Nasihat
“Nadeem!” suara Bu Alia memanggil. Aku maju ke depan kelas, mengambil kertas hasil
ulangan harian matematika. Kulipat kertas itu dan segera kembali ke tempat duduk. Gagal
lagi, gumamku. Ku lihat raut wajah gembira teman-teman di sekitarku. 100, 90, 85, 80. Dapat
ku lihat nilai-nilai itu dari secarik kertas yang mereka pamerkan ke sesamanya. Huft, tak
apalah, hasil ini berbanding lurus dengan usahaku. Ya, malam sebelum ulangan ini
dilaksanakan, aku hanya asyik menonton money heist, seri favoritku.
“Assalamualaikum bu, Nadeem pulang!” seruku sambil mengetuk pintu rumah. Seorang
wanita berumur 40 tahun membukakan pintu itu setelah beberapa kali aku ketuk. “Kok
tumben cepat pulangnya?” tanya wanita yang adalah ibuku itu. “Ada rapat guru, bu.” jawabku
sambil mencium tangannya. Segera ku naik ke lantai dua tempat kamarku berada. Hari ini
cukup melelahkan, pikirku. Aku hempaskan badanku ke benda empuk yang dibalut seprai
bergambar logo juventus itu. Sambil melepas rasa lelah dengan merebahkan tubuh, aku
menatap langit-langit kamarku yang berwarna putih polos. Ku ambil lipatan kertas yang ada
di tas dan ku buka tanpa mengubah posisi telentangku. Nilai 60 lagi, gumamku. Aku tidak
terlalu sedih dengan hasil itu, sebenarnya. Tetapi, melihat teman-teman lain dengan
bangganya memamerkan nilai tinggi di kelas sangat membuatku muak, ditambah lagi pujian
yang sangat dilebih-lebihkan dari Bu Alia kepada mereka. “Andai saja Bu Alia tahu
bagaimana cara mereka mendapatkan nilai-nilai haram itu,” gumamku, “Pasti Ia tak akan sudi
mengatakan hal-hal manis tersebut kepada mereka.” Ya, Sagar, Yogesh, Navid, dan Nihal
sudah langganan meyontek di setiap ulangan. Kuis, ulangan harian, ujian tengah semester,
bahkan dalam ujian akhir semester pun mereka tak takut menjalankan aksinya. Sebenarnya,
teman-teman sekelas sudah mengetahui hal ini, hanya saja tidak ada yang berani speak up dan
memilih untuk diam saja, mengingat orang tua mereka memegang posisi penting di sekolah
kami. Ini tahun kedua kami menjadi teman sekelas, dan siang itu aku merasa sudah sangat
muak dengan kelakuan mereka.
Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi, dan segera mengambil wudu sesaat setelah azan
berkumandang. Ku gelar sajadah di samping kasurku dan ku laksanakan salat asar. Setelah
selesai, ku panjatkan doa dengan khusyuk, “Ya Allah, mungkin hamba memang bukan siswa
yang rajin, apalagi pintar. Akan tetapi, hamba tidak pernah berbuat curang dalam pelaksanaan
ujian. Hamba selalu jujur, Ya Allah. Hamba selalu mengerjakannya dengan usaha sendiri.
Akan tetapi, seperti yang telah Engkau ketahui, ya Allah, ada beberapa teman hamba yang
berlaku curang, dan hal itu telah berlangsung lama. Hamba mohon kepada-Mu, ya Allah, mudahkan hamba dalam mengerjakan ujian sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan, ya
Allah. Hamba sudah muak melihat lirikan ejek dari mereka. Hamba sudah muak mendengar
ceramah Bu Alia yang terkesan merendahkan. Untuk pertama kalinya, hamba ingin sekali
merasakan rasanya mendapat nilai bagus. Hamba janji akan mulai rajin belajar, Ya Allah.
Hamba mohon kepada-Mu. Hanya Engkau-lah tempat hamba meminta segala sesuatu.
Perlihatkanlah keadilan-Mu, Ya Allah. Hamba tahu, tidak ada sebaik-baik keadilan,
melainkan keadilan-Mu. Hamba mohon, ya Allah. Hamba sangat merasa ini tidak adil bahwa
mereka, yang sama malasnya dengan hamba, mendapat nilai yang fantastis dengan cara yang
tidak benar. Hamba mohon, ya Allah, bantu hamba untuk menegakkan keadilan di kelas, ya
Allah, hamba mohon. Kabulkan doaku ini, ya Allah, Aamiin.” Ku usap kedua tangan ke wajah
dan langsung sujud dengan cukup lama. Sepertinya itu merupakan doa terpanjang yang
pernah ku panjantkan. Begitulah, sangat besar hasratku untuk menghentikan kecurangan
mereka.
Untuk pertama kalinya, ku duduk di meja belajar, ku buka buku pelajaran yang paling tidak
ku suka, yaitu matematika. Demi bisa membuktikan kepada semua orang bahwa aku bisa, aku
harus belajar dengan giat. Aku sangat-sangat fokus mempelajarinya hingga tertidur lelap pada
tengah malam.
“Nadeem!” teriakan ibuku yang ketiga kali sukses membangunkanku. Saat itu adalah kali
pertamaku bangun dengan perasaan riang. Sangat sulit dijelaskan bagaimana belajar
matematika sebelum tidur dapat membuatku senang saat bangun tidur. Aku pun segera
bangun dan bersiap berangkat ke sekolah.
Jam di gerbang menunjukkan pukul 06.15 saat ku melangkah masuk ke sekolah tercinta. Ku
berjalan dengan percaya diri disertai senyum yang merekah di wajahku. Aku duduk di tempat
duduk seperti biasa dan menunggu bel masuk berbunyi.
Jam pelajaran pertama hari itu adalah matematika. Bu Alia berjalan masuk kelas tepat setelah
bel dibunyikan. “Hari ini kita kuis, ya. Semua barang yang ada di meja kecuali alat tulis,
dimasukkan semua ke dalam tas.” Bu Alia memberi perintah. Entah ada angin apa yang
merasukiku saat itu, aku berdiri dan berkata, “Bu, agar tidak terjadi kecurangan, lebih baik
tasnya ditaruh di depan kelas saja. Dan untuk telepon genggam, saya sarankan untuk
dikumpulkan di meja Ibu saja agar tidak ada siswa yang sengaja menaruhnya di kantung
celana atau rok, bukannya di tas.” Bu Alia menggangguk sebagai tanda setuju. Siswa kelas
pun melakukan perintah Bu Alia yang didasarkan pada saranku tersebut. Dapat ku lihat jelas wajah Sagar, Yogesh, Navid, dan Nihal yang menatapku kesak. Ku balas mereka dengan
senyum.
Bu Alia membacakan soal-soal kuis. Senyuman puas terpancar di wajahku mendengar soal-
soal yang dibacakan tersebut sangat familiar karena telah ku pelajari sehari sebelumnya.
Sebaliknya, dapat ku lihat dengan jelas gerak-gerik 4 serangkai si raja curang tersebut.
Sepertinya kali ini mereka tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengerjakan kuis tersebut
seorang diri.
Dua hari setelahnya, aku melihat notifikasi whatsapp masuk yang berasal dari grup kelas. Ku
buka pesan tersebut dan betapa kagetnya aku membaca pesan yang dikirimkan Bu Alia di
grup tersebut. Bu Alia merupakan guru matematika sekaligus wali kelas kami sehingga kami
mempunyai grup yang juga beranggotakan beliau di dalamnya. Tanpa sadar, air mataku
menetes. Pesan yang dikirimkan Bu Alia ke grup kelas tersebut membuatku terharu. Pada
intinya, beliau menyampaikan dua poin. Yang pertama, beliau mengekspresikan
kekecewaannya kepada siswa yang selama ini dia puji-puji yang pada kenyataannya berbuat
curang. Sebelum mengirimkan pesan tersebut di grup, beliau ternyata telah menanyakan
tentang hal itu kepada pihak yang bersangkutan, yaitu 4 serangkai, untuk memastikan
dugaanya. Setelah berkali-kali ditekan, akhirnya mereka mengakui perbuatannya. Mereka
selalu menggunakan telepon genggam mereka untuk mencari jawaban dari soal ujian. Hal itu
sangat membuat Bu Alia terpukul.
Poin kedua yang disampaikan beliau adalah bahwa beliau mengapresiasi kejujuran siswanya.
Tangis bahagia semakin pecah ketika aku melihat nama Nadeem Maksoot Nagarji, yaitu nama
panjangku, disebut dalam pesan itu. Beliau berterima kasih atas saranku yang membuka
pikirannya. Selain itu, beliau juga menyebut bahwa aku lah yang mendapat nilai tertinggi di
kuis tersebut. Ya, siswa yang biasanya memperoleh 60, 50, 55, kini mendapat nilai 100. Siswa
yang dulu beliau remehkan, ternyata memiliki potensi yang saat itu belum terasah. Beliau tak
lupa meminta maaf atas kata dan perbuatan beliau yang mungkin menyakiti hati siswanya.
Sebagai akibat dari perbuatan curang 4 serangkai, mereka diberi hukuman skors selama satu
minggu. Tak kusangka hal tersebut mendapat respon positif dari teman-teman lain yang juga
muak dengaan tindakan curang 4 serangkai tetapi tidak berani untuk melawan.
Segera setelah ku selesai membaca, ku tunjukkan pesan tersebut kepada ibuku. Ia memelukku
erat seraya berkata, “Ibu bangga sama kamu, Nadeem. Kamu persis sekali seperti ayahmu.
Teruskan menjadi orang jujur ya, nak. Jangan pernah takut akan sesuatu selama kamu benar.
Selalu perjuangkan kebenaran, sesulit apapun itu. Jangan lupa untuk berdoa kepada Allah. Ibu mendengar saat kamu berdoa dua hari lalu. Ibu terharu, Ibu sangat bangga sama kamu. Dunia
ini keras, nak. Ingat pesan ibu, tetap perkuat mental dan spiritualmu. Hal itulah yang dapat
membuat kamu survive di dunia ini.”
Lima belas tahun kemudian, nasihat ibuku tersebut terbukti. Ia benar, dua hal itulah yang
mengantarku menuju kesuksesan hingga saat ini aku berhasil memimpin perusahaan ekspor
terbesar di Indonesia.
SELESAI.
Tika Kurnia Amaliyah
0 comments:
Posting Komentar