Selasa, 02 November 2021

3

Semarak Prestasi karya Priska Khairunnisa

 “Huft bosan nih di rumah mulu” ujar Nisa, sahabatku yang cerdas; sholehah; cantik; tetapi bawel minta ampun. Aku yang sedang fokus mengetik naskah hanya terdiam mendengar celotehnya.

“Woi Rere, kok aku didiamkan terus sih dari tadi kayak jemuran aja” rengek Nisa. “Ya mau bagaimana lagi, ini sedang pandemi, kamu ingin tertular?” jawabku. “Tertular apa? Tertular cerdasnya kamu dalam membuat naskah?” ujarnya sambil tertawa. Aku hanya tergeleng sambil tertawa mendengar gurauannya.

“Biar tidak bosan, makanya yuk ikut lomba kayak aku” lanjutku. “Tetapi aku tidak punya bakat” jawabnya. “Bohong, kamu pernah menang lomba debat saat SMA” ucapku. Nisa seketika diam. Aku lupa bahwa dia ada pengalaman pahit dari kejadian itu. Ibunya meninggal saat dia lomba. Sejak saat itu, dia seperti anak yang bermalas-malasan padahal sebenarnya dia sangat cerdas bahkan bisa dikatakan genius.

Keheningan selama beberapa menit membuatku tidak tahan walaupun sebenarnya aku dari tadi butuh fokus untuk mengerjakan naskah. “Nis, kamu masih berpikir bahwa ibumu meninggal karena kamu ikut lomba? Semua bukan karena itu Nis, itu bukan salah kamu. Memang takdirnya saja” ucapku memulai percakapan kembali. “Semua orang bilang takdir, kamu belum tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang menjadi pendukungku selama ini. Lagian kalaupun sekarang aku ikut lomba sepertinya aku tidak bisa menang, aku sudah kehilangan doa terbaik dari ibuku” ucapnya lirih.

“Kamu salah, kamu tahu kan ada istilah bahwa kasih ibu sepanjang masa? Doa dan harapan baik untuk anaknya tetap terus mengalir meskipun raganya tidak lagi bersamamu. Percayalah ibumu pasti bangga melihatmu memenangkan lomba saat itu dan beliau pasti selalu ingin lihat anaknya sukses dan bahagia” ujarku, tetapi reaksi Nisa masih diam tak peduli. “Aku masih ingat ceritamu dilahirkan, bagaimana ibumu tetap gigih melahirkanmu padahal saat itu kamu didiagnosis oleh dokter tidak akan hidup atau kalaupun hidup hanya bisa bernafas sebentar. Aku yakin saat itu ibumu yakin bahwa anak yang diperjuangkannya itu akan tumbuh menjadi anak yang membanggakan. Kamu tuh sebenarnya anak yang hebat banget Nis. Asal kamu tahu saja bahwa aku sangat terinspirasi olehmu. Melihatmu bisa tertawa, bercanda, mudah bergaul padahal hati dan perasaanmu sangat sedih dan hampa. Mungkin kalau yang kehilangan ibu itu aku, aku belum tentu seceria kamu. Bahkan aku saja selalu dikatakan si murung. Aku memang kurang cerdas bermain kata-kata dan ekspresi dalam lisan tetapi saat aku berpikir bagaimana bisa sepertimu aku menemukan cara untuk aku berekspresi dengan membuat naskah. Kamu tidak perlu ikut sepertiku membuat naskah, kamu bisa berkarya dengan caramu sendiri. Kemudian untuk masalah menang atau kalah dalam lomba memang hal biasa, tidak perlu dirisaukan, yang terpenting sudah coba” lanjutku yang cukup panjang sampai-sampai aku sebenarnya kaget sendiri mengapa bisa aku berbicara seperti itu.

“Wow tumben banget aku diceramahi olehmu” ucapnya sambil bercanda. “Tetapi, terima kasih sahabat, kamu sudah memotivasiku kembali. Benar katamu, baiklah aku akan mencobanya tetapi sebelum itu aku ingin tidur” lanjutnya sambil menarik guling di kamarku dengan cepat dan cekikikan. “Ah, kebiasaan kamu” teriakku kesal. Kemudian aku juga menyusul tidur disampingnya.

Kami memang tinggal bersama karena semejak ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi dan tidak ingin mengurusnya. Syukurnya aku bisa membujuk ibuku untuk menganggap Nisa sebagai anaknya juga, mungkin karena ibuku hanya punya satu anak yaitu aku.

Esok harinya, aku terkejut karena Nisa sudah tidak ada di kamar. Kemudian, saat aku memeriksa telepon genggamku, aku melihat pesan dari seseorang tak dikenal. Pesannya berbunyi “Sudah kukatakan jangan semangati Nisa untuk lomba!!!”. Tiba-tiba aku teringat bahwa ayahnya Nisa lah yang membuat Nisa seperti itu. Kepalaku sangat pusing, aku bingung harus berbuat apa.

Beberapa lama kemudian ibuku datang ke kamar. Aku menangis. Ibu memelukku. “Besok kita laporkan kepada polisi sayang, saat ini belum bisa kita adukan anak hilang” ucap ibuku berusaha menenangkan.

Aku menenangkan diri dengan membuat konten. Beberapa jam kemudian, ada telepon dari nomor luar negeri. Awalnya kupikir itu telepon salah sasaran. Namun, nomor tersebut beberapa kali telepon sehingga akhirnya kujawab. “Halo Re” salam si penelpon. Aku terkejut karena seperti suara Nisa tetapi aku tidak ingin asal memberi kesimpulan, aku memutuskan untuk menunggu konfirmasi darinya. “Ini aku Re, Nisa” lanjutnya. “Halo Nisa, bagaimana bisa tiba-tiba seperti ini? Bagaimana ceritanya? tanyaku. “Aku hanya berteman denganmu dan Jonny, tetapi saat orang-orang dari ayahku ingin menculikku aku khawatir bila menghubungimu akhirnya aku menghubungi Jonny tetapi agar tak terlacak aku meminjam telepon genggam orang lain dan menghubungi Jonny kemudian Jonny menyambung ke kamu. Aku hanya ingin mengelabuinya. Aku tidak mungkin ke luar negeri hanya dalam beberapa jam kecuali aku punya pintu kemana saja punya doraemon1” jelas Nisa. “Syukurlah kamu tidak apa-apa, kamu sekarang dimana?” tanyaku cemas. “Kamu bersyukur tetapi masih khawatir” ucapnya sambil tertawa. “Bisa-bisanya kamu tertawa?!” kesalku. “Tenang saja, aku akan kembali, kamu tak perlu khawatir” ucapnya dan ia pun langsung menutup teleponnya.

Pukul 22.00 WIB dia belum kunjung kembali. Ibu menyuruhku tidur. Namun, aku sulit memejamkan mata. Namun, akhirnya aku tertidur juga karena ibu menyetel lantunan ayat suci.

Pagi harinya, ada suara bel berbunyi. Ibu dan aku bingung siapa yang bertamu di pagi hari seperti ini. Akhirnya kami mengintip dari jendela. Kami terkejut melihat banyaknya kumpulan anak datang ke rumah kami. Kemudian, terdengar suara Nisa yang cempreng itu. Akhirnya kami membuka pintu. “Maaf Bu aku kesini membawa banyak orang tanpa mengatakan sebelumnya, tetapi mereka telah aku fasilitasi masker dan kusuruh mencuci tangan di depan Bu” ucap Nisa. “Iya tidak apa-apa Nak, selama tetap menaati protokol kesehatan ya” jawab ibuku. “Ada apa kamu bawa banyak orang Nis? Kamu mau mengadakan pesta ulang tahun?” tanyaku sambil bercanda. “Aku ingin kita ikut lomba Re dan membagikan pengetahuan atau pengalaman yang kita punya dengan memfasilitasi anak-anak yang keterbatasan biaya untuk belajar” jawab Nisa. “Bagaimana dengan ayahmu? Kamu akan terus diteror olehnya” ucapku gelisah. “Ayahku beserta anak buahnya telah ditangkap, maka aku sudah aman. Aku baru tahu sebenarnya yang terjadi mengapa ayahku begitu memaksaku untuk tidak berprestasi, kreatif dan hal-hal membanggakan lainnya” jawab Nisa. “Sudahlah cerita ayahku tidak penting, tetapi aku tidak ingin banyak orang seperti ayahku, maka saatnya kita harus membangun kreatifitas banyak anak muda, kita perlu bentuk komunitas, mulai dari komunitas kecil di lingkungan kita ini saja, baru nanti bisa kita perluas secara daring” bujuk Nisa. “Ibu bangga padamu nak, biar makin semangat belajar dan berprestasi tunggu pisang goreng buatan ibu ya” ujar ibuku semangat setelah mendengar niat baik dari Nisa. Aku pun tersenyum bangga mendengar ucapan sahabatku itu.

Ditengah-tengah diskusi dan belajar bersama, aku bertanya “Apa nama komunitas kita?”. “Semarak prestasi?” saran Nisa. “Wah, ide bagus” jawabku antusias.

Setelah beberapa bulan berjalan, komunitas semarak prestasi telah membantu ratusan orang untuk berkembang, berproses, belajar, berkarya, dan berprestasi bersama di masa pandemi. 


Cerita Pendek karya Priska Khairunnisa
Instagram: @priskakhair2002

3 komentar: