Belajar dari Kisah yang Telah Ada
Suara kicauan burung dari rekaman suara membuat minggu pagi bagi kedua insan
berbeda jenis tersebut menjadi damai. Kemudian salah satu dari mereka membawa sarapan ke
meja di ruang keluarga. Saat mereka akan menyantap hidangan tersebut, tiba-tiba terdengar
suara teriakan seorang gadis dari atas sana.
“Ayah, Ibu!” teriakan seorang gadis yang sedang berlari menghampiri kedua insan tersebut.
“Ayah, Ibu, lihat Manvi. Dia sudah berjanji padaku untuk mengembalikan buku kisah
Ramayana hari ini, tetapi dia tidak mengembalikannya. Lihat saja nanti, kamu akan dapat karma
karena tidak memenuhi janjimu itu.” adu gadis itu kesal dengan menunjuk sumber
kekesalannya. Tidak lama kemudian muncul gadis lainnya dan berucap,
“Berhentilah memanggilku Manvi, Kak Mila. Panggil aku Avi.” dengan penuh penekanan saat
menyebutkan namanya. “Untuk buku itu, sudah ku katakan padamu jika aku belum selesai
membacanya. Tunggu sampai aku selesai.” lanjutnya dengan nada yang tak kalah kesal.
Kedua insan tersebut yang tak lain adalah orang tua kedua gadis tersebut hanya dapat
tertawa melihat pertengkaran keduanya. Bagi mereka pertengkaran kecil ini sudah menjadi
makanan sehari-hari mereka, bahkan yang awalnya damai dan sunyi langsung berubah berisik
karena mereka. Gadis-gadis itu bernama Urmila Yasirah, sang kakak, dan Manvi Yasirah, sang
adik. Mila baru saja menginjak kelas 1 SMP dan Avi kelas 6 SD sehingga sangat wajar jika
mereka sering sekali bertengkar.
“Lihat Ibu anakmu itu, pagi-pagi sudah bertengkar saja.” ucap ayah sambil tertawa melihat
pertengkaran kedua putrinya.
“Anakmu juga itu Ayah.” tanggapan ibu dengan tertawa pula.
“Kalian ini memang senang sekali bertengkar setiap pagi, dan sekarang tentang buku
Ramayana. Ayo kalian duduk dahulu dan ceritakan pada kami apa yang sebenarnya terjadi.”
ucap ibu dengan geli.
Kemudian kedua gadis tersebut duduk dihadapan kedua orang tuanya dengan tatapan sebal satu
sama lain. Lalu mereka mulai menjelaskan apa yang terjadi.
“Ayah, Ibu, dua minggu yang lalu Avi meminjam buku Ramayana milikku, dan hari ini tepat
untuk mengembalikannya. Tetapi saat aku memintanya, dia tidak ingin memberikannya
padaku.” jelas Mila. Kemudian ayah meminta penjelasan dari Avi.
“Ayah, Ibu, aku sudah mengatakan alasannya pada kak Mila jika aku belum selesai
membacanya.” jelas Avi.
“Tetapi kamu sudah janji padaku akan mengembalikannya dua minggu setelahnya, dan jika
kamu belum selesai, kamu bisa melanjutkannya nanti. Lagipula aku pun belum selesai
membacanya saat kamu meminjam.” balas Mila dengan kesal.
“Itu salah kakak sendiri, mengapa meminjamkanku jika kakak belum selesai. Selain itu, kakak
kan tahu jika aku tidak suka membacanya setengah-setengah.” balas Avi tak kalah kesal.
“Jika aku tidak menuruti keinginanmu itu, aku yakin kamu akan terus merengek untuk
dipinjamkan. Jadi, Ayah, Ibu, apa aku salah jika menagih janjinya itu? Tidakkah seharusnya
Avi menepatinya kan?” balas Mila jengkel.
Setelahnya ayah membenarkan duduknya seraya berkata, “Baik, ayah mengerti
permasalahannya sekarang. Avi, sekarang ayah minta agar Avi segera mengembalikan bukunya
pada kakakmu!” perintah ayah kemudian. Mila tersenyum senang mendengarnya.
“Tetapi Ayah, aku ...” bantah Avi, namun tidak selesai karena ibu menatapnya tajam.
Kemudian ibu menghela napasnya sebelum berkata,
“Urmila, kamu tidak salah untuk menagih janji itu. Tetapi mintalah dengan baik-baik dan
berikan penjelasan kepada adikmu agar mengerti. Dan Manvi, tidak seharusnya kamu mengelak
untuk menepati janjimu itu, sayang.” ucap ibu dengam tersenyum kepada kedua putrinya.
Kedua gadis itu pun tertunduk diam dan hening sejenak hingga,
“Kalian mengatakan bahwa kalian sudah membaca cerita Ramayana bukan? Walau tidak
selesai.” perkataan ibu selanjutnya membuat Mila dan Avi menegakkan kepalanya.
“Iya Ibu.” ucap keduanya bersamaan dengan antusias.
“Kalau begitu kalian masih ingat tentang ayah Śrī Rāmā, Raja Daśaratha, yang terikat janji
kepada salah satu istrinya, Ratu Kaikeyī, tiga buah permohonan karena dahulu sang Ratu telah
menyelamatkan Raja pada suatu pertempuran?” tanya ibu.
“Iya Ibu, aku ingat. Aku telah menyelesaikan bab itu.” ujar Avi senang.
“Aku juga Ibu, dan aku masih ingat apa yang diminta oleh Ratu Kaikeyī saat itu. Aku bahkan
masih kesal dengan orang yang menghasut sang Ratu.” jawab Mila dengan nada kesal karena
mengingat bagian cerita itu.
Ayah yang mendengarnya pun bergabung dengan mencoba menguji ingatan kedua putrinya
tentang kisah itu.
“Memangnya Ratu Kaikeyī dihasut oleh siapa?” tanya ayah sembari tersenyum.
“Mantara!” jawab Mila dan Avi antusias.
“Mantara sangat jahat sekali Ayah. Padahal dia hanya pelayan, tetapi berani sekali untuk
menghasut seorang Ratu dari Ayodhya.” lanjut Avi.
“Itu benar Avi, mantara memang jahat. Maka dari itu jangan sampai Mila dan Avi bertindak
seperti yang dilakukan oleh Mantara. Menghasut itu perbuatan buruk dan dosa. Kalian
mengerti?” jelas ibu.
“Mengerti Ibu.” jawab keduanya bersamaan dengan senang.
Dari hal ini kita dapat melihat bagaimana kedua gadis yang tadinya bertengkar, tiba-tiba
menjadi akur dan antusias hanya karena sebuah cerita. Bagi kedua orang tua mereka, hal ini
sudah biasa terjadi. Anak-anak mereka sangat suka membaca dan mendengar suatu kisah zaman
dahulu.
“Tadi Mila mengatakan jika Mila tahu apa yang diminta Ratu Kaikeyī kepada Raja Daśaratha.
Apa itu?” tanya ibu kepada Mila.
Mila menjawab, “Ratu Kaikeyī meminta agar putranya, Bharata, diangkat menjadi Raja dan
mengasingkan Śrī Rāmā ke hutan selama 14 tahun.” ibu tersenyum mendengarnya, dan
bertanya kembali, “Lalu apa jawaban Raja Daśaratha, Avi?”
“Raja Daśaratha menolak permintaan tersebut. Namun karena terikat oleh janjinya tersebut,”
tiba-tiba Avi terdiam, dan yang lainnya masih menunggu kelanjutan cerita darinya, “karena
terikat oleh janjinya, dengan berat hati dan bujukan dari putranya, Śrī Rāmā, Raja Daśaratha
memenuhi permohonan itu.” lanjut Avi dan menundukkan kepalanya.
Ayah dan ibu tersenyum penuh arti mendengar bagian cerita itu dari Avi, begitupun dengan
Mila.
“Ada apa Avi?” tanya ayah dengan tersenyum.
“Ayah, Ibu, Kak Mila, maafkan aku. Seharusnya aku menepati janjiku dan tidak mengelaknya
seperti Raja Daśaratha. Tolong maafkan aku.” ucapnya dengan sedih dan akan menangis.
“Jangan menangis sayang. Sekarang Avi tau jika perbuatan Avi itu salah. Seperti Raja
Daśaratha, meskipun dia sangat menyayangi Śrī Rāmā namun karena janjinya maka dia harus
melepaskan puteranya ke hutan.” ucap ayah dengan lembut, “jadi segeralah kembalikan
bukunya pada kakakmu dan penuhi janjimu itu.”
Kemudian Avi bergegas ke kamarnya dan menyerahkan buku tersebut kepada kakaknya
sambil berkata, “Jika kakak sudah selesai membacanya, pinjamkan kepadaku lagi ya. Tetapi
kakak jangan membocorkan ceritanya padaku, aku baru selesai membaca sampai bagian Dewi
Sītā menginginkan seekor kijang.” dengan nada yang lucu sambil duduk kembali.
“Iya, nanti kalau sudah selesai aku berikan padamu.” balas Mila dengan tersenyum.
“Nah kalian harus selalu ingat, jika kalian telah berjanji akan sesuatu maka segeralah penuhi
janji itu dan jangan pernah mengelaknya. Mengerti?” nasihat ayah.
“Mengerti Ayah.” ucap mereka serempak.
“Dan ingat juga, jika kalian tidak memenuhi janji kalian maka di masa depan kalian akan
mengalami hal yang serupa dengan itu. Seperti itulah hukum karma, tindakan yang pernah kita
lakukan di masa lalu akan kita dapatkan hasilnya di masa depan.” nasihat ibu.
“Maka jadikan karma sebagai suatu pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari, karena
pengaruhnya itu sangat besar bagi kehidupan kita.” tambah ayah.
“Baik Ayah, Ibu.” ucap keduanya besama-sama dengan tersnyum.
“Seperti kematian Raja Daśaratha itu kan Bu?” tambah Mila.
“Iya benar sekali. Wah putri sulung ibu ini sangat pandai ya.” ucap sang ibu bangga.
“Ibu aku juga.” ujar Avi dengan merajuk.
“Iya sayang, Avi juga pandai.” ucap ayah sambil mengusap rambut anak bungsunya.
Tiba-tiba Mila bertanya, “Kalau begitu apa alasan Śrī Rāmā mau menerima keputusan Raja
Daśaratha untuk pergi mengasingkan diri ke hutan? Bahkan dia membujuk ayahnya itu untuk
menepati janjinya.”
“Putriku, disekolah pastinya kalian diajarkan untuk berbakti kepada agama dan juga orang tua.
Keputusan Śrī Rāmā ini tidak hanya untuk memenuhi janji ayahnya, namun juga sebagai bentuk
bakti kepada orang tuanya. Śrī Rāmā dengan tulus dan ikhlas menjalankan keputusan tersebut.”
jelas ayah dengan tersenyum.
“Lalu Ayah, bagaimana dengan ....”
Pembicaraan itu tidak berhenti begitu saja, namun terus berlanjut dengan pertanyaan-
pertanyaan yang terlontar dari Urmila dan Manvi. Sebenarnya minggu pagi ini tidak jauh
berbeda dengan hari minggu sebelumnya. Mereka akan bertanya dan mengatakan pemahaman
mereka terkait beberapa bagian dari buku yang telah mereka baca. Berbedanya hanya pada
cerita yang diangkat dan diawali pertengkaran, namun setelahnya mereka akan berbaikkan dan
bertanya ataupun bercerita seperti saat ini. Tidakkah keluarga mereka begitu hangat dan damai.
Nama : Yunan Sari Lingga Buana
Id Instagram : yunss_89
Halo, Saya Shoimatuz Zahrah mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Yunan
BalasHapusHalo, Saya Annisa mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Yunan Sari, semangat nulisnya🔥
BalasHapusHalo, Saya Riyan mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Yunan Sari
BalasHapusHalo, Saya Chaniati mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Yunan, Semangat terus ya yunan 😊
BalasHapusHalo, Saya Guska mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Yunan
BalasHapus
BalasHapus"Halo, Saya Monika mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari yunan
BalasHapus"Halo, Saya Raihan Habil Adami mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Yunan Sari Lingga Buana
Halo, Saya salwa mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Yunan
BalasHapusHalo, Saya salwa mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Yunan
BalasHapus