Minggu, 15 November 2020

19

Guruku, Kakek Bajak Laut! by Brigita Olivia Gamellia

Guruku, Kakek Bajak Laut!

‘Tic..toc..tic..’ Dini hari ketika orang banyak masih terlelap Haris duduk di antara Ayah dan Bunda yang berdiskusi dengan beberapa anggota kepolisian di kantor polisi

“Anak Bapak terlibat dalam balapan liar antar geng motor yang berujung ricuh hingga meresahkan masyarakat sekitar.” Mendengar itu, Ayah Haris menatap ke arahnya tajam menahan amarah sebab wibawa keluarga kembali di jatuhkan putra tunggalnya itu. Usai perkara penjemputan, Haris masuk ke dalam mobil memasang telinga bebal

“Tidak bosan keluar masuk kantor polisi? Masih mau ikutan geng motor tidak jelas itu? Ayah malu, Saya tidak pernah mengajari kamu anarkis, seperti tidak terdidik begitu!” ucap Ayah dengan nada terus merangkak naik, Bunda juga memberikan raut kekecewaan. Celotehan tanpa henti sampai mereka sudah di dalam rumah mulai membuat Haris geram

“Udalah!” Haris mengerutkan dahinya dan mengepal kedua tangannya penuh kekesalan,

“wajar kali remaja 17 tahun main geng, kan harus bersosialisasi. Lagi pula saya juga tidak minta dijemput kok, muak juga liat pahlawan kesiangan berlagak muncul dan peduli di akhir perkara! Kemarin ke mana saja?” Balasan Haris berhasil membuat Ayah semakin naik pitam,

“Ohh, Begitu cara bicara ke orang tua? Tidak tahu diuntung! Mulai sekarang jangan keluar rumah dan tidak boleh kumpul bareng geng tidak jelas itu lagi! Mendingan diam di rumah, setidaknya merusak nama keluarga dan bikin saya jengkel!” Haris yang mendengar vonis dari ayahnya tidak memberi tanggapan selain melangkah angkuh ke arah kamar tidurnya.

Hari demi hari berganti dan Haris masih mendekam di rumahnya seperti tahanan, ‘ting..ting...’ bunyi notifikasi diiringi tumpukkan chat 1anggota geng di grup. Pesan beberapa anggota yang mempertanyakan keberadaan Haris, ditelusurinya semua percakapan sebagian besar bernada meledek, Haris memasang senyum membalas chat pengecut yang berani jika keroyokan saja. Tiba-tiba terdengar suara cukup keras dari arah kaca jendela Haris. Pasti bola anak tetangga. Batinnya. Haris mengambil bola itu dan mengantarnya ke rumah tetangga sebelah niatnya tentu untuk memprotes tendangan bola keras yang bisa saja memecahkan kaca jendela kamar dan membuat dirinya harus berurusan lagi dengan orang tuanya. Tak sampai 1 menit Haris sudah berdiri tepat di depan gerbang rumah tetangga, tampak beberapa orang tetangga sedang berkumpul termasuk 3 orang anak laki-laki usia sekolah dasar yang berlari menghampirinya dengan raut wajah senang.

“Terima kasih kakak!” Keinginan Haris untuk membentak bocah-bocah itu sirna melihat kepolosan dan kegembiraan di wajah mereka hanya karena bolanya kembali. 

“Iya, lain kali kalau main hati-hati,” balas Haris datar menyerahkan bola ditangannya ke anak itu. Tak berselang lama seorang wanita menghampiri mereka

“ Ehh... Haris, kamu kenapa di sini? Duh, jangan main sama anak tante ya, bukan apa takutnya dia mencontoh yang tidak baik, kasihan masih kecil,” ceplos wanita tersebut. Haris bingung harus menjawab apa perasaan kesal pun mulai melingkupi tubuhnya ditambah tatapan orang-orang di sana yang menatapnya sinis penuh penghakiman. Ya, Haris sadar kalau cap anak nakal dan berandalan pasti sudah melekat padanya. Mau diubah toh nyatanya mustahil, masyarakat sekarang bisanya hanya ikut menghakimi, tanpa solusi apalagi bantuan sama seperti Ayah dan Bunda. 

“Iya, maaf tante Haris juga lagi tidak boleh main hehehe, saya permisi dulu.” Haris buru-buru kembali ke rumahnya memasang hati keras kembali mengecek gawangnya yang ternyata telah dipenuhi notifikasi dari Nico sahabat dan anggota geng motor yang sama. Mata Haris terbelanga membaca tulisan panjang di sana dan membalas chat Nico cepat untuk mengajaknya ke temuan meskipun bertaruh vonis hukuman tambahan bisa didapatkan.

“Nic, lo ada masalah apa sih? Udah bagus kemarin di geng menghilang, sekarang lo mau gabung lagi”. Dibangku café itu, Haris membuka percakapan sesantai mungkin setelah melihat raut wajah Nico yang sembab

“Orang tua gua mau cerai, ada surat pengadilannya,” jawab Nico sambil termenung bingung. Mendengar itu Haris diam kehabisan kata, sungguh tak terbayang dalam benaknya jika harus bertahan seorang diri di muka pintu kehancuran keluarga. Teringat akan kisahnya sendiri yang masih terjebak dalam keluarga yang toxic, mereka yang mengaku orang tua tapi boro-boro bertegur sapa dan bercanda bersama, sekedar berpandangan mata dengan mata saja perhitungannya banyak lebih baik ikut geng yang jelas-jelas siap menemani kapan pun walau nanti malah berbuat aksi nakal bersama atau sebenarnya ini bentuk pelarian emosi?. Tapi Haris sadar kalau Nico itu berbeda, dia berubah bahkan berniat meninggalkan geng pelan-pelan demi menyenangkan orang tuanya namun malah dikecewakan.

“Gua gak jadi keluar dari geng, ayo senang-senang lagi aja kayak dulu... gua capek Ris,” ucapan Nico membuat Haris terbangun dari renungannya segera memberi respons anggukan diiringi senyuman tipis sesaat sebelum akhirnya Haris kembali meminum soda kesukaannya. Haris lega karena bisa kumpul lagi sama Nico di geng tapi entah mengapa timbul keraguan di hatinya.

Malam Sabtu kali ini touring 2 berjalan sama dengan malam sebelumnya namun dengan personil yang komplit. Gerombolan remaja geng motor itu kembali memecahkeheningan malam dengan suara tawa yang bersahutan dengan bunyi motor modifikasi menyusuri sela-sela ibu kota. 

“Bro! Tuh liat, ada kakek bajak laut!” teriak Dimas salah satu anggota geng yang sedang memimpin jalan patroli malam mereka disambut sorakkan setuju oleh anak lain. Mereka memacu cepat motor mendekati kakek bertongkat dengan karung cukup besar di pundaknya kemudian 3 motor di depan dengan kompak membunyikan klakson motor hingga membuat Kakek yang setengah matanya buta ditutupi kain dan kakinya yang memakai kaki palsu itu pun jatuh karena kaget. Mirisnya jatuhnya sang kakek malah menjadi energi mereka untuk tertawa kencang dan menyorakinya bergantian sambil tancap gas. Haris dan Nico yang berjalan mengekor sempat melambatkan laju motor kendaraan agak bisa memastikan kondisi si kakek, walau segan untuk berhenti karena rasa canggung dan malu bila menolong korban mereka. Kondisi kakek yang terlihat baik membut mereka segera tancap gas meninggalkan kakek bajak laut. 

Seminggu kemudian di tengah jalanan yang sepi, Haris menjumpai figur tubuh dan gerak-gerik yang cukup akrab baginya. Kakek bajak laut. Batinnya. Rasa gengsi Haris memintanya untuk melaju cepat dan mengacuhkan kakek tapi kali ini hatinya yang berkuasa, Haris melambat menepi sedikit di depan kakek itu. Haris diam menunggu kakek melewatinya dan benar saja kakek hanya mendahului Haris sambil terdengar bisikan kecil yang santun 

“Permisi Nak.” Bisikan itu membuat hati Haris semakin tergugah untuk menegur kakek.

“Ma-malam kek, ka-kakek mau ke mana malam-malam gini?” tanya Haris terbata-bata

“Saya mau pulang Nak, mari”. Kakek mengangguk pelan 

“Kakek! Ma-mau saya antar? jangan khawatir saya gak punya niat jahat cuman karungnya kelihatan berat, sudah larut juga jadi saya antar saja ya, Kek” Tawaran Haris disambut si Kakek dengan senyuman alhasil diboncenglah kakek bajak laut. 

15 menit berkendara motor mengikuti arah yang ditunjuk kakek. Kumuh dan jorok kata yang pas untuk menggambarkan pemukiman dipadati rumah-rumah semi permanen semerawut sebagai lokasi pemberhentian mereka. Haris membantu kakek turun dan mengangkat karung yang ternyata cukup berat baginya. Heran bagaimana pria paruh baya bisa berjalan jauh sambil membawa karung ini. Langkah mereka terhenti di bawah kolong jembatan besar. Beberapa orang berbaring berkelompok dengan alas seadanya hingga kolong jembatan pun beralih fungsi bagai atap dan rumah bersama. Haris meringankan langkahnya takut membangun mereka yang terlelap, mengikuti kakek yang menghantarkannya disudut jembatan dengan tikar-tikar yang terisi beberapa anak lusuh yang tidur nyenyaknya.

“Taruh di sini saja. Terima kasih, Nak kamu baik sekali. Segaralah pulang dan hati-hati di jalan,” ucap kakek lembut sambil menjabat tangan Haris dan menepuk-nepuk ringan pundak remaja itu dengan hangat. Sungguh pujian dan kehangatan yang diberikan kakek membuat Haris terlena. Ia sadar kata dan kehangatan itu yang selama ini dirindukannya.

“Terima kasih Kakek... Sebelumnya saya mau tanya itu karung isinya apa?” Haris mencari basa-basi lain untuk bisa lebih lama di sana. Kakek pun mengajak Haris membongkar karung yang ternyata berisi buku-buku bacaan yang terlihat bekas tapi masih dapat kondisi yang baik. Buku, Pantas berat. Batin Haris

“Ini untuk apa kek? Mau dikilokan?” 

“Buku kalau sudah tak terpakai cuman jadi bahan kiloan saja? Sayang ilmunya. Buku-buku ini untuk besok anak-anak baca, agar Senin ada bahan bacaan baru,” jawab kakek sedikit tertawa melihat pola pikir anak muda sekarang gampang membuang barang bahkan ilmu jadi seperti sampah. Masih penasaran Haris pun ikut duduk di samping kakek melontarkan berbegai pertanyaan hingga diketahuinya tempat yang dia duduki ini adalah sekolah untuk anak jalanan. Kakek bercerita mayoritas anak-anak di pemukiman ini putus sekolah ketika SD, sebagian besar tentu karena keterbatasan ekonomi. Beberapa anak juga malah dikeluarkan karena terlibat kasus pelanggaran berat seperti mencuri dan merokok. 

“Saya juga dikeluarkan dari sekolah, karena terlibat tauran dan masuk geng,” balas Haris teringat pahitnya dikeluarkan dari sekolah sebagai risiko yang harus ditanggung atas pilihannya. Tapi anak-anak kecil ini, mereka layak mencicipi bangku pendidikan

“Itulah Nak, dunia pendidikan kita masih perlu kacamata untuk melihat mana anak-anak yang seharusnya dicerdaskan dan diberdayakan. Coba lihat sekarang kebanyakan sekolah formal hanya cuci tangan dengan anak yang nakal dan bodoh”. Haris menganggukkan kepala

“Saya ingin anak-anak ini kembali punya kesempatan, setidaknya mereka bisa melihat cahaya harapan di masa depan. Makanya saya tidak ingin mereka bodoh agar tidak dimanfaatkan uang, terjerat kenikmatan sesaat atau ditipu orang-orang pintar itu,” lanjut kakek. Haris tertegun, sungguh pemikiran dan tindakkan sebesar ini datang dari orang bermodalkan fisik yang lemah dan terlihat menyeramkan. 

“Kek, Apa hari Senin nanti saya boleh ikut belajar di sini? Tanya Haris ragu

“Tentu saja, datanglah kapan pun kamu mau,” jawab kakek dengan senang. 

Tak terasa bulan telah berganti sejak pertama kali Haris bertemu dengan kakek, hingga sekarang Haris rutin mengunjungi sekolah itu. Bermain dan mengajari anak-anak membantu kakek dengan mengandalkan sedikit ilmu yang dia punya ketika masih sekolah telah menjadi rutinitas barunya. Anak-anak yang lucu dan punya semangat belajar dan rasa ingin tahu yang tinggi sanggup menggugah hati Haris. Pengalaman bercengkerama tanpa ada tatapan menghakimi semakin membuat Haris ketagihan untuk terus berkunjung. Rasanya seperti menolong orang sekaligus menyembuhkan diri sendiri. Haris memandangi kakek yang bercanda tawa dengan anak-anak dan sekilas ingatan nasib beberapa teman-teman di geng putus sekolah serta Nico yang masih stres karena perceraian orang tuanya membuat Haris memberanikan diri untuk meminta izin kakek mengajak Nico sahabatnya ikut berkunjung ke sekolah ini siapa tahu, nongkrong bersama anak-anak di sini Nico mendapat penghiburan.

Setelah membujuk Nico yang akhirnya pasrah dan bersedia ikut Haris Senin berikutnya mereka datang bersama-sama ke tempat nongkrong baru Haris. 

“Ris, ini tempatnya? “ tanya Nico menyenggol lengan Haris sambil memutar bola mata menelusuri tempat asing baginya. Nico mendapati gerombolan anak lesehan di sana

“Iya ini sekolahnya, lihat saja ada papan tulis, tiker sama buku-buku.” Tunjuk Haris ke arah perlengkapan belajar sederhana di sana Tak lama beberapa anak mengerubungi Haris dan menghujankan sapaan dan pertanyaan terutama terikait kehadiran Nico. Haris pun menyuruh Nico memperkenalkan diri setelah itu mereka menuntun anak-anak itu duduk berkelompok, membaca doa pagi dan belajar. Mulanya Haris khawatir Nico tak nyaman tapi kenyataannya baru dua jam di sana Nico mampu membuat mereka tertawa bersama. Menjelang sore di atas jembatan sudah mulai dipadati lalu-lalang kendaraan yang berebut pulang, begitu pula Haris dan Nico yang berpamitan dengan kakek.

“Saya senang sekali boleh main, mak-maksudnya belajar bersama adik-adik di sini... Kakek, saya minta maaf untuk perbuatan saya kemarin, tolong izinkan Nico main ke sini lagi ya, Kek.” Nico merendahkan nada suaranya membuat Haris mengingat kenakalan atau malah kejahatannya sama kakek. Dia belum sempat dan berani mengakui kalau dia anggota geng yang sering mengerjai dan menghina kakek. Pria prauh baya itu terlihat bingung, keheningan sesaat itu langsung diputus oleh Haris

“Kakek, saya anggota geng motor yang dulu pernah berkata buruk ke kakek tentang cacat dan label bajak laut. Kami juga mengerjai kakek beberapa kali yang terakhir bikin kakek jatuh karena terkejut suara klakson motor. Saya menyesal, maaf untuk kelakuan saya”. Badan Haris yang terbungkuk kurang mengalahkan rasanya kakinya lemas dan ingin bersujud di tanah saja mengingat pikiran dan tindakan yang ia lakukan ke kakek yang ternyata sangat baik dan ramah ini. Nico juga mengikuti jejak Haris meminta maaf.

“Sudah-sudah Nak, tidak usah dipikirkan yang telah berlalu, kamu berdua anak yang baik. Kakek sudah maafkan semuanya tapi jangan di ulangi lagi. Kalian masih muda jalannya masih panjang jadi harus menghabiskan perjalanan dengan berbuat baik, membahagiakan orang lain dan bersyukur biar tidak ada kata penyesalan lagi ya”. Momen dimaafkan membuat Haris lega walau masih ada sedikit yang menganjal di hatinya. 

Beberapa bulan berlalu dan kini Haris tercatat sudah setengah bagian anggota berkomitmen untuk memajukan sekolah kolong jembatan dan daerah pemukiman kumuh di sekitarnya menjadi tempat yang lebih layak dan pastinya dipenuhi harapan. Untuk dana ditanggung rembukkan dengan mengamen, bekerja atau mencari sukarelawan tapi impitan biaya dan mimpi Haris berserta teman-temannya membangun ruangan kelas malah membuat Haris gelap mata dan mengambil uang orang tuanya. Orang tua Haris dapat digolongkan kaya raya hingga Haris berpikir mereka tidak menyadarinya tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

“Ris, gawat sini!” panggil Nico dari balik pintu calon ruang kelas baru anak-anak yang sedang di percantik dengan cat penuh warna-warni ceria. Haris keluar mendapati Ayah dan Bundanya berdiri bersama dengan kakek sembari berbincang-bincang Haris tahu ini waktunya. Ia harus kuat menerima hukuman dari ayah terlihat sudah mengetahui perbuatannya. 

“Ayah-Bunda... Ha-Haris bisa menjelaskan, ini tidak ada hubungannya dengan kakek atau teman-teman yang lain. Semua murni perbuatan Haris untuk kabur dari rumah, gabung geng lagi dan mencuri uang kalian ditambah daftar panjang kekecewaan lain yang harus kalian terima Haris sungguh menyesal, Haris bodoh karena terus lari dari masalah dan menyalahkan kalian. Haris sampai lupa selama ini siapa yang menjaga dan merawat Haris. Ayah dan Bunda boleh marah dan menghukum Haris lagi tapi Haris mohon, tolong biarkan Haris tetap berkunjung dan menjaga sekolah ini,” ucap Haris dengan kepala tertunduk menguatkan suaranya walau sekujur tubuhnya telah bergetar. Baru kali ini Haris mampu berkaca dengan baik hingga mengakui perbuatannya dan mengutarakan isi hatinya dengan tulus tanpa paksaan dan rasa gengsi sedikit pun.

“Haris sayang, tidak apa Bunda senang Haris bisa terbuka sekarang, Bunda sudah merima maaf kamu dari dulu” Rasa dingin di sekujur tubuh Haris lenyap seiring wangi aroma Bunda yang memeluknya dan suara lembut telinganya. 

“Ayah juga minta maaf Nak, untuk perkataan dan gengsi Ayah ke kamu,” tambah Ayah mengelus punggung Haris dan tersenyum

“Ayah penasaran, Haris melakukan semua ini? Ayah mendengar ceritamu dari kakek, kerja bagus!” Ayah menunjuk ruang kelas beserta anak-anak dan teman-temannya. Haris tersenyum bangga diiringi tepukkan tangan orang-orang terdekatnya.

“Terima kasih, berkat kalian Haris sembuh, sekolah ini benar-benar jembatan yang menghantarkan mereka melihat sisi lain kehidupan” Rasa lelah, marah, kecewa, dan benci yang menghantui Haris kini telah lenyap. Memang perlu waktu tapi, kita tidak mungkin mampu bercengkerama dengan tantangan baru jika belum berteman dengan yang lama, karena hidup itu adalah tantangan yang berubah jadi masalah jika kita memilih untuk lari dan sembunyi.

Brigita Olivia Gamellia_@brigitagamellia


19 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Sukak gaya bahasanya. Ajarin buat cerita dong kakak

    BalasHapus
  3. Bagus bgt ceritanya huhuhuhu terharu

    BalasHapus
  4. Ceritanya baguss inspiratif sekali, mau cerita yg lainnya dong :)

    BalasHapus
  5. baguss banget ceritanya inspiratif sekali kaka,ditunggu next karyanya :))

    BalasHapus
  6. Bagus bgt ceritanya, gaya penulisannya juga bagus. Semangat buat next ceritanya hehe

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. ✍️ *Konten coment*
    "Halo, Saya Bernadetha mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Brigita Olivia

    BalasHapus
  9. Halo, Saya Agnes Evelyne mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Brigita Olivia

    BalasHapus
  10. ✍️ *Konten coment*
    "Halo, Saya Geraldyne Wyne, mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Brigita Olivia

    BalasHapus
  11. Haii Saya Nata mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Brigita Olivia.

    BalasHapus
  12. Halo, Saya Lia mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Brigita Olivia.

    BalasHapus
  13. Bagus banget ceritanya, feels nya dapet, aku jadi baperr wkwk. Mantaps, semangat nulisnya lagi 🔥

    BalasHapus
  14. "Halo, Saya Karolina Zeni mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Brigita Olivia

    BalasHapus
  15. Halo, Saya Habsti mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Brigita Olivia.

    Semangat berkarya Brigita, karya yang sangat inspiratif dan penuh makna, sukses selalu

    BalasHapus
  16. Halo, Saya Andin mendukung kegiatan fescom 2020 dan tertarik dengan hasil karya dari Brigita Olivia

    BalasHapus