“Guru terpaksa berjalan puluhan kilometer ke rumah siswa untuk mengajar,”
Sebuah televisi masih menyala di ruang utama sebuah indekos. Ruangan itu terlihat sepi, hanya aku dan Syifa yang sedang menikmati cemilan di minggu sore itu. Aku yang biasanya tak terlalu peduli dengan tayangan berita, seketika terpaku. Saat ini aku sudah dimudahkan dengan beragam teknologi canggih yang membantu aktivitas selama pandemi seperti ini. Namun, ternyata di belahan bumi lain di Indonesia masih ada yang belum merasakan kecanggihan teknologi.
Pandemi memang merenggut segalanya. Nyawa jutaan orang di muka bumi ini, kebebasan, dan ketenangan hidup. Tidak jarang kita mendengar tentang bisnis yang bangkrut atau pekerja yang dipaksa berhenti meskipun kebutuhan makan tak tercukupi. Berangkat ke sekolah di pagi hari seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan untuk bisa belajar dan berkumpul dengan teman-teman. Namun, sekarang hanya bisa berkabar melalui layar ponsel.
Aku tersentak saat Syifa menawariku minum. Aku hanya menganggukkan kepala dengan sisa pikiran tadi. Kami menyudahi kegiatan dan kembali ke kamar masing-masing. Belum sampai di depan pintu, ponselku berdering dengan suara yang sangat nyaring. Aku langsung berlari masuk dan menutup pintu rapat-rapat. “Ibu” tertulis jelas di layar ponselku. Seperti komunikasi batin, sore itu aku memang ingin menghubungi beliau barang sejenak untuk mendengar suara merdunya. Aku merindukan beliau, masakannya, omelannya, parfumnya, segalanya aku rindu. Aku pikir merantau akan sangat menyenangkan dan seru. Nyatanya tidak!
Obralan kami tidak berlangsung lama. Tiba-tiba terdengar suara tangisan yang cukup nyaring dari ponsel ibu saat kami bertukar kabar. Tanpa pamit, beliau langsung menutup telepon. Aku tak tahu apa yang terjadi. Apakah mereka di sana baik-baik saja? Aku sangat khawatir.
Senja usai dan malam dimulai. Ibu memberi kabar bahwa anak tetangga kami, Bagas, menangis lantaran ingin ponsel baru untuk bersekolah. Ia tak mau berbagi dengan beberapa kakaknya. Memang keluarga tersebut hanya punya satu ponsel. Itu pun harus dipakai bergantian untuk ketiga anak di keluarga tersebut. Sayangnya, Ayah Bagas baru saja diberhentikan dari tempatnya bekerja. Ibu Bagas juga terpaksa berhenti menjadi buruh cuci piring di sebuah warung. Pemiliknya terinfeksi virus corona sehingga warungnya terpaksa harus ditutup sementara. Begitu ucap ibu di telepon setelah beliau mendapat kabar dari grup komunikasi warga melalui sebuah aplikasi. Miris rasanya mendengar peristiwa itu.
Rindu masih bersambung. Rindu menggebu, tetapi jarak menjadi musuh. Ada kewajiban yang harus aku tunaikan. Malam ini terasa dingin tanpa kehangatan keluarga.
Mungkin rindu masih berlangsung, tetapi akan terkikis oleh temu. Jika jarak adalah musuh, mungkin teknologi akan menjadi ksatria yang akan membantu. Meskipun dingin suasana malam ini masih terasa, tetapi ada kehangatan di dalam setiap perjumpaan. Himpunan mahasiswa daerah mengadakan pertemuan perdana. Rasanya seperti bertemu dan berkumpul dengan saudara yang sudah lama tak bersua.
Banyak yang kami bicarakan. Berkisah tentang pengalaman menjadi bagian yang tak terlupakan. Sebagian besar dari kami masih berada di daerah. Mereka belum merantau. Terasa sekali suasana rumah. Namun, aku tak melihat Kiki malam ini. Dia adalah teman terbaik seperjuangan dalam mendapatkan perguruan tinggi negeri. Beruntungnya kami berkuliah di tempat yang sama, hanya berbeda fakultas. Aku menanyakan kabarnya. Dia tak bisa ikut lantaran harus membantu adik-adiknya belajar. Orang tuanya tak bisa membantu lantaran masih bekerja untuk mencukupi kebutuhan.
Perjumpaan usai, tetapi ada hal yang sangat mengganggu pikiranku. Apakah setiap orang tua mampu membantu anak-anaknya selama bersekolah dari rumah? Apakah anak-anak mereka bisa belajar sembari bersenang-senang? Menonton televisi misalnya.
Di kamar yang kecil ini, aku mulai berpikir. Apakah bisa aku membantu mereka? Namun, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tiba-tiba terbesit sebuah kata. Animasi! Ya, anak-anak pasti suka menonton animasi. Mungkin belajar dengan menonton animasi akan sangat menyenangkan. Tunggu. Apakah aku mampu melakukan ini semua? Apakah ini akan membantu? Namun, ingin sekali rasanya aku meringankan beban orang tua dan membantu anak-anak di daerah.
Aku mulai berdiskusi dengan himpunan mahasiswa daerah. Aku pikir ini hanya omong kosong belaka. Hanya sekadar pikiran yang tak sengaja terbesit sembari menunggu kantuk menghampiri. Tak kusangka mereka setuju. Mereka mendukung kegiatan ini. Merasa terganggu dengan suara tangisan anak tetangga atau merasa kasihan kepada orang tua yang tak mampu membantu anaknya belajar menjadi beberapa alasan mereka setuju dengan kegiatan ini.
Semua dimulai. Aku akan melaksanakan ini dengan kawan himpunan. Kami perlu menyesuaikan materi tayangan yang akan dibuat. Beruntungnya, salah satu orang tua dari kami adalah seorang guru sekolah dasar. Beruntungnya lagi, ketua RT setempat juga merupakan orang tua salah satu dari kami. Ini tentu akan sangat membantu koordinasi selanjutnya. Keberuntungan berlipat yang sangat membantu.
Kami berdiskusi. Rasanya menyenangkan bisa membantu orang lain. Kami memulai dengan membahas materi yang akan ditayangkan. Sebagian besar anak-anak tersebut masih berada di kelas satu sampai tiga sekolah dasar. Jadi kami akan membuat video tentang pengenalan huruf dan cara membaca. Kami juga akan membuat video cara berhitung sederhana seperti perkalian atau pembagian. Tidak hanya itu, kami juga membuat video tentang Bahasa Inggris untuk memperkenalkan mereka tentang Bahasa Internasional. Mungkin perlu waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Namun, dengan semangat dan kerja sama tim yang baik, kami mampu menyelesaikannya sesuai perkiraan waktu.
Tayangan tersebut akan langsung kami publikasikan kepada keluarga yang memilik anak usia sekolah dasar melalui grup komunikasi warga dengan bantuan ketua RT setempat. Semua berjalan sesuai rencana. Uang untuk membeli paket data pun disediakan dari kas RT yang masih tersisa. Tak disangka, respons mereka sangat baik. Orang tua cukup mengawasi anak-anak mereka sembari mengerjakan pekerjaan lain. Anak-anak sangat senang dengan model belajar seperti ini. “Tidak membosankan!” atau “Animasinya lucu!” begitu respons mereka.
Aku menyukai kegiatan ini. Rasanya luar biasa saat bisa membantu orang lain. Aku sangat bersemangat dan berusaha menjaga kerja sama tim yang baik. Aku rasa semua berjalan sesuai rencana. Sebelum kabar buruk itu sampai ke telingaku.
Pagi itu aku mendapat telepon dari ibu. Bukan suara lembut yang biasa aku dengar, melainkan suara yang penuh ketakutan dan kekhawatiran.
“Nak, Ayah sakit! Ibu harus gimana sekarang?”
Aku tak kuasa menahan tangis. Tangisku langsung pecah saat ibu memutus sambungan telepon. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku takut. Ingin pulang ke rumah pun tak bisa. Pembatasan aktivitas selama pandemi masih berlangsung. Aku sangat bingung dan takut.
Aku merasa bersalah saat itu juga. Alasanku merantau adalah untuk menghindari Ayah. Banyak perbedaan pendapat antara aku dan ayah saat memutuskan untuk berkuliah di sini. Di Jakarta. Beliau ingin aku berkuliah di kota yang dekat dengan rumah. Aku dengan tegas menolak. Aku menolak dengan kasar. Ini yang membuat hubunganku dengan ayah menjadi sangat renggang. Namun, saat ini aku ingin berada di sampingnya. Memeluk dan berlutut memohon ampun untuk sikap kasarku padanya. Namun, apalah kuasa yang aku punya untuk melakukannya. Banyak pikiran buruk yang tiba-tiba menghampiri.
“Tuhan, tolong kuatkan ibu dan sembuhkan ayah. Tolong beri aku kesempatan untuk berbakti kepada mereka.”
Semua berjalan begitu saja. Banyak yang harus aku lakukan di tengah pikiranku yang sedang kalut. Melanjutkan projek video animasi untuk anak-anak, menunaikan kewajiban belajar, dan harus menyisakan tenaga untuk mengerjakan tugas. Setidaknya, aku harus tetap bernapas untuk diriku sendiri dan orang terkasih.
Pikiran menjadi pusat kehidupan. Semua bermula dari pikiran. Semakin keras aku berpikir, semakin sakit rasanya tubuh ini. Begadang dan jadwal makan yang tidak teratur memperburuk keadaan. Aku sakit. Aku tak tahu harus bagaimana saat sakit di perantauan. Aku juga tak mau menambah beban ibu jika mendengar aku sakit. Aku bertahan semampuku. Kenapa masalah ini menyerang bertubi-tubi?
Saat tubuh tak bisa diajak berkompromi dan pikiran buruk masih menghantui, ada banyak pekerjaan yang menghampiri. Tim publikasi animasi terus menanyakan bagaimana video yang akan ditayangkan segera. Teman-teman yang lain juga merasa panik dan bingung bagaimana mengatasi masalah ini. Aku tak bisa berpikir dengan baik.
Kiki yang aku mintai tolong untuk selalu memberi kabar tentang kedua orang tuaku pun tak kunjung berkabar. Aku sudah menghubunginya beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban yang diberi. Sakit makin menjadi dan kepala terasa pening sekali. Ingin rasanya aku mendapat pelukan dari ibu.
Tiba-tiba pintu diketuk. Aku tak tahu siapa di luar. Dengan sedikit merintih, aku bilang bahwa aku sedang sakit, supaya orang tersebut tak masuk. Sakit di tengah pandemi membuat takut berlipat.
“Kamu udah makan belum, Rin? Kalo belum aku bawain bubur ayam ya.” Ternyata Syifa yang mengetuk pintu. Tak disangka, ternyata Tuhan masih bersama dengan hamba yang tak tahu diri, tak berbakti kepada orang tua. Syifa yang aku anggap sebatas teman indekos, kini menjadi penolong hidupku.
Hari berlalu. Satu belum usai, yang lain harus dimulai. Video animasi harus dipublikasi dan aku masih begini. Kawan himpunan mulai meragukanku. Aku yang memulai dan aku malah melarikan diri. Begitu prasangka mereka. Para orang tua pun makin menjadi. Mereka merasa terbantu dengan yang kami lakukan, tetapi beberapa hari ini terlihat tak ada publikasi. Aku mencoba semampuku melakukan yang terbaik agar video animasi dapat dipublikasikan.
Syukurlah, Tuhan masih memberiku kekuatan untuk menyelesaikan beberapa tugas. Tuhan sangat baik padaku. Ayah berangsur membaik dan terdengar suara tenang saat ibu menghubungiku pagi tadi. Ini juga membuatku merasa leih baik. Tiba-tiba terpikir olehku untuk membuat poster edukasi untuk memberikan informasi tentang protokol kesehatan yang harus dilakukan selama pandemi. Aku tak ingin orang terkasih disekitarku sakit. Aku lakukan ini semata agar setiap orang dapat menjaga diri untuk saling melindungi. Saat ini, sayang tak lagi berupa pelukan. Saling menjaga dan memperhatikan protokol kesehatan menjadi ekspresi sayang yang baru.
Di tengah kegiatanku membuat poster, tiba-tiba ponselku berdering. Terlihat nama salah satu kawan himpunan tim publikasi animasi. Aku langsung menjawab telepon tersebut.
“Rin, projek kita dilirik Pak Bupati!”
Aku terkejut. Aku bahkan tak tahu apa yang aku pikirkan.
“Kita ada di berita, Rin! Beritanya udah kemana-mana. Ya ampun seneng banget!”
Dia mengirimkan beberapa tautan berita daring. Aku membuka dan membacanya dengan saksama.
Mahasiswa kita berhasil membuat video animasi belajar untuk membantu anak-anak daerah selama belajar di rumah. Pemerintah kota akan memberikan penghargaan kepada mereka atas kerja keras yang telah diberikan.
Alhamdulillah. Semua kerja keras kami ternyata mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah. Lelah fisik dan pikiran terbayar dengan semua ini. Aku tak berharap lebih tentang projek animasi, aku hanya ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang banyak. Namun, Tuhan memberi banyak nikmat.
Poster yang aku unggah di media sosial pun mendapat respons sangat baik. Banyak yang memberikan selamat atas pencapaian himpunan mahasiswa daerah yang telah memberikan jasa kepada tempatnya berasal.
Belum selesai aku tersenyum, ponselku berdering lagi. Kali ini panggilan telepon dari ibu. Aku segera menjawabnya untuk memberi tahu tentang berita besar ini.
“Ayah bangga sama kamu, Nak. Maafkan Ayah yang terlalu egois ya. Kamu sehat-sehat di sana,” suara Ayah terdengar dari ujung sambungan telepon. Hati bergetar. Senang rasanya jika apa yang aku lakukan mendapat dukungan dari orang tersayang. Terima kasih Tuhan untuk segala nikmat yang Kau curahkan.
Cerita Pendek karya Sinta Fatmah Wati
Instagram: @sintafatmah
0 comments:
Posting Komentar