ARIF TIDAK SELALU BIJAKSANA
Malam itu bulan nampak malu tuk menyinari bumi yang diselumuti awan gelap nan
kelabu. Desir angin yang dingin seakan menusuk kulit dengan tajamnya. Kilatan petir dan suara
guruh menambah kesunyian malam. Mungkin tak lama lagi hujan kan turun.
Aku berdiri di jalan setapak yang gelap nan sunyi. Hanya ditemani senter kecil yang
kuambil laci kamar ibuku. Aku sengaja pergi dari rumah karena aku begitu kesal atas apa yang
ayahku lakukan. Tiga puluh menit yang lalu, aku tengah menekan-nekan layar kecil berbetuk
persegi panjang di kamarku. Entah mengapa tiba-tiba ayah mengambil handphone dari tanganku.
Yang kuingat kala itu jam menunjukan pukul 6 sore.
“Cepat mandi, ayo kita sholat berjamaah!!!” teriak ayah.
Aku berusaha untuk mengambil handphone-ku kembali. “Bentar dulu yah, game-nya
belum abis.” Aku memohon.
“Liat kakakmu, Kahfi sudah berdiri lama di sana menunggumu.” Mata ayah sudah
memerah dan tangannya sudah mengepal.
“Iya aku tahu, tapi bentar lagi.” Aku masih berusaha.
“Nggak boleh, pokoknya ayo kita sholat.” Ayah kali ini sudah benar-benar marah.
“Nggak mau siniin Hp nya.” Aku mulai kesal juga. Owh ya FYI hubungan aku dan ayahku
sedikit renggang. Kami sering kali bertengkar karena masalah sepele. Hal ini berbeda dengan
kakakku. Dia berbeda lima tahun dariku, mungkin karena itulah dia selalu menuruti perkataan
ayah dan akhirnya mereka akrab.
“SHOLAT, PAKKKKK.” Suara yang terdengar keras itu berasal dari tangan ayah yang
mengenai wajahku. Jujur sangat sakit namun tetap aku membangkangnya. Ini tamparan yang
sering aku terima. Kemudian aku keluar dari kamar meninggalkan ayah yang entah apa yang
dipikirkannya.
Di depan pintu aku lihat kakak dengan balutan koko putih dan berpeci hitam yang aku
kira berdiri selama aku main game tadi. Mungkin tiga puluh menit atau bahkan lebih. Wajahnya
yang polos dan terlihat sangat baik seakan-akan mengatakan jangan pergi. Namun aku balas
dengan tatapan yang berartikan maaf kak, aku harus keluar sebentar.
Oh ya, namaku Arif. Muhammad Arif. Mungkin kala itu orang tuaku ingin aku menjadi
orang yang bijaksana (Arif dalam Bahasa Arab berarti bijaksana). Namun saat ini aku rasa aku
bukan orang seperti itu. Dari aku kecil sampai sekarang aku rasa ayah lebih menyayangi kakak
dari padaku. Makanya aku selalu membangkang perkataannya. Dan menurutku itu adalah bentuk
dari rasa protesku. Kali ini aku berencana untuk menginap di rumah temanku.
Sudah tiga hari aku menginap, begitu sangat membosankan. Dan sialnya HP-ku masih di
tangan ayah saat aku pergi dari rumah. Sudah puluhan kali kakak menelepon dan mengirim pesan
singkat lewat temanku, namun tak pernah aku angkat maupun balas. Saat itu aku masih kesal,
namun entah mengapa aku ingin pulang, mungkin aku rindu rumah.
Ketika aku hendak pulang, temanku yang rumahnya aku inapi mengajak aku ke tempat
tongkrongan. Dan aku pun ikut, sebelum pulang aku harus fresh dulu pikir ku. Namun entah
mengapa pikiranku masih rindu rumah, haruskan aku pulang saat ini? ah kalau di rumah paling
aku ditampar lagi sama ayah. Aku ingat ketika aku berumur 8 tahun, aku dihukum oleh ayah
untuk mengapal 2 juz Al-Qur’an karena aku mengambil uang mushola yang kugunakan untuk
main warnet. Ketika aku berumur 12 tahun aku dihukum tidur di mushola selama 3 hari berturut-
turut. Kala itu aku ketahuan mengintip santriawati di kamar mandi. Dan yang terakhir ketika
umur 15 tahun aku ditampar untuk pertama kalinya karena menyebarkan poto Kak Kahfi yang
sedang mandi tanpa pakaian apapun ke sosial media Twitter yang menyebabkannya viral.
Ah pokoknya aku harus pulang pikirku, ketika aku hendak pergi, teman tongkronganku
menepuk pundak untuk tetap duduk. Kala itu mereka mengajakku untuk minum (minuman
keras). Jujur senakal-nakalnya aku, aku tidak pernah terpikirkan untuk meminum barang haram
tersebut. Botol demi botol itu mulai dibuka, dan dituangkanlah air yang berada di dalamnya ke
gelas-gelas kecil. Semua temanku sudah memegang satu-satu, hanya aku saja yang belum. Aku
menggelengkan kepala menandakan tidak mau. Namun mereka malah tertawa meremehkan.
Sungguh aku merasa tersinggung. Akhirnya tanpa sadar tanganku sudah memegang gelas kecil
itu dan segera kuteguk cairan yang ada di dalamnya.
Sungguh minuman yang sangat menyegarkan. Dan mungkin mulai sekarang ini adalah
minuman favoritku. Tanpa sadar dibantu dengan bisikan setan gelas demi gelas aku minum. Ah
pikiranku seakan melayang, mataku memerah dan rasanya manis. Mungkin rasa itulah yang
sekarang tergambar di pikiranku yang membuatku mabuk tak sadarkan diri.
Jam alarm berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tanganku berbunyi
menandakan sudah pukul 6 pagi. Aku buka mata sedikit demi sedikit. Kepalaku sakit, sangat
sakit. Aku tengok sekelilingku, aku sendiri, tidur di depan ruko yang saat ini belum buka. Sial
aku ingat kejadian semalam. Ternyata aku mabuk.
Akhirnya aku berjalan dengan kepala yang masih sakit. Setelah 30 menit aku sampai di
gerbang pesantren milik ayahku. Namun kenapa orang-orang di jalan menatapku aneh. Bahkan
sampai sekarang, banyak santri yang menatapku. Aku teruskan berjalan sampai ke rumah. Aku
lihat rumah begitu sepi, kemana ayah yang selalu duduk di depan menunggu jadwal mengajar,
kemana ibu yang selalu menyapu dan menungguku di depan rumah, dan kak Kahfi yang selalu
menyambutku dengan hangat ketika aku pulang dari kaburku. Kemana mereka semua?
Jujur hatiku saat ini sangat khawatir dengan mereka semua. Kuberani kan tanganku tuk
membuka pintu. Krekk, suara pintu menyambutku. Aneh, kenapa ada paman duduk di ruang
tamu? Bukankah dia ada luar negeri? Kak Kahfi juga kenapa matanya memerah? Tidak mungkin
bukan kalau dia habis minum sepertiku?
“Akhirnya kau pulang juga?” Paman angkat suara. Dia berdiri dan berjalan ke arahku.
Tatapannya sama kejamnya dengan ayah. Mematikan.
“Kenapa?” aku bertanya kebingungan.
“Kamu tahu Rif....” suara paman terhenti oleh kak Kahfi. Tapi kenapa dia marah?
“Kamu makan dulu Rif, kakak udah nyiapin sarapan di dapur.” ujar kakak tak pernah
berubah. Selalu khawatir denganku.
“Cukup Kahfi, Arif kamu dari mana saja akhir-akhir ini?” tangannya mengepal persis
dengan ayah.
“Aku pergi bentar.”
“Udah paman, Rif ayo kita sarapan.” Kakak menarik tanganku namun dihentikan oleh
paman.
“Kahfi berhenti, anak tak tau diri harus tahu.”
“Tahu apa kak?” tangan kakak semakin erat memegangiku.
“Gara-gara anak sialan seperti lu Rif, kakak gua meninggal. Ayah lu.”
Perkataan paman seperti petir di tengah hari. Aku berdiri kaku. Seperti ada batu besar
yang menimpa dadaku. Sangat sesak. Aku lihat air mata kak Kahfi sudah tak terbendung yang
menandakan ia sangat sedih. Tunggu kenapa aku sangat sedih juga, bukankah aku sangat
membenci ayah.
Air mataku bagai hujan turun. Bibirku diam seribu bahasa. Kenapa mendegar kata paman
begitu menyakitkan? Apakah aku sudah tidak membenci ayah? Atau bahkan emang tidak pernah
membencinya?
“Di...mana ayah kak?” suaraku yang bergetar.
Kak Kahfi tak bergeming. Ia hanya menarik tanganku keluar. Meninggalkan paman
dengan amarahnya. Tak tahu pasti ia tetap membawaku ke suatu tempat. Jalan setapak tempo
hari kini ku lewati lagi. Namun kali ini aku di temani kakak. Cukup jauh kami berjalan dan
semakin tidak enak perasaanku.
Kami berhenti di sebuah gundukan tanah merah yang baru saja ditaburi oleh potongan
bunga. Terlihat gundukan lainnya yang telah usang di tumbuhi rerumputan liar. Di sekeliling
kami tengah berdiri pohon-pohon tua yang mungkin ada sebelum aku lahir.
Aku lihat air mata kakak yang turun bagaikan hujan. “Aku sudah menepati janjiku yah.
Aku sudah membawa anak yang telah ayah tunggu, untuk menemui ayah. Namun aku sangat
menyesal tidak membawanya sebelum ayah pergi. Ayah baik-baik disana ya.”
Apa yang aku denger itu. Ini adalah ayah, tidak, tidak mungkin. Baru kemarin ayah
bertengkar denganku. Aku masih dapat merasakan tamparannya gara-gara kenakalanku. Apa
yang sudah aku perbuat untuknya.
Tubuhku lemas bak tak bertulang. Kupeluk makam yang penuh tanah ini. Air mata yang
entah kapan mulai deras. Aku sangat menyesal yah. Aku sangat menyesal.
“Kamu tahu Rif, ayah terjatuh selepas kamu pergi. Kami membawanya ke rumah sakit.
Sekitar satu hari kami di sana, dan saat itu pula ayah selalu memanggil namamu. Sejak saat itu
aku mencarimu kemana-kemana. Telpon tak pernah diangkat, chat gak pernah dibales. Sampai-
sampai aku nyarimu ke kota sebelah karena aku tahu punya teman di sana. Oh ya aku sangat
terkejut saat dokter mengatakan ayah terkena kanker darah sejak 5 tahun lalu. Selama ini beliau
menyembunyikannya dari kita. Makanya akhir-akhir ini beliau keras kepada kita untuk serius
dalam hidup. Sholat yang rajin, ngaji yang bener, pokoknya beliau mendidik kita supaya kita bisa
menjadi orang yang sholeh baik mental maupun spiritual. Ayah sering sekali marah sama kamu,
tapi itu belum ada apa-apanya. Dulu kakak pernah di pukul, di suruh bersihin WC setiap pagi,
bahkan yang paling kakak inget dulu ayah pernah botakin kakak di asrama. Kamu terlalu kecil
untuk ingat hal itu. tapi kamu tahu, ayah itu sangat sayang sama kita. Ketika kamu di suruh hapal
2 Juz itu karena beliau ingin kamu jadi imam dan melapalkan surat-surat tersebut. Ketika kamu
tidur di masjid beliau tidur di luarnya agar kamu tak apa-apa. Dan untuk tamparan itu beliau
gunakan karena kita sudah kelewat batas Rif.”
Apa yang aku lakukan selama ini untuk ayah, betapa durhakanya aku, Ya Allah. Sering
banget aku banting pintu depan ayah, pecahin gelas dengan sengaja atau membentak ayah jika
keinginanku tidak dikabulkan. Ampuni aku Ya Allah.
“Ayah menitipkan ini buat kamu?” aku berbalik ke kak Kahfi yang sudah menyodorkan
selempar kertas yang masih baru.
Untuk anak bungsuku,
Yang tersayang
Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarukatuh
Anakku yang ayah sangat cintai, 18 tahun yang lalu suara tangisanmu pecah seiring
dengan tangis haru biru ayah, ibu dan kakakmu. Kamu dilahirkan dengan kodisi sehat wal afiat
tanpa cacat setitik pun. Ayah melihat perjuangan ibumu yang penuh menahan beban yang
semoga kelak ia akan berbuah nyata. Dan Alhamdulillah kami mempunyai anggota keluarga
yang kecil nan imut yang ayah berinama Muhammad Arif. Harapan ayah semoga kamu selalu
bijak dalam mengambil keputusan apapun. Seiring dengan waktu anak kecil tersebut tumbuh
dengan baik dan selalu gembira. Anak yang membuat ayah selalu bersemangat dalam bekerja.
Ayah tahu cara ajar keras, kaku dan harus tersusun. Karena ayah ingin kamu lebih baik
daripada ayah. Ayah mengajarmu dengan keras karena ayah tahu kamu sering bermasalah di
sekolah entah karena rokok, iseng ke perempuan bahkan tauran. Ayah tidak mau kamu seperti
itu nak. Karena ayah sayang kamu makanya kamu ayah didik dengan benar. Namun kamu selalu
beranggapan ayah pilih kasih. Tidak nak. Ayah sayang kalian semua. Tak pernah membedakan
kalian.
Di hari ayah nampar kamu, ayah sangat merasa bersalah. Walaupun ayah menampar
kamu sangat lemah lembut, ayah tahu kamu pasti sakit hati. Ayah gak pernah sedikitpun terpikir
untuk menyakitimu. Alasan ayah adalah karena ayah liat setiap jam sholat kamu selalu asik
dengan Hp mu itu. Sering ayah katakan padamu untuk sholat nak, tapi kamu selalu lebih galak
dari ayah. Tapi ayah sama sekali tidak menaruh dendam kepadamu. Ayah sangat
menyanyangimu.
Di hari ayah di rumah sakit saat napas ayah sudah di ujung, ayah tulis untaian kata yang
ayah ingin sampaikan kepadamu. Kakakmu sudah berusaha meneleponmu ratusan kali, bahkan
dia rela jalan kaki ke rumah teman-temanmu, namun ia tak bertemu denganmu. Ayah mengerti
kamu masih marah.
Harapan ayah adalah kamu harus menjadi orang yang yang lebih baik lagi, rajin sholat
dan selalu menjaga kakak dan ibumu. Kamu harus tahu kakakmu punya penyakit seperti ayah.
Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarukatuh
Tertanda,
Ayah
NAMA : MULYANA
IG : ikahfi_17
0 comments:
Posting Komentar