Rabu, 22 Juni 2022

0

[CERPEN] Berayun karya Hananda Fitri Nur Fadzillah

 Berayun


Awan hitam menjadi pengucap selamat datang dibulan Maret. Dua orang perempuan cantik tengah saling mengeliuk berpelukan dengan dekapan terkuat, berusaha menyingkirkan pilu yang tak kunjung sembuh oleh kenyataan. Seperti hal nya air langit yang akan kembali lagi ke asalnya setelah melalui jalan panjang dan proses penguapan, begitupun manusia akan kembali ketempat asal dia diciptakan.

Mereka mengingat akan perih nya rasa sepi yang semakin menguatkan rasa sakit kehilangan orang yang dicintai. Dua orang wanita cantik dengan rentang usia yang cukup jelas mengidentifikasikan bahwa orang yang pergi begitu berharga dalam hidup mereka.

Mereka menutup sesi pelukan dengan saling kembali pada bilik masing masing. Dan mengakhirinya dengan beberapa kata.

“Sudah ya dek, adek jangan lupa makan. Mamah mau langsung tidur ya capek.” Kata sang wanita paruh baya, yang kini bergerak untuk bangun dari duduknya.

“Mamah udah makan?” Tanya seorang perempuan manis dengan rambut terurai, dan mata yang sedikit merah.

“Sudah, tadi sore." Jawab wanita paruh baya itu, dengan mengusap lembut rambut perempuan manis dihadapanya.

“Biasanya ayah yang temenin aku makan kalau mamah tidur." Perempuan itu menjawab dengan sedikit menundukan kepala dan suara yang parau, menahan kemungkinan meluapnya benteng pertahanan.

“Yaudah sekarang mamah temenin ya.” Ucap wanita paruh baya itu dengan senyum terbaiknya.

“Katanya mau tidur mah? Udh gapapa mamah tidur aja. Lagian aku mau makan dikamar aja sambil selesaikan kerjaan ini, besok harus udah beres.” Kata si perempuan manis dengan senyum termanisnya.

“Jangan lupa tidur dek, nanti ayah marah kalau adek kebanyakan begadang.” Ucap wanita paruh baya itu setelah merapikan rabut anaknya yang berantakan.

“Aku senang kalau ayah marah, aku pasti bakal kangen ribut sama ayah.”

“Sudah sudah, kalau memang ada yang harus diselesaikan segera ya dek biar tidur nya ga terlalu malam juga ya. Mamah mau ke kamar duluan.” Kata si wanita paruh baya itu setengah berjalan menuju bilik pintu.

Setiap hari tidak pernah berhenti waktu memberi kejutan, termasuk kepada kedua perempuan ini kedua perempuan yang pada akhirnya harus belajar merajut hidup keluarganya berdua setelah sang paduka keluarga memilih kembali pada sang kuasa. Kejutan yang sangat mengukir luka di hati kedua wanita ini, anak dan ibu yang kini menempati istana tanpa sosok pemimpin. 

Perempuan manis itu biasa dikenal dengan nama Dibya. Dibya kini menghadiri acara rutin setiap akhir bulan di minggu ke-4. Kegiatan yang sudah cukup lama ia datangi disetiap sela kesibukanya, yaitu menghadiri pertemuan sosial dengan para komunitas penyelamat generasi emas indonesia. Bertemu dengan anak-anak kecil itu menjadi hiburan dan bentuk kebahagian yang dapat membantu memudarkan rasa sakit baginya.

Tepat hari-hari sebelumnya Dibya diputuskan dalam ikatan pekerjaanya. Hari yang melelahkan baginya mencari pekerjaan dan harus bersaing dengan ribuan manusia yang juga ingin bertahan dalam kehidupan. Hingga akhirnya beberapa waktu pekerjaan datang dengan upah yang jauh dari pekerjaan sebelumnya diluar jauh batas UMR ibu kota. Dan kejutan besar itu datang kemarin, tepat dihari hari kelelahan yang datang bertubi tubi menjatuhkan gadis puluhan tahun ini dalam pelosok yang jauh.

Ditengah kegiatan menggambar dan mewarnai, Dibya berjalan memperhatikan dan menelusuri setiap anak yang menarik untuk ditanya lebih jauh alasan dia menggambar. Hingga Dibya bertemu seorang anak laki-laki berambut pendek rapih, mengenakan kaos longgar berwarna biru muda. Laki-laki kecil itu menggambar seorang sosok manusia berambut sebahu, dengan badan yang cukup besar dan pastinya gambar itu tidak seperti wujud manusia sungguhan karena Dibya hanya menebak layaknya gambar manusia yang sering anak-anak buat.

“Ini siapa yang digambar?”

“Ini ibu aku.” Kata si laki-laki kecil itu

“Wah cantik banget ya ibu kamu, sama ibu aku juga cantik tau.”

“Iya.” Ucap laki-laki kecil itu yang masih sibuk mewarnai gambarnya

“Kenapa kamu gambar ibu? Eh ini ada foto, ini foto ibu kamu?” tanya Dibya setelah menemukan sebuah foto kecil berukuran 2R dari balik kertas gambar anak laki-laki itu.

“Iya. Tapi ini punya kakak, jadi aku mau bikin punya aku sendiri. Biar kalau kangen ibu, aku bisa terus liat ibu dari gambar ini.”

Waktu berlalu, tepat ketika Dibya telah mendapatkan informasi dari temanya bahwa laki-laki kecil itu seorang piatu. Ibunya telah meninggal sekitar satu tahun yang lalu, dan kini tinggal dengan ayah dan satu kakak perempuanya. Dibya terkejut dan matanya terasa panas, mengingat bahwa laki-laki kecil itu mampu membuatnya merasa sangat kecil dan lemah. 

Dibya kembali kerumah, tepat di dalam kamar dan kini duduk menghadap jendala. Di depan jendela itu ada balkon kecil tempat dimana ayah Dibya biasanya duduk meminum secangkir kopi, dan melukis abstrak tentang hari-hari yang telah berlalu. Kehidupan keluarga Dibya memang dekat dengan seni, dan lewat seni juga mereka membentuk keluarga yang harmonis.

Dibya kini berada di balkon tempat kesukaan ayahnya menghabiskan waktu sendiri. Gadis itu mulai menggoreskan beberapa warna pada kanvas yang sedikit usang tak tersentuh. Setelah waktu mengelabuinya hingga matahari mulai mengurangi jarak pedarnya, kini dia mengambil hasil karyanya dan mengabadikan dalam dunia maya.

Waktu berlalu cukup padat bagi Dibya. Seorang wanita paruh baya yang biasa dipanggil mamah oleh Dibya, kini menatap anak perempuanya yang tengah sibuk menghabiskan waktu disebuah ruangan. Kegiatan ini bukan sekali dua kali baginya, karena Dibya yang terlalu sibuk membuat keberadaan mamahnya sedikit tersamarkan.

“Dek, ini sudah malam kapan mau tidurnya?” tanya wanita didepan pintu

“Iya, mah. Bentar lagi kok ini.”

“Kamu selalu jawab gitu tapi baru matiin lampu jam 2 pagi.” Wanita itu masuk menghampiri dan memerhatikan kegiatan Dibya.

“Mamah udah makan? Maaf ya akhir akhir ini aku sibuk banget, sampai ga bisa temenin mamah makan bareng.” Dibya mengehntikan kativitasnya dan mengedarkan pandangan pada wajah mamahnya.

“Kamu yang harusnya jangan lupa makan, ini kue-kuenya juga buat dimakan jangan jadiin pajangan aja.” Ujar mamah Dibya dengan menunjukan sebaris kue-kue dalam piring.

“Iya, iya mah..”

“dek, dengerin. Mamah mau kita saling jaga, jangan egois untuk menyibukan diri sendiri hingga melupakan bagian dalam diri kita yang butuh istirahat.” Setelah terucap kalimat tersebut Dibya hanya diam memperhatikan mamahnya yang pergi meningglakan kamarnya.

Dibya terbangun tepat satu jam sebelum mamahnya bangun, kemudian menyediakan beberapa makanan yang telah ia siapkan seorang diri. Merencanakan semuanya sejauh ini tidaklah mudah menurutnya, terlebih jika pusatnya itu untuk seorang wanita yang paling berjasa dalam hidupnya hingga tak henti hentinya Dibya tersenyum selama mempersiapkan semuanya. 

Semua selesai, acara makan dan mengembalikan beberapa momen yang tertinggal karena pencapaian yang belum usai. Dibya memulai percakapan sederhana dengan mamah nya dengan nada biacara yang dalam.

“Mamah jadi mau umrah?”

“Sudah teruskan dulu makan yang banyak.” Mamah Dibya menjawabnya dengan senggan

“Mamah, lihat ini deh” menunjukan gambar pada handphone Dibya

“Cantik bagus.” Ucap Mamah Dibya dengan tersenyum dan mengangkat jempol kanannya

“Aku yang lukis di tembok ini, ini tembok di tempat anak-anak binaan aku beraktifitas.”

“Masyaallah, masih berjalan kegiatanya?”

“Masih dong mah.. bahkan meluas bukan hanya tentang edukasi lisan, tapi juga bentuk keberagaman lainya.”

Dibya terus bercerita tentang semua hal bahagia yang membuatnya harus menghabiskan waktu belakangan ini, hingga dibya mengeluarkan secarik kertas yang membuat haru keadaan seketika.

“Ini untuk mamah. Maaf aku gagal membantu kebutuhan rumah hingga menghabiskan uang tabungan mamah yang seharusnya untuk pergi umrah mamah dan ayah tahun ini, sesuai dengan rencana kalian waktu itu.”

“MasyaAllah, dek. Dapat dari mana uangnya?”

“Ini namanya sosial media mah, dan yang aku buka saat ini namanya instagram. Aku sempat mengunjungi dan tenggelam dalam aktivitas yang biasa ayah lakukan, kemudian membagikan hasil karyaku diberbagai media sosial terutama instagram. Aku tidak ingat tepatnya tapi mereka menghubungiku dan menawarkan kerja sama, dan sampai kini aku bisa berdiri sendiri mengembangkan potensiku dengan bidang yang sesuai denganku. Aku tidak meninggalkan pekerjaan yang dulu kok mah, pekerjaan baru ini menyenangkan mah dan omset yang didapat berkali kali lipat dari gajiku sejak awal.”

“Jadi apa yang sebenrnya kamu jual?”

“Aku awalnya jual jasa, mereka percaya karya ku bisa direalisasikan lebih dari batas kanvas. Maka aku mencoba dari dinding dalam rumah binaan ku tadi, hingga aku dan teman teman memperluas hal ini menjadi produk barang. Produk barang yang kita hasilkan berupa paket alat melukis dan buku petunjuk singkatnya, sehingga mereka yang ingin memulai hobinya dapat dengan produk ini. Produk yang dipasarkan memang belum pernah aku bawa pulang, karena proses produksi berjalan ditempat binaan yang nantinya dananya akan terbagi juga untuk kelengkapan rumah binaan, agar anak-anak rumah binaan akan lebih tersaring luas terutama untuk memaksimalkan mereka yang tertinggal dalam pendidikan dapat tertolong.”

“Alhamdulillah, kamu masih peduli dengan yang lain. Kamu ga seharusnya kasih ini ke mamah, menurut mamah yang terpenting sekarang kamu sehat jangan terlalu capek ya dek.”

“Aku sehat mah, aku sangat sehat karena dapat bergerak untuk dapat membantu sekitar dan juga mamah.”

“Ayah pasti bangga sama kamu dek, kamu mau bergerak untuk mencetak kretivitas kamu menjadi manfaat untuk semua orang.”

“Aamiin, dan satu lagi ini aku mau kasih liat.” Dibya berjalan kekamar dan kembali dengan sekotak kanvas ditangannya. Kemudian meletakanya tepat di sebelah tangan mamahnya.

“Seorang anak kecil di rumah binaanku mengajarkan aku bahwa dari gambar kita dapat terus merasa dekat dengan seseorang dan mengobati yang tidak bisa terbayarkan.”

Dibya tersenyum mengusap punggung tangan mamahnya, dan saling melempar senyuman bahagia. Kehangatan kian menjalar pada keduanya ketika mereka saling mengulur tangan untuk mendekap. Perasaan hangat menyelimuti kuat diri Dibya yang telah berjuang sejauh ini menghadapi segala ekspetasi yang terlampau jauh dari realita yang terjadi. Dibya terbuai dalam dekapan hingga mengingat tentang beberapa hari kebelakang.

Pada malam itu Dibya menatap layar gawai nya yang sempat berbunyi lemah. Terdengar notifikasi masuk disalah satu sosial medianya, raut wajah sendu berubah menjadi banyak tanya tidak percaya akan penawaran yang masuk begitu saja malam itu. Hingga hari-hari berlalu menghantarkannya sebagai seseorang yang baru, dia bekerja untuk memberikan desain pada seorang juru interior. Namun, selama kerja sama itu berjalan beberapa bulan waktu membongkar bahwa hasil karya nya selama ini dibayar semakin rendah bahkan diambil hak ciptanya. Dibya memutuskan kerja sama mereka. Jika saja Dibya berhenti saat itu mungkin kini mereka tidak dapat saling menebar hangatnya pelukan. Dibya yang terus kembali sebagai aktivis dalam rumah binaan yang berisi banyak anak-anak mendapat dorongan untuk dapat memberi kontribusi lebih dari sekedar waktu dan energi, dan mengingat bahwa ada seorang wanita cantik dirumahnya yang harus dia bahagiakan. Hingga perjalanan Dibya dimulai kembali, mencari apa yang harus dimulai dengan modal seadanya dan memberikan wujud yang layak.

Berteman dengan kicauan jangkring, bunyi-bunyian malam, dan gelapnya langit menjadi awal yang begitu berat sebagai langkah pertamanya. Namun, dibya adalah perempuan yang cerdas dan cerdik seperti namanya dalam arti bahasa sansekerta. Perempuan ini dengan segala pengalamanya sangat yakin bahwa dia bisa mengikuti arah angin membawanya pada puncak yang diimpikan. Dibya selalu mengerjakan semuanya dalam meja belajar di kamarnya yang menghadap langsung pada balkon kecil tempat ayahnya dahulu menghabiskan waktu sendiri.

“Ayah benar, kita tidak bisa diam untuk membuat perubahan dan menggali kreativitas. Terima kasih, ayah.” Gumamnya dimalam yang sudah banyak hari menghabiskan waktunya dan memotong jam tidurnya.

Kembali pada keadaan saat ini, Dibya terbangun dalam lamunan yang telah menenggelamkan dirinya selama dalam dekapan. Tersenyum bahagia dan saling melontarkan tawa dihadirkan oleh kedua perempuan kuat yang saling menguburkan luka bersama, dan menanamkan bahagia baru diwaktu yang bersamaan.

Dunia ini seperti sebuah wahana, wahana kecil yang sudah familiar dalam kehidupan manusia. Beberapa daerah akan menyebutnya ayunan, yang akan terus bergerak selama titik tumpu nya masih bertahan. Pergerakan yang tidak akan membawamu terus ke atas namun juga tidak membawamu pada titik setimbang ataupun kebawah. Hidup ini penuh kejutan, dalam cerita Dibya mengurai kuat bahwa tidak ada suka cita ataupun duka cita yang berlebih. Dan selama kita masih bergerak tidak ada impian yang hanya menjadi khayalan.


Hananda Fitri Nur Fadzillah_hanandafadz

0 comments:

Posting Komentar