Selasa, 02 November 2021

14

AKU SAMPAI karya Amira Zahra Azhari

Perkara nasib memang tidak ada yang tau. Aku bujangan yang sedang kehilangan. Hilang langkah, arah, semangat, gairah, bahkan tak ada emosi. Perlahan menyusuri jalan setapak yang becek karena genangan air. Apa yang bisa dibanggakan dari seorang pengangguran. Disepanjang jalan, nyatanya tak ada yang menyapa, entah aku yang kurang bergaul atau mereka yang tak mau tau si orang miskin ini. Tinggal digubuk yang sempit dengan udara lembap didalamnya.

Sampai dirumah yang disebut gubuk ini, aku melepaskan sepatu usang dan menuju sebuah ruangan sekat bambu yang dinamai kamar, bahkan aku sangsi jika orang menganggap ini kamar. Berbaring diatas kasur lapuk dan helaan napas menjadi satu-satunya suara yang kukeluarkan sejak 4 jam yang lalu, terlalu lelah akan hidup.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar,,, Allahu Akbar, Allahu Akbar” suara adzan maghrib mengusik tidurku, pejaman mata memang menjadi obat dari segala lelah. Terduduk diatas kasur untuk pengumpulan nyawa.

Didepan pintu kamar, ada ibu disana, berdiri dan tersenyum lembut kepadaku seraya berkata “sholat nak, kemasjid gih”. Mendengar itu aku membalas senyumannya dan bangkit dari kasur, bersiap untuk ke masjid. Setidaknya ada sepucuk gairah untukku hidup, ibu.

Masjid sudah bisa sholat berjamaah sejak seminggu yang lalu, walau ada jarak tetapi disini aku merasa bahwa aku masih menjadi bagian dari manusia, tak ada beda dengan yang lainnya. Selesai sholat, tanpa basa-basi aku langsung keluar dari masjid dan pulang.

Disepanjang perjalanan menuju rumah, yang biasanya aku mendengar hiruk pikuk perkotaan, kini cenderung sepi. Jalan sempit yang hanya bisa dilalui satu orang terasa sangat menyeramkan dikala pandemi.

Sekelebat bayangan hari ini datang dalam pikiran, aku si anak miskin dihina didepan publik. Mereka yang mengaku orang terpandang, tetapi memandang orang saja tak bisa. “Punya apa kamu melamar disini? ijazah SMA, gaada kelebihan apa apa. Sampah masyarakat tempatnya bukan disini”, itu kata dia waktu aku memberikan pesyaratan melamar kerja. Entah sudah keberapa kalinya seperti ini, menjadi bahan tontonan. Menyedihkan.

Sampai dirumah, hal pertama yang kulakukan yakni tidur. Makan malam pun khayalan saja, tak ada apa-apa yang bisa dikunyah. Sepertinya ibu pun sudah terlelap, jadi aku ingin melanjutkan skenario hidup dalam mimpi saja, setidaknya mimpi tidak mengecewakan. Maaf bu, anakmu belum bisa memberikan apa-apa.

_________________________________________________________________________

Silau, mataku terbuka, ternyata sudah pagi. Berjalan keluar kamar dan duduk diatas dipan, menyapa matahari yang masih mau menyambutku. Berfikir dan berfikir, hari ini apa yang bisa kulakukan?, semua perusahaan dan toko yang memerlukan pekerja sudah kusambangi. Memang susah sekali mencari kerja dengan ribuan pelamar lainnya, sedangkan aku tak ada apa apanya .

“Nak, jangan bengong” tersadar dari lamunan, ibu duduk disampingku.

“Ga bengong bu, cuma bingung. Cari rezeki dimana lagi ya, lagi pandemi begini gaada yang mau nerima” ucapku dengan cemas.

Ibu cuma tertawa renyah “Nak, rezeki udah ada yang ngatur. Pergilah hari ini kemanapun, ikuti langkah kaki. nanti akan sampai” aku hanya mengangguk.

Mandi, bersiap dan mencoba tegar akan keadaan. Hari ini nampaknya matahari terlalu bersemangat, panas menyengat. Entah kemana langkah kaki ini berjalan, hanya dinikmati saja. Berjalan sambil memegang map berisikan cv dan ijazah.

Kususuri jalan ibukota, mungkin ada yang mau menerima pekerja.

Hampir seharian penuh melangkah, ternyata hari ini pun sama, tak ada hasil yang kubawa pulang. “Assalamualaikum bu” ucapku dari depan pintu, kuhampiri ibu dikamar. “Bu, aku gagal” ibu hanya tersenyum, “gapapa”. Aku kecewa, entah yang keberapa kalinya.

__________________________________________________________________________

Hari-hari berlalu, semenjak lulus, kegagalan menjadi sahabat. “Bu, aku gagal” “Bu, aku gagal” “Bu, aku gagal” hanya kalimat itu yang selalu aku sebutkan. Sedih,, jujur. Lelah, sangat. Apakah harus ku akhiri hidup?.

Selama pandemi ini, dari pengeras suara masjid selalu terdengar “innalillahi wa innailahi rojiun”, apakah aku harus menyusul?.

Menetes air mata, kucuran air tak bisa membuatku kembali menjadi semula. Kata motivasi menjadi angin lalu rasanya. Semua hal seakan kebohongan belaka. AKU BENCI!.

Semua pikiran jahat lewat, “haruskah aku mencopet?” “atau aku maling saja?” “bisa apa manusia ini?” “sampah masyarakat yang dibilang mereka benar”.

“hiks, hiks ARGHHHH!” pecah sudah pertahananku. Diotakku hanya berputar “Ibu ingin aku sukses, ibu ingin aku berhasil” berulang kali. Tolongg!! Aku sekarat.

Keluar kamar mandi dengan keadaan basah kuyup, mata sembab dan hidung merah. Berlari dengan kencang tak tau arah. Bahkan sempat terpikir untukku menabrakkan diri.

“Brukk” benar saja aku terjatuh, dilhat anak kecil dan ditertawakan. “HAHAHAHAHA, bangun om, cengeng banget udah gede nangis” salah satu anak itu mengejek. Bukannya bangun, akau malah semakin mennundukkan kepala diaspal dan menangis sekencang mungkin. Kepalan tanganku seolah memiliki tenaga sangat kuat untuk menghantam aspal, aku tak mau menyakiti mereka.

“HEH!, pergi pergi, orang jatoh kok bukannya ditolongin malah diketawain” teriak seorang nenek.

“Bangun nduk” sembari memegang lenganku dan membawaku kesebuah rumah, yang ku tau ini rumah beliau dan aku didudukan diatas kursi. Nenek itu tetanggaku, seorang janda yang ditinggal suaminya baru ini karena virus.

“duhh itu tangannya berdarah, siniin” dengan agak kasar, nenek itu memegang tanganku dan membersihkan luka dengan tissue. “kenapa sih lari-lari, kan jadi jatuh” ucapnya, aku hanya memasang wajah datar.

“Nenek itu kenal sama ibu kamu, dia juga sering cerita sama nenek. Anak bujang satu-satunya gabisa dia nafkahin dengan baik, dan malah membebani kamu” kata nenek. “ibu gaperlu nafkahin nek, yang harusnya nafkahin keluarga si brengsek itu” wajar bukan jika aku marah.

Nenek hanya menghela napas, mungkin bingung ingin bicara apalagi, beliau tau berantakannya keluargaku. Akhirnya aku yang buka suara “Dari awal lulus sampai sekarang, aku cuma ngasih ibu kegagalan nek. Sial banget hidupku”. “Hushh, kalau ngomong gaboleh gitu, belum rezeki namanya” gebukan ringan kudapat dibahu darinya.

Hening menyelimuti sesaat, aku hanya menyesap teh hangat yang disediakan dan beliau kembali kebelakang.

“Ndukk!!, bisa benerin mesin cuci nenek? Rusak sepertinya” Teriaknya dari dalam. Kuhampiri beliau, lalu kulihat mesin cuci usang itu, ternyata benar tidak jalan. “sini kubenerin” ucapku lalu sedikit menggulung kemeja. 2 jam berlalu, mesin cuci itu kembali menyala.

“Cah pinter, Terima kasih ya… gaperlu encok lagi orang tua ini buat nyuci” aku tersenyum samar, ada bahagia tersendiri.

“kamu kenapa ga buka servis aja nduk?” tanyannya, “ilmuku belum cukup nek, lulusan SMA aja” ucapku sangsi. “Ya belajar!! Kreatif dikit. Anak jaman sekarang maunya instan aja, cari kerja, kerja, digaji. Kenapa ga bikin usaha sendiri” aku tercengang. “Betul, aku suka otak-atik mesin, kenapa tidak kukembangkan” ucapku dalam hati.

Tanpa pamit, aku pulang kerumah yang jaraknya mungkin hanya satu kilo dari rumah nenek, nenek hanya tertawa sedikit dan memaklumi “hahh anak baik”.

Pulang kerumah, lalu membuka handphone keluaran lama, yang sudah retak tapi masih bisa berguna. Kucari semua situs mengenai mesin elektronik, mulai dari televisi, handphone, kulkas, laptop dan lainnya.

Kutulis semua hal penting yang kupelajari, mulai dari listrik yang terambung, processor, alat-alat elektronika dan lain sebagainya. Hampir satu minggu tanpa henti kupelajari semua, tak kenal pagi, siang, sore ataupun malam. Membuka modul pembelajaran, ikut kelas gratis dan lainnya. Soal bagaimana aku mendapatkan internet, aku pergi ke belakang café free wifi lalu mengunduh semua bahan materi. Hahahaha, menyenangkan ternyata.

__________________________________________________________________________

Seminggu berlalu, sekarang waktunya eksekusi. Kembali mencari cara untuk penjualan jasa, ada dua cara yang kupikirkan, satu buka jasa dirumah, kedua menjemput bola. Aku lebih memilih menjemput bola. Karena dimasa pandemi ini tidak mungkin orang dengan bebas keluar rumah.

Kupakai kalung papan bertuliskan “JASA SERVICE ELEKTRONIK”. Keliling menyusuri perkampungan tempatku tinggal, bahkan sampai ke beberapa kampung kecil yang kusambangi. Alhamdulillah semua membuahkan hasil, hari ini 4 rumah yang kubantu untuk membetulkan barangnya. Dengan upah seikhlasnya, hampir dua ratus ribu kupegang dengan bahagia.

Malam tiba, watunya untuk pulang. Berlari memasuki rumah mencari ibu, ternyata ibu disana, duduk diatas kasur dengan mukenanya, cantik. Berlutut dibawa kasur didepan ibu “Bu, aku dapet rezeki…doakan aku selalu ya bu, supaya bisa beliin ibu rumah yang layak, beli pakaian, makan enak” Tersedu kumenangis. Ibu tersenyum “Kamu anak yang luar biasa, jangan batasi langkah, dan jangan lupa ibadah” akan kuingat nasihatnya.

_________________________________________________________________________

Sudah sebulan lamanya aku mengulang rutinitas yang sama, pergi ke beberapa kampung dan membantu orang-orang yang kesulitan untuk memperbaiki barang elektroniknya. Hampir beberapa juta kusimpan ditabungan plastik untuk investasi nantinya.

Sepulang keliling, aku menyambangi rumah nenek dengan membawa martabak kesukaan beliau, ya, coklat keju. “Assalamualaikum nekk” ucapku riang. “Waalaikumussalam” balasnya.

“duh repot-repot, makin kurus aja kamu nduk” sebegitu perhatiannya beliau kepadaku, kemana saja aku selama ini. “nek, nek, aku mau buka toko aja. cape keliling. Uangnya udah cukup buat sewa” keluhku, “nahh gitu dong, kembangin terus, jdi anak kreatif inovatif kalau kata orang di tivi hahahahaha” aku ikut tertawa.

Kini, aku sudah punya toko sendiri. Tak perlu susah untuk keliling, hanya perlu mengangkat telfon lalu kusambangi rumah itu, juga ada beberapa orang yang datang membawa barang elektroniknya untuk diinapkan ditokoku.

Tak ada perjuangan yang sia-sia. Setiap hari aku selalu meminta doa kepada ibu, selalu mendapatkan senyumnya, selalu menjadi alasanku untuk berjuang. Hampir dua bulan ini aku sudah jarang pulang kerumah, lebih sering menginap ditoko untuk membenarkan barang dan juga ada beberapa pekerja yang sekarang membantuku.

Keesokan harinya, ada seorang pelanggan setia yang selalu membenarkan barang elektroniknya disini, dan selalu puas akan kinerjaku. Dia mengajakku untuk berbincang sebentar katanya, ingin membicarakan suatu hal penting.

Disinilah aku sekarang bersama dia, didalam café yang terlihat mahal, bahkan aku yang dulu saja hanya berkhayal bisa masuk kedalam sini. “Jadi gini mas, saya berencana mau buat bisnis start up, apalagi sekarang teknologi mulai berkembang dan tergantikan dengan mesin semua. Saya mau modalin buat kembangin bisnis service ini lebih besar lagi dengan inovasi terbaru.” Jelasnya. Diotakku hanya ada kata “BAHAGIA” akhirnyaa!!. Kami berdiskusi panjang dan mendapatkan keputusan. Aku yakin bisnis ini akan berjalan dengan lancar. Semoga.

Aku berlari pulang kerumah, tanpa melepas sepatu kuteriak “IBUUU !!! BUU ANAKMU INSYAALLAH SUKSES BUU!!” “BUU!!” “IBUU DIMANA?!” Aku heran, kok ibu siang ini tidak ada dirumah.

Kuberlari sambangi rumah nenek “Assalamualaikum NEKK!!”, “Waalaikumussalam, ada apa sih teriak teriak?!” kesalnya.

“Nekk, tokoku akan berkembang nekk, ada inverstor yang mau modalin. aku akan bekerja lebih keras supaya jadi orang sukses” nenek menangis mendengarnya, tak kusangka aku bisa sampai dititik ini.

“ibu kok gaada ya nek? Aku mau bilang ibu nek” tapi nenek malah semakin menangis.

“Nekk kenapa? Ibu dimana?? Nekk !! JAWAB!” Aku marah, disaat seperti ini ibu malah tidak ada.

“NDUKK! Kamu yang harusnya sadar!!” Teriaknya, “Ibu kamu udah ngga ada!!” “SADAR NDUK SADAR! Hikss…” ucapnya sambil menggebuk-gebuk tanganku.

Seolah aku ditarik kembali ke memori dimana ibu berada di brangkar rumah sakit dengan alat yang menempel disekujur tubuh. Kala itu hanya tangisan keras takut kehilangan satu-satunya keluarga dihidupku, seorang anak yang masih duduk dikelas VII SMA.

“Nak, jangan nangis… ibu disini dan akan selalu ada disini. Jangan takut. Dunia tidak semenyeramkan itu, ada ibu” ucapnya terbata.

“tapi aku gagal terus bu, gabisa bahagiain ibu, gabisa kayak anak-anak lain hiks…” aku jatuh dan kembali jatuh.

“Kamu itu bahagianya ibu, Terima kasih ya nak… ibu disini, jangan merasa terus gagal, nanti akan sampai”, lalu kardiograf berbunyi nyaring, tanda ibu meninggalkanku. Hilang harapan saat itu. Tapi ibu tak berbohong, dia selalu ada bahkan hanya bayangan saja.

Sekarang aku hanya ingin bilang “Ibu, Aku sampai”.


Cerita Pendek karya Amira Zahra Azhari
Instagram: @mirazahra_

14 komentar: