Pada suatu hari, seorang laki-laki muda berwajah murung menatap keluar melalui jendela kamarnya. Jendela itu berdebu, mungkin tak pernah dibersihkan selama berminggu-minggu. Ia duduk di atas sebuah kursi yang telah rapuh. Pikirannya melayang jauh, jauh ke masa lalu di saat ia masih merasa hidup. Baginya, kehidupannya saat ini sangat tidak bermakna. Ia tidak merasakan adanya kehidupan.
“Aku bosan,” ucapnya pelan sambil melirik daun-daun di pohon yang menari-nari ditiup angin. Awan biru di langit terlihat luas.
Laki-laki muda itu berdiri dan menghampiri jendela berdebunya. Ia ingin melihat langit biru lebih dekat. Ia melihat kedamaian saat melihat langit luas dan mendambakan sebuah kebebasan. Ya, kebebasan. Ia merasa bosan karena virus mematikan yang membuat semua orang ketakutan dan bersembunyi dalam rumah. Meski bosan, ia tak punya pilihan lain selain mengikuti aturan yang ada.
Beberapa saat kemudian, handphone yang diletakkan di atas meja belajar berdebu itu berdering. Laki-laki muda itu segera berjalan menghampiri handphone-nya dan melihat siapa yang menelponnya di saat ia sedang asyik melihat langit biru yang indah.
“Ternyata yang menelponku adalah Yuna. Kenapa dia tiba-tiba menelpon, ya?” tanyanya pada dirinya sendiri. Laki-laki muda itu menjawab panggilan dari seseorang bernama Yuna tersebut.
“Hai, Raka. Apa kabarmu?” sapa seorang gadis bernama Yuna itu.
“A-aku baik,” jawab laki-laki muda yang ternyata bernama Raka itu. Tampaknya Raka cukup gugup saat berbicara dengan Yuna.
Terdengar tawa kecil dari telpon itu dan membuat Raka sedikit penasaran. “Suaramu terdengar seperti orang yang gemetar. Lucu sekali. Ahahaha,” Yuna kembali tertawa.
Raka merasa malu. “Sudahlah, lupakan saja! Ada apa tiba-tiba menelponku?” tanya Raka.
“Baiklah. Apa kamu punya kesibukan akhir-akhir ini?” tanya Yuna.
“Tidak. Aku mengisi waktu liburanku di dalam kamar sambil melihat pohon dan langit di luar jendela,” jawab Raka dengan suara pelan dan wajah malasnya.
Yuna tertawa. “Yah, membosankan sekali, bukan? Apalagi kita menghabiskan dua semester kuliah kita dengan belajar di depan komputer. Setelah ujian selesai, kita hanya berdiam diri di kamar.”
Raka menghela napas. “Sebenarnya, kamu menelponku bukan untuk curhat masalah ini, bukan? Langsung ke intinya saja,” ucap Raka.
“Baiklah. Tujuanku menelponmu adalah aku ingin mengajakmu untuk ikut bersamaku. Aku dan teman-temanku yang juga bosan karena pandemi ini membuat sebuah kelompok kecil yang kami namai sebagai Kelompok Bosan,” ucap Yuna.
Raka penasaran. “Kelompok Bosan? Seperti apa?” tanyanya.
“Ayo kita bertemu! Besok, pukul 10 pagi, di depan toko boneka di seberang jalan dekat rumahmu,” ajak Yuna bersemangat.
Raka terlihat terkejut dengan ajakan tiba-tiba itu. “A-aku tid-“
“Aku menunggumu besok!”
Raka belum menyelesaikan kalimatnya, tapi Yuna telah menyambutnya dengan kalimat penuh harapan dan langsung menutup telponnya. Raka membanting handphone-nya ke tempat tidurnya. Namun, diam-diam ia tersenyum kecil dan kemudian kembali melihat langit di luar jendela kamarnya.
“Apa aku benar-benar bisa menemuinya?” tanyanya, pada langit.
Keesokan harinya, pukul 10.00. Raka berjalan dengan langkah santai. Ia memakai kaos hitam polos yang ia padukan dengan kemeja biru tua lengan panjang yang tak ia kancingkan. Sepatunya berwarna coklat, terlihat mengkilap sekali. Tak lupa juga ia memakai masker dua lapis. Raka melihat seorang gadis berdiri di depan sebuah toko boneka. Beberapa meter lagi, mereka akan benar-benar bertemu.
Gadis itu adalah Yuna. Yuna yang melihat Raka dari kejauhan langsung melambaikan tangannya dan tersenyum. Meski begitu, senyumnya tak tampak karena masker dua lapisnya, hanya tampak matanya menyipit karena tersenyum. Tak tampak juga pipi merahnya karena masker.
Setelah benar-benar dekat, Raka mencoba menyapa Yuna. “Hai,” ucapnya dengan suara seperti orang gemetar.
Yuna menahan tawa kecilnya. Ia tahu persis bahwa Raka sangat gugup. “Hai juga, Raka,” jawabnya dengan suara lembut.
Tak perlu lama-lama lagi, Yuna langsung mengajak Raka ke tempat “Kelompok Bosan” yang sebelumnya telah ia katakan pada Raka di telepon. Mereka melalui jalan kecil yang becek yang disebut “jalan pintas” oleh Yuna.
“Bisa katakan padaku tentang Kelompok Bosan yang kamu maksud kemarin?” tanya Raka.
Yuna mengangguk. “Ya, tentu saja. Sebenarnya, aku yang membentuk Kelompok Bosan itu. Awalnya kelompok itu hanya terdiri dari 3 sampai 5 orang termasuk aku, tapi sekarang sudah hampir mencapai 50 orang.”
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Raka.
“Kami adalah perkumpulan mahasiswa dan mahasiswi yang bosan karena pandemi ini. Jadi, awalnya kami hanya membuat kerajinan tangan dan mencoba menjualnya pada beberapa teman kampus. Di luar dugaan, teman-teman kampus kami sangat menyukainya dan makin banyak yang bergabung dengan kami,” ucap Yuna senang.
Yuna menunjuk sebuah bangunan tua yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Setelah itu, seorang gadis keluar dari bangunan tua itu. Saat gadis itu melihat Yuna, gadis itu langsung melambaikan tangannya. Yuna pun membalasnya dengan melambaikan tangannya juga. Kemudian, ia langsung menarik tangan Raka dan mereka berlari menuju gedung tua itu.
Mereka, Yuna dan Raka, memasuki gedung tua itu. Raka terkejut melihat ke dalam gedung tua itu. Banyak sekali kerajinan tangan yang terlihat hebat. Wajah penuh kagum itu tak dapat disembunyikan dengan baik oleh Raka. Yuna melihat wajah kagum Raka dan merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah mengajak Raka ke Kelompok Bosan.
Raka melihat beberapa kerajinan tangan tersebut. Ia melihat sebuah kalung yang terlihat mewah sekali. Namun, ia baru menyadari bahwa kalung mewah itu terbuat dari cangkang dan batu. Raka langsung menoleh pada Yuna. Yuna tersenyum.
“Ya, seperti yang kamu pikirkan. Kalung itu terbuat dari cangkang dan batu yang dianggap sampah oleh orang-orang. Kami hanya memungutnya, membersihkannya, dan membuatnya terlihat menarik. Lihat! Menarik, bukan?”
Raka mengangguk. Raka melihat kerajinan tangan lainnya. Ia kemudian melihat sebuah jam tangan yang terlihat berkilau. Lagi-lagi ia tertipu. Itu bukanlah jam tangan bermerek, melainkan jam tangan yang terbuat dari barang bekas. Raka tertawa kecil dan kemudian berdiri.
“Hebat sekali! Kalian bisa menjual barang-barang itu dan menghasilkan uang sendiri,” ucap Raka semangat.
Yuna berhasil membangkitkan semangat Raka. Raka yang awalnya terlihat tak tertarik, setelah melihat kerajinan buatan Yuna dan teman-temannya berubah total dan terlihat begitu tertarik.
Yuna mengangguk. “Ya, aku dan teman-temanku bisa mendapatkan uang dari menjual barang-barang ini. Uangnya pun cukup lumayan. Bagaimana jika kamu ikut membantu kami?” tanya Yuna. Yuna berharap Raka menerimanya.
Raka dengan cepat mengangguk. “Ya, tentu saja aku mau. Lagipula, libur semester akan membosankan jika hanya melihat langit dari dalam kamar,” ucap Raka tertawa. Yuna tertawa dan kemudian ia mengenalkan Raka pada teman-temannya. Raka mendapatkan banyak teman sekaligus. Ia merasa hidup kembali.
Yuna mengajari Raka cara membuat kerajinan-kerajinan yang unik itu. Tak butuh waktu yang lama bagi Raka untuk menguasai teknik-teknik yang diajarkan oleh Yuna. Semua orang di tempat itu bekerja dengan cepat dan teliti. Semuanya berusaha membuat kerajinan yang baik dan dapat memuaskan pelanggan.
Tanpa disadari, waktu berlalu begitu cepat. Senja datang tanpa berkata apa-apa. Raka sendiri awalnya enggan untuk pulang, tapi setelah dibujuk Yuna untuk pulang barulah Raka bangkit dari tempat duduknya. Pengalaman baru yang menarik untuk Raka membuatnya bersemangat dan tak ingin kembali ke kamar kecilnya.
“Kamu hebat sekali! Baru beberapa kali kuajari, kamu sudah paham sekali dengan teknik-tekniknya,” ucap Yuna senang. Raka tersenyum kecil.
Waktu demi waktu berlalu, hari terus berganti. Raka menghabiskan waktu liburannya dengan membuat kerajinan di gedung tua tempat berkumpul Kelompok Bosan yang didirikan oleh Yuna tersebut. Sebagai anggota baru, Raka cukup hebat karena ia dapat menghasilkan banyak kerajinan. Semangatnya sangat tinggi.
Suatu hari, Kelompok Bosan berkunjung ke pemukiman kumuh. Di sana, mereka membagikan makanan yang mereka beli dari hasil penjualan kerajinan tangan. Bukan hanya berjiwa kreatif, mereka juga memiliki rasa empati yang tinggi pada sesama. Mereka selalu menyisihkan uang penjualan mereka untuk membeli makanan dan dibagi-bagikan pada orang yang kurang mampu.
Selain itu, Kelompok Bosan juga mempekerjakan ibu rumah tangga, anak muda, dan orang-orang yang di-PHK akibat pandemi untuk membuat kerajinan. Kelompok Bosan berkembang semakin besar dan menjadi terkenal di kalangan masyarakat sekitar. Jangkauan pelanggan mereka pun semakin luas.
Yuna, Raka, teman-temannya, dan para pekerja yang membantu melancarkan pekerjaan, turut senang dengan keberhasilan yang telah mereka raih. Mereka terlahir karena rasa bosan. Kemudian, mulai merintis pelan-pelan, dan akhirnya mereka semakin berkembang karena kerja keras dan semangat.
Tanpa terasa, liburan hampir usai. Raka tak tahu apakah ia masih bisa membantu Kelompok Bosan saat tugas-tugas kuliahnya sudah kembali menumpuk.
“Jangan mencemaskan hal itu! Kelompok Bosan memiliki banyak pekerja saat ini. Mereka juga sangat semangat. Jadi, kamu fokus saja pada kuliahmu,” ucap Yuna pada Raka, pada suatu senja sehabis hujan, di depan toko boneka di seberang jalan, tiga hari sebelum kuliah kembali dilaksanakan, tiga hari sebelum semester tiga datang.
Raka merasa khawatir. Khawatir kalau ia tak dapat membantu membuat kerajinan lagi. Terlebih lagi, ia khawatir tak dapat bertemu Yuna kembali.
“Apa aku masih boleh menemuimu di luar urusan Kelompok Bosan atau masalah kerajinan? Maksudku, bertemu sebagai Raka dan Yuna.”
Raka mengucapkannya dengan malu-malu. Yuna sendiri terlihat santai. “Tentu saja. Kita bisa bertemu kapan pun. Tentu saja sebagai Raka dan Yuna.”
Raka tersenyum. “Liburanku kali ini rasanya sangat menyenangkan. Aku belajar banyak hal darimu, Yuna. Terima kasih,” ucapnya pelan.
Kereen
BalasHapus