukis lagi?” Tanya Doni kemudian.

“Sejak ibu pergi, rumah ini sangat sepi. Saya nggak suka ramai, tapi, saya juga benci sepi. Jadi, saya corat-coret saja semuanya termasuk tembok-temboknya, kalau mencoret tembok di rumah sendiri, polisi tidak mungkin marah. Dengan begini, jadi tidak terasa terlalu sepi.”

“Sangat kreatif, ya. Karyamu bagus semuanya. Nggak ada niat ikut pameran seni? Daripada karyanya hanya dinikmati sendiri seperti ini.”

“Dulu mau, biar ibu bangga, tapi–”

“Ibumu pasti bangga, beliau melihat kamu dari atas sana. Belum terlambat untuk memulai lagi dari awal, semua harapan akan tetap jadi angan kalau kita tidak mulai melakukan pergerakan.”Ucap Doni memotong perkataan Asa.

“Seperti namamu, Asa, ibumu pasti sedih kalau tahu putri kesayangannya justru kehilangan asa sejak kepergiannya.”

    Asa terdiam mendengar perkataan Doni. Ia merasa bahwa perkataan Doni memang ada benarnya. Sudah dua tahun sejak kepergian ibunya. Hari-hari dilalui Asa tanpa semangat sedikitpun, dunianya tetap terasa abu-abu seperti warna luar rumah ini, meski di dalamnya ia bermain dengan berbagai warna. Tetapi, semua warna terasa sia-sia karena hatinya belum ikhlas menerima kenyataan bahwa ia tinggal sendiri di tengah bumi yang sangat ramai ini. Asa sadar, selama ini ia salah karena telah menjadikan kepergian ibunya sebagai alasan untuk tidak melanjutkan kehidupan, sebagai alasan untuk mengubur semua harapan, sebagai alasan untuk tidak melakukan pergerakan. Kini batinnya dipenuhi tanya, setelah dua tahun, mengapa ia baru menyadari semuanya? Ia heran, mengapa Doni yang baru ditemuinya hari ini justru bisa membuka pikirannya untuk kembali bergerak?.

“Terima kasih.” Ucap Asa akhirnya.

“Untuk?”

“Untuk membuat saya sadar, bahwa kehidupan harus tetap berjalan karena selalu ada secercah harapan, dan kesedihan tidak boleh dijadikan alasan untuk berhenti meraih impian.”

“Saya juga mau berterima kasih.”

“Karena apa?”

“Karena kamu mau mendengarkan saya, setelah kepergian semua keluarga saya, tidak pernah saya bercerita pada siapapun. Biasanya saya cerita segala hal pada mereka, setelah mereka pergi, saya kehilangan ‘rumah’ tempat untuk saya berkeluh-kesah. Terima kasih juga karena kamu mau mengajak saya ke rumahmu, saya senang, seperti sedang ke galeri seni.”

Asa tersenyum mendengar ucapan Doni, dan dibalas dengan senyuman juga oleh Doni.

“Terima kasih sudah mau mampir ke galeri seni milik Asa.” Ucap Asa kemudian.

“Jadi, mau ikut pameran?” Tanya Doni dengan senyuman.

Asa membalas dengan anggukan beberapa kali.

“Nanti saya bantu cari informasinya, kebetulan saya punya teman seorang seniman.”

“Serius?” Asa terkejut.

“Iyaa.”

“Terima kasih!”

Doni membalas dengan senyuman.



Selesai



Cindy Kristina Sartika_@cii.ndys

34 komentar:

  1. INTINYA GABOLEH NYERAH YA!!💪🔥

    BalasHapus
  2. bisa yukk part 2 nyaa, seru bngt ceritanyaa, Good job! smangat cindy!!!

    BalasHapus
  3. Keren cin
    Tetep semangat jangan putus asa!!

    BalasHapus
  4. karyanya selalu keren dan punya makna yang dalem bangettt! semangat terus cindy🤩

    BalasHapus
  5. Selalu suka sma karyanya, keren bgt ni cerpen!!

    BalasHapus
  6. Aaaa suka ceritanyaaa :' kerennnn

    BalasHapus
  7. Terlalu indah untuk sebuah cerpen. Semangat cindyy, aku tunggu karya2 kamu selanjutnyaa <333

    BalasHapus
  8. Wihhhh keren bgttt, suka sama cerpennya

    BalasHapus
  9. gak pernah gagal, selalu bagusss❤️

    BalasHapus
  10. Paling bisaa dah buat cerpen baguss SEMANGAT CINDYY🧚‍♀️

    BalasHapus
  11. Bbrpa kli tersentuh sama kalimatnya trima kasih ciinn karya mu jg memotivasi sayaa ehehe

    BalasHapus
  12. as always selalu bagus karyanya 💟

    BalasHapus
  13. aaa seru banget ceritanya, gas lanjut part 2 gak si kak hahaha.. ditunggu karya karya selanjutnya kak cin!! 🤍

    BalasHapus
  14. Ceritanya menarik cin, makna ceritanya juga tersampaikan. Good luck for U ✨👍🏻

    BalasHapus
  15. Kerenn bangettt, ditunggu karya² selanjutnya cinn😍😍

    BalasHapus
  16. dalem bangeeeettt, semangat trs cindd

    BalasHapus
  17. Keren cerita nya, semngat terus cindd!!

    BalasHapus
  18. Mantap cin, ditunggu cerita part 2 nya ya

    BalasHapus
  19. karyanya baguss bangett cin!! semangat terus cin.

    BalasHapus
  20. asa membalas dengan senyuman :)

    BalasHapus