Aku menarik napas berkali-kali. Meneguhkan hati untuk tabah, walau kutahu sungguh tak mudah. “Terima kasih banyak, Kak Nara.” Anak itu mengucapkannya dengan begitu tulus. Tidak terdengar lewat telinga, tetapi sampai ke hati.
Pandemi sudah enam bulan berlalu dan situasi ini merupakan masa yang sulit bagi siapapun. Aku sudah mendengar kabar duka dari beberapa kawan, tetangga, dan kerabat jauh. Syukurlah, keluargaku masih terbebas dari virus ini. Selama enam bulan ini, aku benar-benar tidak pergi kemana pun. Mama dan Papaku memberiku fasilitas yang sangat cukup bagiku untuk menjalani segala aktivitas di rumah. Hal itu juga karena mereka pun harus bekerja secara daring dari rumah. Mereka bersikap tegas di situasi pandemi ini.
Sebelum pandemi, aku tak memiliki banyak aktivitas. Fokus utamaku hanya kuliah. Aku bahkan tidak mengikuti organisasi selain yang diwajibkan oleh kampusku. Tentu saja hal itu kulakukan sekadar formalitas. Namun enam bulan di rumah membuatku benar-benar merasa terpenjara. Aku sudah membaca begitu banyak buku, menonton seluruh serial Netflix, dan mendengarkan lagu-lagu baru yang sebagian besar tidak cocok untuk telingaku. Namun semua itu tidak berhasil memudarkan rasa bosanku karena terpenjara di rumah.
Maka dari itu, aku berusaha memohon kepada kedua orang tuaku untuk mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat yang diadakan oleh BEM kampusku. Aku hendak mendaftar menjadi relawan. Awalnya mereka tentu saja menolak.
“Ini situasi yang rumit, Ra. Kamu dengar kan berita kematian di luar sana? Kami gak mau namamu ada dari sekian banyak statistik kematian akibat dari pandemi ini,” ujar Papa dengan tegas sewaktu aku pertama kali mengutarakan maksudku. Mama mengangguk setuju.
Meski mereka sangat tegas, tetapi mereka juga orang tua yang demokratis. Setelah berkali-kali aku mengutarakan keinginanku, menjelaskan bagaimana konsep kegiatan, termasuk peraturan protol kesehatan yang harus ditaati, mereka akhirnya menyetujui pilihanku.
“Kamu memang sangat keras kepala. Persis seperti Papamu.” Mama melirik kepada Papa.
“Kami mengizinkanmu. Namun akan ada beberapa peraturan baru di rumah yang harus kamu patuhi,” lanjut Mama. Setelah Mama mengungkapkan beberapa peraturan baru itu disertai beberapa pertanyaan dariku, kami akhirnya menyepakati itu.
“Doain Nara, ya, Pa, Ma.”
Agenda pengabdian masyarakat yang kami lakukan adalah mengajar anak-anak sekolah yang terdampak pandemi di pinggiran kota. Lokasinya berada di sebuah taman yang ditutup selama pandemi. Kami mengajar setiap akhir pekan agar tak menganggu aktivitas kuliah. Hari Sabtu untuk jenjang SD dan hari Minggu untuk jenjang SMP dan SMA. Aku ditugaskan untuk mengajar anak SD. Kegiatan dilakukan di ruangan terbuka, maka seharusnya aman. Tentunya kami tetap memakai masker. Tempat cuci tangan juga tersedia di mana-mana. Siswa yang hadir pun terlebih dahulu didata agar tidak melebihi kapasitas. Mereka yang terdata adalah anak-anak yang bersekolah, tetapi kurang mampu.
Pada hari pertama aku menjadi relawan, aku masih cukup kaku. Namun semangat anak-anak itu ternyata mampu mencairkan kegugupanku. Kami berdoa, belajar, dan bermain bersama. Di akhir pertemuan, para relawan memberikan mereka vitamin dan sekotak susu. Mereka sangat senang.
“Makasih, Kak. Permennya enak banget!” ujar salah satu dari mereka.
“Yeh, kocak! Bukan permen kali, itu namanya vitamin. Gak pernah makan vitamin, sih!” ujar yang lainnya menanggapi.
“Kayak yang sendirinya pernah aja!”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa tipis menyaksikan pertengkaran kecil mereka. Anak-anak di sini cukup nyablak dan selama tidak berlebihan, kami menganggap itu hal yang wajar. Meskipun jika ada anak-anak yang berkata kasar, tentu saja kami langsung mengingatkan mereka.
Saat agenda hari ini sudah berakhir dan kami tengah bersiap-siap pulang, aku tak sengaja melihat seorang anak berdiri di depan taman. Aku berpikir dia adalah anak yang datang terlambat.
“Hei, nama kamu siapa? Kenapa baru datang jam segini?” tanyaku.
“Aku Adam. Maaf, Kak.” Ia menjawab dengan terbata-bata.
“Kelas 1, ya?” tanyaku. Ia mengangguk dengan ragu.
Aku menjelaskan kepadanya bahwa pembelajaran hari ini sudah selesai dan kami sudah bsersiap-siap pulang. Aku pun memintanya untuk datang di minggu depan pada pukul 8 pagi.
“Jangan telat, ya, Adam.” Aku mengingatkannya. Aku juga memberikannya vitamin dan sekotak susu yang masih tersisa. Adam sangat senang dan berterimakasih. Ia kemudian pamit pergi.
Pada minggu selanjutnya, aku kembali bertemu dengan mereka, anak-anak yang menyenangkan. Hari ini kita tidak akan belajar mata pelajaran sekolah, kita akan menghafal doa kegiatan sehari-hari. Pertama-tama, aku memeriksa kehadiran anak-anak. Semuanya lengkap.
Setelah pertemuan hari itu usai dan kami bergegas pulang, lagi-lagi aku bertemu dengan Adam sedang berdiri ragu-ragu di dekat kami. Aku menghampirinya.
“Adam, kenapa telat lagi?” tanyaku. Ia hanya menggeleng.
“Kamu pasti cuma mau vitamin dan susunya aja ya tapi gak mau belajar? Hayo!” timpal Fani, rekanku. Adam hanya menggeleng.
“Maaf, Kak,” ujar Adam pelan.
Hari itu akhirnya memutuskan untuk menemani Adam belajar sementara rekan-rekanku pulang. Mereka mengingatkanku agar tidak terlalu lama karena mereka khawatir orang tuaku akan marah jika aku pulang terlambat. Beberapa saat kemudian, di taman hanya tersisa aku dan Adam. Aku melihat Adam sama sekali tidak membawa buku dan alat tulis. Akhirnya aku memberikannya. Aku berpikir ia lupa membawanya.
“Oke, Adam! Sekarang kita akan belajar membaca doa sehari-hari. Doa apa yang Adam hafal?” tanyaku. Adam menggeleng.
Kemudian aku menuntunnya untuk membaca dan menghafalkan beberapa doa, seperti doa makan, doa tidur, dan doa belajar. Aku membacakannya dan aku meminta ia mengulanginya. Aku bacakan beberapa kali dan hebatnya Adam dapat menghafalnya dengan sangat baik.
“Wah, Adam keren banget! Ini hadiah untuk Adam.” Aku memberikan vitamin dan susu untuk Adam. Ia menerimanya dengan senang hati.
Selanjutnya aku pun bersiap untuk pulang. Aku mengajak Adam untuk keluar bersama, tetapi Adam menggeleng. Mungkin ia masih ingin bermain-main sebentar di taman. Taman ini juga tidak terlalu jauh dari pemukiman warga, yang mungkin dekat dengan tempat tinggal Adam. Aku mengingatkannya agar tidak pulang terlalu siang, kemudian aku segera pulang.
Minggu selanjutnya, aku melihat Adam sudah tiba di taman sangat pagi, bahkan sebelum para relawan tiba di taman. Aku mengapresiasi semangatnya. Ia pun tak segan membantu kami untuk menyiapkan beberapa peralatan yang diperlukan. Ia memang anak yang sangat baik dan patuh, meski agak sedikit murung. Minggu-minggu selanjutnya ia selalu datang di waktu yang sama dan membantu kami.
Waktu berjalan tanpa terasa. Kegiatan pengabdian kami berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Aku sangat beruntung bisa mengambil peran di sini.
Suatu waktu, di saat aku sedang mengajar, tiba-tiba Mama meneleponku dan mengabari bahwa Bi Yati, asisten rumah tangga kami positif COVID. Mama memintaku segera pulang untuk melakukan tes PCR (Polymerase Chain Reaction). Aku berusaha menjelaskan kepadanya bahwa agendaku belum selesai. Namun kepanikan telanjur menguasainya. Akhirnya di tengah mengajar, aku pun pulang dengan terburu-buru.
Sesampainya di rumah, ternyata sudah ada dokter dan perawat dari rumah sakit tempat kami biasa berobat. Bi Yati sudah dibawa ke wisma atlet untuk melakukan karantina. Aku pun segera dites. Kata Mama, kemungkinan tertular saat pergi ke pasar. Positifnya Bi Yati membuat Mama melarangku untuk pergi kemana pun. Aku cukup sedih, tetapi tak bisa menolak. Sebab, ini semua demi kebaikan bersama.
Siang itu kami begitu panik dan cemas menunggu hasil tes yang baru keluar dua hari kemudian. Aku juga merasa lebih lelah dari biasanya. Aku langsung tertidur setelah dites dan baru terbangun pada keesokan harinya. Saat hendak memeriksa ponsel, aku tidak berhasil menemukannya. Mama dan Papa mencoba menghubungi, tetapi ponselku mati. Setelah aku mengingat-ingat, sepertinya ponselku tertinggal di taman saat aku terburu-buru pulang. Aku pun menghubungi temanku lewat ponsel Mama. Aku menjelaskan terkait kondisiku dan bertanya terkait ponselku yang tertinggal.
“Kemarin pas beres-beres kita gak liat ponselmu, Ra.”
Aku menghela napas. Ponselku benar-benar hilang. Mama menyayangkan kecerobohanku, tetapi karena di masa seperti ini ponsel telah menjadi kebutuhan primer, mau tak mau orang tuaku langsung membelikanku ponsel baru. Kami memesannya secara online, dan ponselku baru akan datang beberapa hari kemudian.
Keesokan harinya, Papa menerima surat hasil tes PCR lewat surel. Hasilnya kami semua negatif. Kami sangat bersyukur dan menjadi lebih tenang. Kami juga mendengar kabar Bi Yati yang keadaannya sudah semakin membaik.
Namun tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara ketukan pintu dan diiringi bunyi sirine. Mama membukakan pintu, lalu memanggilku. Ada polisi yang mencariku.
“Apakah benar ini ponsel milik Anda?” tanya polisi sambil menunjukkan sebuah ponsel yang telah ditaruh ke dalam plastik dan benar itu adalah ponselku. “Baik, kami butuh keterangan saudari sebagai saksi,” lanjutnya. Kami semua sangat kaget.
Akupun dibawa ke kantor polisi. Mama dan Papa ikut menemaniku. Polisi memberiku begitu banyak pertanyaan. Aku menjawab dengan jujur sebagaimana yang kuketahui. Setelah keluar dari ruang pemeriksaan, aku sangat lemas. Ketika Mama dan Papa menanyaiku, aku tak bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku pun tak dapat mengingat semua yang polisi tanyakan. Aku sungguh terkejut.
Satu hal yang kupahami, ada seorang anak yang dibunuh oleh preman di taman di tempatku mengajar. Polisi menduga preman membunuh anak itu karena ingin merampas ponselnya, yang ternyata merupakan ponselku. Preman itu kini telah ditangkap.
“Mbak Nara, mari kita lihat jasad korban,” ujar polisi yang tadi mewawancaraiku. Aku menurut.
“Ra, kamu yakin mau melihat jasadnya? Kalau kamu mau menolak, biar Papa yang berbicara.” Papa mencoba memastikan keadaanku.
“Pa, aku harus tahu anak itu. Siapa tau aku bisa membantunya.”
Kami pun pergi ke rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari kantor polisi. Tempat di mana jenazah anak itu berada. Saat kami hendak memasuki ruang jenazah, tiba-tiba polisi lain menghampiri.
“Lapor, Pak! Kami menemukan barang bukti baru berupa buku tulis di TKP.” Polisi itu menunjukkan sebuah buku tulis yang tidak bersampul. Aku agaknya mengenali buku tersebut, tetapi tidak mungkin. Pasti banyak anak yang memiliki buku seperti itu. Aku yakin anak ini bukan seseorang yang kukenali. Aku berharap begitu. Namun tiba-tiba aku meminta kepada polisi untuk melihat buku tersebut.
Polisi pun membukakan lembar demi lembar dalam buku itu di dekatku. Aku sangat kaget dengan isinya. Ya Tuhan, aku sangat mengenali buku ini. Aku segera mendesak masuk ke ruang jenazah untuk membuktikan bahwa dugaanku salah, tetapi saat itu sungguh perasaanku sudah tidak karuan.
Saat polisi membuka kain jasad anak itu, aku benar-benar langsung terjatuh dan terisak dengan sangat kencang. Aku sangat mengenali siapa anak ini. Aku memeluk Mama dengan sangat erat.
“Anak ini adalah pengamen yang selalu bermalam di taman itu. Lokasi itu memang cukup rawan dengan preman di malam hari. Dugaan kami, preman itu berusaha merampas ponsel yang dipegang anak ini. Namun, karena ia menolak, ia akhirnya dibunuh oleh preman itu.” Polisi menjelaskan dugaannya kepada.
Aku sungguh terkejut.
Anak itu adalah muridku. Aku sungguh baru mengetahui bahwa ia merupakan pengamen dan tidak memiliki tempat tinggal. Bahkan mungkin ia tidak pernah sekolah. Ia mengaku padaku bahwa ia bersekolah mungkin hanya agar ia dapat belajar bersama kami. Aku sungguh tidak percaya dengan segala yang kulihat dan kudengar. Selanjutnya, semuanya menjadi kabur.
**
/halaman pertama/ adam kelas 1.
/halaman kedua/ doa makan, doa tidur, dan doa belajar, diiajari Kak Nara
/halaman ketiga dari akhir/ adam seneng bisa belajar
/halaman kedua dari akhir/ hp kak nara ketinggalan, Adam balikin minggu depan.
/halaman terakhir/ terima kasih kak nara bidadari
**
Anak itu baru saja memulai mimpinya, tetapi realitas merampasnya dengan begitu tega.
Cerita Pendek karya Hana Farhani Maulida
Instagram: @hanafm24s
Menarikk
BalasHapusTerima kasih sudah membaca ❤️
HapusCerpen yang memiliki nilai moral dan ide cerita yang menarik...
BalasHapusTerima kasih sudah membaca ❤️
HapusPlot twistnya 💔
BalasHapusBikin patah hati, ya :'( Terima kasih sudah membaca ❤️
HapusKerenn
BalasHapusTerima kasih sudah membaca ❤️
HapusMantepp :))
BalasHapus