Rabu, 22 Juni 2022

2

[CERPEN] Warisan Biji Kopi Malika karya Syakira Maulida

 Warisan Biji Kopi Malika



“Selamat ya, kamu hebat. Kamu sudah saya anggap sebagai adik kandung saya.”

Abah dan ambu pasti sangat bangga terhadapmu.”

        Aura bahagia dan gembira terpancar dari wajah seorang gadis desa yang berhasil sukses diusia muda. Senyuman manis terukir elok di paras cantiknya. Energi positif tergambarkan dari setiap perilakunya. “Hatur nuhun A, ini semua berkat doa abah sareng ambu, juga bantuan Aa Malik.” Tuturnya bahagia.

        Grand opening Nataprawira’s Coffee and Restaurant telah diselenggarakan. Para tamu yang terdiri dari sanak saudara, keluarga, dan teman terdekat turut menghadiri pembukaan coffee shop tersebut. Acaranya sungguh meriah dan khidmat. Para tamu undangan turut merasakan kebahagian yang dirasakan permiliknya.

***
 
        Aduh Gusti, meuni luas pisan euy. Kumaha ayeuna? Bagaimana memperbaiki semua ini?” Wak1 Hartati menggelengkan kepalanya. Terlihat dari sebuah villa mewah milik keluarga besar keturunan bangsawan Sunda, Nataprawira. Hartati menyaksikan sebuah lahan perkebunan hijau dengan ukuran empat ratus hektar. Lahan perkebunan yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga besar Nataprawira.

        Hartati datang dari ibukota, untuk menyaksikan kondisi perkebunan yang sedang tidak baik-baik saja. Terdengar di telinganya, bahwa produksi kopi yang dihasilkan dalam satu bulan terakhir semakin menurun, dan para petani satu per satu mulai mengundurkan diri dari perkebunan.


        “Kacau.” Tutur seorang lelaki paruh baya yang tepat berada di samping Hartati. Mata lelaki itu memandang kosong hamparan perkebunan. Keriput-keriput kecil kerap muncul di ujung kelopak matanya. Untaian rambut bewarna putih mulai mendominasi kepalanya. Garis-garis kulit mulai terukir di dahinya. Pertanda ia sedang berpikir keras tentang perkebunan.

        Adigusti tak pernah berhenti berpikir untuk mengatasi masalah-masalah di perkebunan. Rasanya ia ingin bangkit dan membenahi kekacauan semua ini, namun apalah daya ia semakin menua. Tubuh dan pikirannya sudah tidak bisa lagi dipaksakan untuk bekerja mengurusi perkebunan tersebut.

1 Panggilan untuk kakak perempuan dari ayah dan / ibu.





        Si cikal anjeun henteu hoyong ngagentos anjeun ngatur sadayana ieu? Toleh sang kakak kepada adiknya, keduanya sudah sama-sama renta. Perbincangan keduanya terdengar santai namun tersirat makna yang berat.

        “Si sulung anakku Malik?” Tanya Gusti kepada Hartati.

        “Setelah tamat kuliah, Malik berencana merantau ke kota, ia lebih memilih menjadi budak corporate. Aku sudah menjelaskan semuanya, bahwa aku sudah tidak sanggup lagi mengurus perkebunan, namun sepertinya ia tidak peduli.”

        “Malik tetap ingin mengejar cita-citanya di kota.” Tutur Gusti menceritakan calon pewaris perkebunan kopinya, Malik Nataprawira.

        Hartati terdiam. Sedikit rasa kecewa mulai muncul dalam benak kepada keponakannya,

        Malik adalah sosok yang pantas untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala perkebunan, terlebih lagi ia merupakan anak laki-laki pertama dari pasangan Adigusti Nataprawira dan almarhumah istri tercintanya, Meyliha.

        Langit berganti warna menjadi gelap. Kabut di puncak gunung Pangrango semakin tebal. Suhu menurun hingga mencapai sepuluh derajat celcius. Tiap kali Hartati dan Gusti berbicara, hembusan udara dingin keluar dari mulut mereka. Kain cotton tebal yang menyelimuti tubuh mereka seakan tidak menghalangi udara dingin di puncak.

        Hartati dan Gusti memutuskan melanjutkan perbincangan penting ini di lantai bawah. Wajar saja, tubuh keduanya sudah tidak sanggup lagi menahan dinginnya kabut puncak.


***

        Dua buah cangkir bewarna putih yang berisi wedang jahe2, telah disediakan di atas meja tamu oleh seorang gadis cantik dan santun. Gadis itu merupakan putri angkat Adigusti Nataprawira, bernamakan Malika Halwa. Gelar bangsawan Nataprawira tidak mendampingi nama aslinya.

        Gadis itu berumur delapan belas tahun. Seharusnya tahun ini adalah tahun yang tepat untuk Malika mendaftarkan diri ke sebuah universitas favorite, untuk melanjutkan pendidikannya. Akan tetapi, benteng besar dan menjulang memutus harapannya tahun ini. Malika disarankan dokter untuk beristirahat selama setahun penuh, karena kondisi tubuhnya sudah semakin melemah dengan kehadiran virus-virus jahat.

        Kumaha kaayaan anjeun? Cageur?” Ucap Hartati, menanyakan kabar keponakan kesayangannya, Malika. Senyum tipis dari bibir manis Malika berucap “Alhamdulillah, cageur Wak.”

        Setelah mengantarkan minuman hangat untuk Hartati dan Gusti, Malika kembali menyendiri di kamarnya. Sehari-hari Malika menghabiskan waktu di kamarnya untuk beristirahat. Membiasakan diri dengan menekuni hobby-nya yakni menggambar bangunan-bangunan megah seperti: gedung, rumah sakit, sekolah, dan masjid. Hasil karyanya tak jarang ia upload di media sosial. Karya-karyanya itu banyak mendapatkan dukungan dari warga dunia maya. Tak jarang pula para warganet3 memberikan komentar-komentar yang positif.

2 Hidangan minuman sari jahe tradisional dari daerah Jawa Tengah. 

3 Warganet : warga internet





        Jika tahun ini dokter mengizinkannya untuk melanjutkan pendidikan, Malika berniat masuk jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung sesuai dengan skill dan potensinya di bidang menggambar.

        Akan tetapi, tak jarang pula Malika hanya melamun dan menyendiri menahan kerinduan terhadap almarhumah ambu4–nya, yakni Meyliha yang sudah sepuluh tahun meninggal dunia.

        Ambu...

        “Malika teh rindu pisan sareng ambu...

        “Perkebunan sedang kacau mbu, sigana mah Abah teh geus kolot.”

        “Malika tahu, Abah sudah tidak sanggup mengurusi perkebunan itu.”

        Seketika, butiran air mata membasahi wajah Malika. Paras cantik dan elok mulai dibasahi dengan butiran-butiran air mata. Matanya tidak mampu membendung air asin itu. Setelah Malika berbincang sendiri,seraya berbincang dengan almarhumah ibunya. Malika turut merasakan kesedihan ayahnya perihal kekacauan perkebunan. Di sisi lain, ia pun sedih dengan kondisi tubuhnya yang tidak bisa membantu apa-apa terhadap permasalahan ayahnya.

***

        “Bapak Adigusti Nataprawira, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Perusahaan kami memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan perkebunan kopi milik keluarga Nataprawira. Dilihat dari data produksi kopi dalam bulan Juni ini, perkebunan kopi milik keluarga Nataprawira mengalami penurunan hingga lima puluh persen.” Ujar seorang lelaki tua kepada Gusti. Lelaki itu berpenampilan mengenakan jas hitam dan accesories dasi bergaris bewarna biru.

        Mendengar perkataan rekan bisnisnya, Gusti hanya tertunduk lesuh. Ia hanya menghela dan membuang napas panjang. Berulang kali ia lakukan hal itu. Bibirnya tak mampu berucap kata-kata. Kepalanya menunduk seraya menyetujui keputusan Nichole Darn.

        Nichole Darn merupakan pemilik PT. Restaurant & Coffee Bar Jakarta. Salah satu restoran termewah dan terbesar di Jakarta. Perusahaan yang menjadi distributor bagi perkebunan kopi Nataprawira. Gusti kehilangan investor utamanya, sekaligus kehilangan orang yang berpengaruh besar terhadap perkebunan kopi milik keluarga besarnya.

        Perbincangan berat dan rumit antara Gusti dan Nichole terdengar jelas dari sudut kamar Malika. Di balik pintu kayu bewarna coklat, Malika menempelkan telinganya. Pikirannya sedikit terhenti kebingungan. Matanya berkaca-kaca. Sorot matanya melirik ke arah sebuah bingkai putih yang terpajang di bilik5 kamarnya. Siapa lagi kalau bukan foto Meyliha yang ia pandang.

        Malika sedih dengan ketidakberdayaan Gusti dengan keputusan Nichole. Malika berbalik arah, menyandarkan tubuhnya ke pintu kayu kamarnya dan berucap, “Apa yang harus aku lakukan
ya Allah? Wahai Tuhan yang Maha Mengetahui Segala Hal.”

4 Panggilan untuk ibu dalam bahasa Sunda. 

5 Dinding yang terbuat dari anyaman bambu.





        Ambu...

        “Apakah mungkin?”

        “Gadis desa lulusan SMA yang berpenyakitan seperti diriku mampu menyelamatkan perkebunan Nataprawira?” Ujar Malika dalam hati.

        Seketika layar handphone Malika menyala. Bergetar dan berdering sekejap. Sebuah notifikasi pesan muncul. Pesan itu berisikan permintaan dari seseorang yang tidak diketahui inisialnya.

        Sebut saja anonim. Beliau meminta Malika untuk mendesain sebuah bangunan kekinian dan modern. Bangunan tersebut akan digunakan untuk tempat bersantai dan hangout para anak muda. Bangunan tersebut juga sedang trend dikalangan anak muda. Nama bangunannya adalah coffee shop.

***

        Tak perlu berpikir panjang, Malika langsung membalas pesan tersebut dan menerima tawaran dari seorang anonim itu. Malika langsung bergegas mempersiapkan alat menggambarnya seperti: kertas gambar, pensil, penggaris, dll.

        Perasaan senang dan gembira menyelimuti hati Malika. Sembari mengerjakan proyek desain itu, tak henti-hentinya ia menunjukkan senyum manis yang terukir di wajahnya. Ekspresi bahagiannya ia pancarkan melalui wajah, dan ia aplikasikan ke sebuah kertas kosong yang berada di hadapannya. “Aku akan menggambar sebagus mungkin.” Tuturnya semangat.

        Malika merasa kesusahan dalam mencari ide dan inspirasi untuk menggambar bangunan itu. Wajar saja, gadis itu merupakan gadis desa yang belum pernah menginjakkan kaki di kota. Malika hanya tahu pemandangan hijau seperti: sawah luas yang terbentang, kebun hijau yang subur, dan pegunungan-pegunungan yang berjejer.

        Tangan kanan Malika melepas pensil. Kertas putih itu masih kosong. Belum ada setitik coretan yang membekas di dalamnya. Malika benar-benar kehabisan ide. Ia sungguh tidak tahu bagaimana bentuk bangunan itu.

        Malika bangkit dari kursinya, meninggalkan seluruh alat menggambarnya. Ia mendekat ke arah tirai yang berada di sisi kiri kamarnya, lalu membuka tirai itu. Terlihat pemandangan sebuah gubuk kayu yang beratapkan jerami. Dinding gubuk terbuat dari kayu dan beralaskan papan. Kokoh dan tebal. Saat kecil, Malika sering bermain di gubuk itu bersama teman-temannya. Gubuk yang nyaman sebagai tempat berkumpul dan berbincang dengan teman-teman. Sudah delapan belas tahun berlalu, gubuk itu masih terlihat kokoh dan kuat, Meskipun kerap kali angin kencang yang bertiup dari sisi kiri gunung Pangrango menghantam gubuk itu.

        “Aku tahu, ini bangunannya.” Tuturnya dalam hati.

        Malika berbalik arah. Ia kembali ke kursi untuk mengerjakan proyek desain tersebut. Dirinya sudah mendapatkan ide dan inspirasi yang dimaksud anonim. Sebuah bangunan yang dijadikan sebagai tempat untuk bersantai dan berdiskusi ialah gubuk.

***

        Waktu menjukkan tepat pukul 18.00 WIB. Matahari mulai menenggelamkan tubuhnya. Awan berubah menjadi warna jingga kemerahan. Azan magrib mulai berkumandang, seruan untuk salat bagi umat muslim telah diserukan.

        Malika menghentikan jemarinya, melepas pensil yang sudah enam puluh menit digenggamnya. Desainnya hampir selesai. Hanya perlu sedikit arsiran-arsiran warna untuk mempercantik desainnya.

        Malika bergegas menuju kamar mandi, lalu mengambil air wudu. Ia tunaikan dulu kewajibannya sebagai seorang muslim. Seperti biasa, hari-hari abah selalu mengajak anak-anaknya untuk salat berjamaah.

        Sebuah lampu dengan cahaya kuning menyinari tiga insan yang hendak bersujud kepada Tuhannya. Suasana sungguh khidmat. Gusti telah menggelar sajadahnya dan memposisikan diri sebagai imam, sedangkan Malik dan Malika berbaris di belakangnya sebagai makmum.

        “Rapatkan saf..” Perintah abah.
    
        Allahu akbar..” Salat dimulai.

        Dua rakaat salat telah dilaksanakan, hingga pada akhirnya mereka berada di penghujung rakaat.

        Allahu akbar..” Perintah imam salat untuk sujud terakhir dalam salat.

        Lima menit berlalu, abah masih belum bangkit dari sujudnya. Ia belum memberikan isyarat untuk menunaikan tasyahud akhir. Malik mulai kebingungan, sedangkan Malika pun merasakan hal yang sama. Badan mereka sudah mulai terasa pegal karena terlalu lama bersujud.

        Sampai pada akhirnya, Malik bangkit dari sujudnya dan mencoba membangunkan abah.

        Abah terbaring setelah tubuhnya didorong oleh Malik. Pergerakan napas dari perutnya sudah tidak terlihat. Matanya terpejam. Hanya ukiran senyum bahagia yang terpancar di jenazahnya.

        Malik membendung air matanya. Menahan tangis di hadapan Malika. Melihat sosok ayah dalam hidupnya yang sudah terkapar dan tidak bernyawa. Hanya abah yang tersisa di rumah ini. Sosok malaikat tanpa sayap sudah meninggalkannya sejak sepuluh tahun lalu. Dan kini, sosok kesatria dalam hidupnya juga harus pergi meninggalkannya.

        Malik beranjak satu saf, maju ke depan untuk menggantikan sosok abah sebagai imam salat. Salat harus tetap diselesaikan dan disempurnakan. 

        Allahu akbar..” Seruan suara Malik untuk bangkit dari sujud terakhir dalam salat.

        Malika bangkit dari sujudnya. Matanya terbelalak melihat sosok ayah tercinta dalam hidup terbaring tak berdaya di hadapannya. Ruang mulutnya terbuka lebar. Ingin berteriak kencang sambil memanggil sosok ‘abah’ dan menangis sejadi-jadinya. Namun, hal tersebut ia tahan sampai wajahnya menengok ke arah kiri sambil berucap salam.

        Assalamu’alaykum warahmatullah.” Tutur Malik.

        Salat magrib telah diselesaikan oleh kedua adik kakak itu. Salat magrib yang ditemani dengan jenazah ayah mereka. Malik dan Malika langsung memeluk erat tubuh abah yang sudah tidak bernyawa. Perasaan keduanya sungguh hancur. Air mata keduanya berurai tak henti-henti. Teriakan sosok ‘abah’ terdengar kencang bersamaan dengan derasnya air mata yang membasahi wajah mereka.

***

        Setelah acara grand opening selesai, Malik mengajak Malika untuk menaiki sebuah bukit di pegunungan Pangrango. Sebuah bukit hijau dan menjulang yang dahulu sering ia kunjungi bersama Malika, abah, dan ambu. Bukit yang menjadi cerita indah masa kecil bangsawan muda Nataprawira dengan adik angkatnya. Untuk mencapai ke atas bukit, mereka harus melewati sebuah perkebunan hijau yang subur dan makmur. Perkebunan yang menjadi warisan keluarga besar Nataprawira.

        Setiap matahari terbit, menampakkan keindahan cahaya terangnya. Di perkebunan ini, pemandangan seorang petani mengenakan caping sambil memikul padi dan dolar menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Ada pula para petani yang berbaris berjejer sedang menanam biji kopi di perkebunan itu.

        “Lihatlah Malika, perkebunan ini baik-baik saja.”

        “Kita berhasil memperbaiki semua ini.”

        Tutur Malik kepada adiknya. Di atas bukit hijau dan menjulang, Malika bersandar di bahu Malik. Kabut puncak menjadi saksi keduanya tengah mengobrol sambil membicarakan masa lalu dan masa depan. Menceritakan masa kecil dan masa-masa indah sewaktu kedua orangtua mereka masih hidup. Menceritakan permasalahan perkebunan yang tiada habisnya.


        Malik sangat bangga terhadap adiknya, sepeninggal Gusti lima tahun lalu. Perlahan Malik dan Malika mampu mengembalikan kondisi perkebunan yang sedang kacau menjadi sedia kala. Semenjak Gusti tiada, Malik memutuskan untuk tetap tinggal di desa dan memutus harapannya untuk bekerja di kota. Ia meneruskan peran almarhum ayahnya sebagai kepala perkebunan. 

        Seiring dengan berjalannya waktu, Malika pun dikenal sebagai desainer ternama dan mampu mendirikan bangunan-bangunan yang megah. Salah satunya Nataprawira’s Coffee and Restaurant. Sebuah restaurant mewah yang sudah memiliki lebih dari lima puluh cabang di Indonesia. Seluruh cabang restaurant ini memanfaatkan produksi kopi dari perkebunan Nataprawira. Perkebunan ini menghasilkan biji kopi terbaik dan asli dari alam. Sehingga rasa kopi nikmat dan disukai oleh masyarakat Indonesia.




Syakira Maulida_@syakiramld_

2 komentar: