Selasa, 02 November 2021

72

Akhirnya karya Luthfiyyah Azzahra

Kehilangan, satu kata yang sebelumnya tidak pernah begitu menyesakkan bagiku. Tetapi semuanya berubah saat kejadian itu terjadi. Tepat lima tahun yang lalu bayang-bayang kehilangan dan menghilang terpampang jelas didepan pandangan. Saat itu, pagi hari di bulan Mei. Matahari menerpa wajahnya seakan-akan dia bercahaya. Cantik, “Cia” panggilan untuk anak perempuan pintar yang sedang menyapaku dari kejauhan. Ceria seperti biasanya.

“ Assalamualaikum, rek. Hari ini jadwal e tahfidz Qur’an kan yo?”

Tanyanya sambil tergesa-gesa mengeluarkan Al-Qur’an dari dalam tasnya. Rasa aku sedikit heran, tidak biasanya anak ini terlihat panik saat jadwal tahfidz Qur’an. Apa dia melupakannya ya? Itu lebih tidak masuk akal.

“Waalaikumsalam, opo o kamu Ci, belum hafalan tah?” selidikku.

“Sudah, cuma takut wae Al- Qur’an ku kari ndek rumah. Huh, bikin wong ndredek wae.”

Sudah kuduga, tidak mungkin dia lupa hari ini ada jadwal hafalan.

Bel masuk berbunyi nyaring, kelaspun sudah dipenuhi oleh anak-anak. Mereka mulai gaduh mempersiapkan kelompok hafalan.

“ Assalamualaikum, lho tumben tenan kalian sudah rapih semua biasane wae harus di suruh-suruh dulu,” sapa ustadz. “Waalaikumsalam ustadz.” Jawab anak-anak serempak.

“Ya ndak apa-apa toh ustadz, nanti kalau belum siap sampean marah-marah lagi.” Celetuk Cia yang membuat anak-anak tertawa.

“Yowis … yowis… bagus. Ayo mulai dengan berdoa dulu ya, habis itu seperti biasa wae langsung maju satu-satu hafalan,” bangga ustadz. “Iya, siap ustadz.” Jawabku lantang.

Hafalan hari ini berjalan dengan lancar. Beberapa anak bahkan ada yang maju sampai tiga kali. Mereka benar-benar hebat, kalau begini iri sekali rasanya.

“Ini sudah hapalan semua tah nduk? Kalau sudah lanjut hafalan bareng-bareng ya.”

“Sudah ustadz, gimana kalau baca yasin wae ustadz?” sahut Cia yang diiyakan oleh ustadz.

Tidak terasa waktu yang terpakai untuk hafalan terasa lebih cepat dari biasanya. Anak-anak lain ada yang kembali ke tempat duduk masing-masing atau duduk melingkar dibelakang kelas untuk sekedar berbincang.

“Hmm rek, ayo baca Al-fatihah dan yasin rek…” Celetuk Cia.

“Wes mari Ci hafalan e.” Selaku, lagi pula tadi kita sudah membacakan Al-fatihah dan yasin.

Ya tidak salah juga kalau membacanya sekali lagi, Dyra dan Ara langsung mengiyakan permintaan Cia. Selama kami membacakannya tatapan Cia membuatku risih. Tatapannya kosong, menatapku tapi seperti tidak memikirkan apa-apa, sepertinya dia ada masalah.

“Opo o Ci?” tanyaku, masih penasaran.

“Hm? Ora opo-opo kok hehe.” Jawabnya sambil tersenyum manis. Dari jawabannya saja aku sudah bisa tebak kalau Cia sedang ada masalah.

Bel ke dua berbunyi, kami yang tadi sedang duduk di belakang kelas segera kembali ke tempat duduk masing-masing. Dengan sigapnya guru matematika sudah memasuki kelas dengan membawa buku-buku tebal. Disampingku, Cia juga sudah siap dengan buku matematikanya terlihat sangat semangat. Suara bising dari luar kelas mulai memekakan telinga, bagaimana tidak? Kelas lainnya sudah istirahat dan melakukan aktivitas bebas. Anak-anak dari kelas lain bahkan dengan usilnya menggoda kelas kami yang belum selesai.

“Ustadz, kelas lain sudah istirahat lho.” Rengekku mulai memprovokasi teman-teman yang lain.

“Yowis… yowis ini juga sudah selesai kok, istirahat o kabeh!” Perintah ustadz, hehehe berhasil bukan? “Yeeee…” Sorak anak-anak bahagia.

“Tapi tugas e saya tambahkan jadi 3 halaman yo, sudah wis assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, wes rek timbang waktu istirahat e kepotong kan yo. Ayo ndang nang kantin!” Ucap Ara menyemangati yang lain. Memang benar lebih baik kalau waktu istirahat tidak terpotong hehehe.

Saat di kantin tiba-tiba Cia berhenti didepan gerobak bakso. Sebenarnya tidak heran, toh biasanya dia akan memilih bakso sebagai menu utama. Cia kemudian berjalan menuju anak-anak yang sedang berkumpul disamping gerobak bakso. Ah, ingin membeli sate telur puyuh rupanya.

“Tumbas sate ne a Ci? Lek iyo aku yo kate tumbas, ketokan e enak ngono.” Tawarku ke Cia, tampaknya anak ini juga penasaran karena yang beli lumayan banyak.

Tidak ada sauhutan, tunggu dia melamun? Karena gemas menunggu jawaban yang tak kunjung dibalas aku menyenggol lengannya.

“Eh? Iyo lah, koyok e yo enak seh. Ayo tumbas!” Ajaknya sambil menarik tanganku menuju adik kelas yang berjualan sate telur puyuh, diikuti dengan Dyra dan Ara. Hmm anak ini benar-benar.

Setelah mendapatkannya Cia menyuapkan sate tersebut kepadaku untuk mecicipinya terlebih dahulu. Rasanya lumayan tidak terlalu buruk.

“He Dek,Mbak,Mas. Kalian kalau mau satene ambil o aja nanti tak bayari.” Tunggu, barusan Cia menawarkan untuk meneraktir kan?

Aku, Ara, dan Dyra saling bertatapan, kami bertiga benar-benar kaget. Pasalnya Cia menawarkan untuk meneraktir tidak pada orang tertentu, melainkan seluruh siswa yang sedang beristirahat.

“Fa, awakmu mau kan yo? Ini loh ambil o. Dyr, Ara ayo ini lho ambil o wae.” Tawar Cia semangat.

“Ora wes Ci, aku pingin roti bakar wae.” Tolakku halus, begitupun dengan Dyra dan Ara menolak dengan halus tawaran Cia. Bukannya tidak berterima kasih, tapi kami merasa tidak enak saja.

“Hmm, yowis.” Balas Cia seadanya. Melihat perubahan air muka Cia aku jadi merasa bersalah, habis ini aku berniat untuk mengajaknya berbicara berdua, siapa tahu dia juga mau menjelaskan keadaanya yang sedari tadi menurutku aneh.

Waktu istirahat berakhir, anak-anak lainnya kembali ke kelas masing-masing begitupun kami. Pelajaran demi pelajaran kami lewati seperti biasanya, sampai tidak sadar waktu menunjukkan pukul 16.00 dimana waktunya untuk mengakhiri pembelajaran dan kembali ke rumah masing-masing. Terlihat semangat yang terpancar dari wajah anak-anak lainnya.

“ADUH SEGER E!” Teriak Dyra sambil merenggangkan otot-otot tubuhnya.

“Halah, pelajaran selesai wae baru seger!” Sela ku, yang membuat siempu memutarkan matanya.

“Ayo wes ndang ambil wudhu, pengen ndang mulih aku.” Ajak Dyra terburu-buru.

“Santai wae lho, tempat wudhu yo sek ramai timbangane ngenteni sambil berdiri, pegel Dyr. Wes duduk sini wae rek.” Usul Cia yang langsung disetujui oleh aku dan Ara,kami langsung saja duduk di anak tangga, sedangkan Dyra langsung melesat mencari tempat wudhu yang sepi.

“Lho ini kalian kok belum ambil wudhu?” tanya salah satu ustadz, yang tidak sengaja melihat kami bertiga duduk di anak tangga seperti anak hilang.

“Masih banyak yang antre ustadz.” Jawabku sekenanya, yang diangguki oleh Cia dan Ara.

“Sakno e arek-arek iki, hahaha.” Tawa ustadz pecah.

Kami bertiga hanya tersenyum kecut mendengarnya. Huh ustadz ini benar-benar, daripada mengasihani kami lebih baik memikirkan untuk menambah tempat wudhu baru dan pasokan air agar antrean wudhu tidak lama.

“Ustadz, foto ustadz.” Celetuk Cia yang diiyakan oleh ustadz, aku dan Ara pun langsung bergaya saat kamera ponsel diarahkan pada kami.

Beberapa detik kemudian kami sadar kalau sedari tadi diperhatian oleh guru lainnya. Tapi hal itu tidak membuat kami malu, karena yang menonton guru-guru perempuan hehehe, bahkan beliau yang mengarahkan kami bergaya. Tak lama kemudian Dyra datang menghampiri kami setelah mengambil wudhu dengan tatapan sedih.

“Lho aku ora dijak foto…. Ayo foto lagi ustadz, kan ndak boleh lho foto cuma bertiga tok.”

“Emang e opo o kalau foto bertiga Dyr?’ Tanyaku penasaran.

“Hm? Iyo Fa, jarene ancen ndak boleh. Wedi nanti ada yang meninggal salah satu e.” Jawaban yang diberikan Dyra membuatku kaget , aku tidak pernah mendengarnya.

“Nduk, wes… wes… mitos itu ndang ambil wudhu terus sholat ashar. Dyra ndang pakai mukena e nduk.”

“Oh iya ustadz, ndang rek wudhu tak enteni ndek kelas.” Final Dyra,yang membuat tiga model dadakan ini segera mengambil air wudhu.

Sholat ashar berjamaah pun selesai dilaksanakan, suasana ramai kembali menyelimuti sore ini.

Anak-anak lain masih banyak yang bermain atau sekedar berbindang di gazebo.

“Cia ayo mulih!” Ajakku.

“Sek sabar Mbak hehehe, nah wes let’s go!” Balasnya saat berhasil mengikat tali sepatunya dan langsung menyusulku duduk di depan ruang guru.

“Opo o? Cerito wae, aku koncomu lho.” Tanyaku tiba-tiba, padahal aku tidak pernah begini.

“Hmm, aku bingung Fa. Bapakku sakit sedangkan yo dino iki aku onok les bahasa Inggris. Bapakku wes bilang seh ndak uah les dulu, tapi yo opo aku ndak mau menyianyiakan kesempatan. Aku entuk beasiswa gawe les bahasa Ingrris iku bersyukur banget aku Fa, ilmu lho itu Fa.” Terang Cia panjang lebar. Terlihat genangan air mata yang hendak metes.

Ternyata ini alasan mengapa Cia terlihat melamun beberapa kali. Aku mulai menenangkannya sambil memberikan masukkan, yang akhirnya disetujui oleh Cia. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang guru untuk menghubungi bapaknya.

“Yo opo, opo jare bapakmu?”

“Bapak masih sakit e, aku ndak usah les dulu katanya lagi. Aku wes bilang mau minta tolong anak e bu kantin, tapi tetep wae ndak boleh.”

“Ci? Mulih wae yo, cuma sehari aja kok. Kan ndek rumah masih bisa ngulang pelajaran Ci.” Balasku halus.

“Hmm, yowis lah ndak usah wae.” Finalnya, dengan helaan napas yang panjang. Sebegitu besarnya kah kamu menghargai ilmu Ci?

“Ojok tinggalno aku yo? Makasih banyak.” Ucap Cia tiba-tiba, dengan pandangan lurus kedepan sambil tersenyum simpul, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Aku hanya mengiyakan jawabannya dengan diikuti senyum diwajahku. Senang? Tentu ! Rasanya seperti mendapat apresiasi.

“Eh Ci, aku mulih disek yo? Wes datang i lho jemputan e.” Pamitku singkat pada Cia, tak lupa melakukan tos perpisahan.

Sesampainya di rumah aku membersihkan diri dan beristirahat sebentar. Setelah itu mulai mempersiapkan diri untuk mengerjakan tugas. Tapi bagai tersambar petir disiang bolong, tepat pukul 6.10 petang, Nuri teman sekelasku menghubungiku dan mengatakan bahwa Cia sudah tiada. Kecelakaan, Nuri bilang Cia terpental jauh dengan kepala yang terbentur trotoar saat perjalanan menuju tempat les. Sakit? Sesak? Entahlah semua bercampur menjadi satu, mual mendominasi. Memoriku memutar semua ingatan terakhir bersama Cia tadi sore. Rasa bersalah menyelimuti diriku. Apakah aku sudah mengingkari janji untuk tidak meninggalkannya?

“Kita ke rumah Cia sekrang.” Potong mamah membuyarkan pikiranku. Jadi, ini semua nyata? Pikiranku kalut.

Kain putih terbalut ditubuhnya, bahkan menutupi wajahnya yang cantik. Isak tangis terdengar bersahutan, sedangkan air mataku seakan kering tak ingin keluar dari tempatnya. Para guru dan teman-teman saling berlalu lalang untuk melihat keadaannya. Haruskah aku juga lihat? Tangan ini gemetar hebat, jantung ini berdetak cepat. Udara yang bebas rasanya sulit tertangkap. Kupandangi ibunya yang menghampiriku dengan isakkan yang tertahan.

“Nduk, ya Allah Rafa sahabat e anakku. Seng tabah yo nduk, matur suwun wes jaga Cia sama jadi sahabatnya.” Harusnya aku yang menenangkannya bukan beliau.

“Cia kenapa tetap berangkat les buk? Siapa sing antar? Cia kenapa bisa gitu buk? Aku sudah bilang ndak usah lho padahal, anaknya ya juga mau saya suruh pulang aja.” Tanyaku bertubi-tubi.

“Nduk, Cia diantar anak e mbak kantin lali pakai helm anak e.” Tangis ibu Cia. Aku merasa bersalah harusnya aku menenangkannya. Langsung saja kubalas pelukannya dengan erat.

“Buk, aku mau lihat Cia.” Cicitku.

“Iyo nduk, ayo kita dekati yha. Tapi wajahnya ndak bisa dilihat ndak apa-apa yo?”

“Ndak apa-apa buk, ndak apa-apa.” Tangisku mulai lagi.

Melihat dari dekatpun sebenarnya tak ada guna, semuanya sudah tertutup rapat. Menangis juga tidak akan mengembalikan Cia. Banyak pertanyaan yang muncul dikepalaku, apakah aku sudah menjaganya dengan baik? Aku bahkan terkadang tidak mendengarkan ceritanya, dan meresponnya dengan baik. Hanya biasa saja. Oh, atau ini balasan?


Cerita Pendek karya Luthfiyyah Azzahra
Instagram:@piiyyo_ 

72 komentar:

  1. Semangattt zahraa๐Ÿคฉ

    BalasHapus
  2. keren piaaaa ๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘

    BalasHapus
  3. Yeayyyy๐Ÿคฉ๐Ÿคฉ๐Ÿคฉ๐Ÿ˜ lutfhiyyah did a great job!

    BalasHapus
  4. keren bangett, feelingnya dapet. terus berkarya ya raa!

    BalasHapus
  5. menarik banget!! let's go pi, semangatt๐Ÿ’›

    BalasHapus
  6. yaAllah ini bagus banget, semangat lutfiyyah! Semoga menang<3

    BalasHapus
  7. Bagus, sekalian mengenang di bulan kelahiran Cia yha! ❤

    BalasHapus
  8. This is so cool, let's goo Zahra...๐Ÿ”ฅ

    BalasHapus
  9. KEREEEN BGT PIAAAA๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜

    BalasHapus
  10. Huhuhu sedih ceritanya (ใฃ˘̩╭╮˘̩)ใฃ

    BalasHapus
  11. Kerenn ๐Ÿ˜ semangat piaa๐ŸŽ‰

    BalasHapus
  12. Baguss baguss, ciaa yang tenang disana yha๐Ÿ˜ญ aduh menanges

    BalasHapus
  13. Wiihh kereenn kereenn๐Ÿคฉ๐Ÿคฉ

    BalasHapus
  14. mangat pii!!๐Ÿ’–๐Ÿ‘๐Ÿป๐Ÿ‘๐Ÿป

    BalasHapus
  15. ii baguss, semangat๐Ÿค๐Ÿ‘๐Ÿป

    BalasHapus
  16. Yaampun๐Ÿ˜ญ keren sii, akhirnya pisah gituu

    BalasHapus
  17. Bagus banget karyanya,semangat terus!!

    BalasHapus
  18. Mantap,semangat piii๐Ÿ”ฅ๐Ÿ”ฅ๐Ÿ”ฅ

    BalasHapus
  19. keren banget, feelnya kerasa. semangat berkarya kak!

    BalasHapus
  20. kerennnn dan seruuu bangettt ceritabnya ๐Ÿ˜๐Ÿ‘

    BalasHapus
  21. Wowowowwwww keren bangetttttttttt๐Ÿ˜ป๐Ÿ˜ป๐Ÿ˜ป๐Ÿ˜ป๐Ÿ˜ป❣❣❣❣❣๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘ semangat teruss๐Ÿ’ช๐Ÿ’ช

    BalasHapus
  22. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  23. yaampun piyaaa, flashback♥️

    BalasHapus
  24. Nice story, gud luck mba piiii ๐Ÿ˜˜❤️

    BalasHapus
  25. keren luthfiaa๐Ÿ‘๐Ÿป๐Ÿ‘๐Ÿป

    BalasHapus
  26. semangattt๐Ÿ™†๐Ÿผ‍♀️

    BalasHapus
  27. kerenn ihiyyy๐Ÿ”ฅ๐Ÿ”ฅ

    BalasHapus
  28. Kerennnnn semangattt piaaa ๐Ÿ˜✨

    BalasHapus
  29. Keren bgttttt๐Ÿฅฐ๐Ÿฅฐ

    BalasHapus
  30. OMG SO KEREN MANGATZ ZAR❗️๐Ÿคฉ๐Ÿ˜™✨๐Ÿค

    BalasHapus
  31. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  32. WOWWW KEREN BANGET DEAR๐Ÿ˜❤๐Ÿ‘

    BalasHapus
  33. uwaaa keren bgt pi, so proud of u ๐Ÿ˜๐Ÿ™Œ๐Ÿป

    BalasHapus
  34. Masya allah bagus banget terus semangat

    BalasHapus
  35. MasyaAllah bagus bgt...semangat!! terus berkarya..

    BalasHapus
  36. Wahh kerenn ceritamuu pii... semangat terusss

    BalasHapus
  37. iiii kerennn semangatt ๐Ÿ˜ป

    BalasHapus
  38. Mantaappp, keren zaaa♥️๐Ÿ”ฅ

    BalasHapus
  39. aaaa mba zahra emg besttt๐Ÿ˜ป๐Ÿ˜ป❤️

    BalasHapus
  40. Dammmnn so cool, karya yg kreatif nan keren, full apreciation! 1000/100

    BalasHapus