Selasa, 13 September 2022

0

Lika Liku Tak Abadi Karya Adelia Kusuma Wardhani ~ Color (Coretan Online)

 Lika Liku Tak Abadi


Ada yang ditarik 

Dari ujung timur hingga barat

Ada yang diukir dari ujung Utara

Berakhir di selatan


Layaknya mentari pagi

Dan matahari terbenam

Merangkul erat insan manusia

Dari lika liku hidup dunia


Seperti yang ditarik dan diukir

Bukankah suatu hari nanti

Akan tiba masa ditarik berakhir

Dan diukir usai ?


Adelia Kusuma Wardhani

PK'21 

PSDM DB

Rabu, 22 Juni 2022

4

[PUISI] Berserah pada-Nya karya Vindy Rahmawati

 Berserah pada-Nya

Oleh: Vindy Rahmawati


Peluh yang meluruh

Asa yang tak terhingga

Caci maki yang dirasa

Perjuangan tanpa kenal lelah


Tak lagi terhitung, suara lirih yang mengadu

Tak lagi terhitung, suara tangis karena gagal datang kembali

Tak lagi terhitung, diri menjadi ragu

Sebab mimpi yang dituju, belum juga terwujud


Orang bilang, “terbentur, terbentur, lalu terbentuk,”

Namun, harus berapa kali lagi diri ini terbentur?

Terus terbentur hingga rasanya babak belur

Bukan lagi terbentuk, melainkan tidak berbentuk


Orang bilang, mimpi ini terlalu besar

Orang bilang, aku tak mampu tuk mencapainya

Orang bilang, aku tak punya harapan

Namun, ku berusaha tuk tidak mendengarkan.


Tak peduli seberapa banyak caci maki datang

Tak peduli seberapa banyak yang meremehkan


Tak peduli kalau harus gagal kembali

Sungguh, aku benar-benar tak peduli


Bukankah Tuhanku Maha Besar?

Bukankah Tuhanku Maha Mendengar?

Ketika kupunya Tuhan, maka seluruhnya kugantungkan harapan

Seluruhya kuserahkan pada Yang Maha Penyayang


Ketika kupunya Tuhan,

Aku benar-benar menyerahkan segala pinta

Aku benar-benar menggantungkan harapanku pada-Nya

Seberapa kuat pun aku berusaha,

Semua kembali lagi pada-Nya

Kuserahkan dan kupasrahkan mimpi yang kupunya

Aku berusaha, tetapi tetap Dia Yang Maha Kuasa

250

[PUISI] Kulihat Mimpiku karya Tamara Angela Manurung

 KULIHAT MIMPIKU

Karya : Tamara Angela Manurung


Kilauan mentari cerah, di pagi hari

Sambut aku dengan ambisi

Oh, selamat pagi duniaku

Oh, indahnya sapaan alam

Seraya membuatku kian tersenyum

Membuatku jatuh cinta setiap hari


Seperti tumbuh-tumbuhan

Aku pun kian bertumbuh

Yang tadinya, hanya sebuah tanah

Lalu subur seperti abab

Mengarungi badai dunia

Adiwarna,itu katanya


Lalu aku harus apa

Masihkah aku tetap diam?

Tidak

Kini aku bersitatap dengan mimpi-mimpiku

Yang harus ku kejar

Di tengah kerasnya dunia.

Ah

Aku takut, aku cemas, aku khawatir


Apa daya kian hari

Jiwa dan ragaku kian melemah

Malas,

Seolah menjatuhkanku untuk maju

Tunggu dulu, itu kataku

Tak bisa, itu yang selalu kuucapkan

Nestapa,sedih sekali

Oh mimpiku, maafkan aku

Aku begitu lalai melantunkan usahaku

Ya

Berjuang untuk meraih mimpi

Memang tidaklah mudah

Namun aku, harus bangkit

Jangan lagi kulihat diriku

Sekedar untuk meresah

Tidak, Aku akan menghadapinya

Menembus aksa dan akara

Aku tak kan menyerah

Aku akan terus maju

Biarlah gairahku semangatku berkobar

Ayo bangkit

Wujudkan dalam mimpi, wujudkanlah citta

Tersenyumlah dengan cinta,Maju,maju,maju,Merdeka,merdeka,merdeka



Id Instagram: tamaangelaa_

8

[PUISI] Meraih Mimpi Semesta karya Sifa Rahmawati

 Meraih Mimpi Semesta


Malam gelap penuh senyap

Diantara gugusan bintang angkasa

Aku manusia dengan sejuta ambisi

Punya mimpi seluas semesta

Sejenak kutatap langit malam yang senyap

Perlahan kesadarankupun lenyap

Seiring mataku yang terpejam


Mentari menyapa pagi

Burung-burung saling bersenandung merdu

Menyambut semesta yang terlelap

Sinarnya menembus.....

Sela-sela jendela kamarku

Mataku yang semula terpejam

Menikmati setiap alur kisah

Dalam gelap malam yang senyap

Perlahan tersadar.....

Menyambut hari dengan riang gembira

Menyusun kembali lembaran kisah dan harapan baru

Melangkah pada pijakan bumi nan luas

Berlari mengejar mimpi tanpa keluh

Untuk mengarungi luasnya lautan mimpi

Hingga sampai pada sebuah titik tujuan

Meski harus ku terjang ombak besar

Hingga badai petirpun akan kulewati


Jalanku......

Tentu penuh rintangan

Bahkan kegagalan

Berulang kali aku sapa

Tak mengapa...

Bukankah tak ada yang mudah

Untuk mencapai hal yang besar


Seperti Kerang di lautan

Harus menahan perihnya pasir

Tuk hasilkan mutiara berharga

Seperti halnya sebuah impian

Harus menahan debu semesta

Tuk mewujudkannya


Namun harapan dan mimpiku

Kian hari semakin besar

Bagai api yang terus membara

Aku tak akan berhenti melangkah

Harapan yang selalu aku gantungkan

PadaNya sang pemberi harapan

Petunjuk langkah setiap takdir

Sampai mimpi di masa depanku kelak

Menunjukan secercah sinar harapnya

Hingga dapat kuraih segala impianku


Nama : Sifa Rahmawati

Instagrm : sifarahma22_

243

[PUISI] Fajar dan Senja karya Rayyan Albieza Anfana Thoriq

 Fajar dan Senja


Luruh embun di pagi buta

Membuat indra

Para serangga

Tidak cukup untuk berguna


Untuk waktumu

Yang terburu buru

Dan sangat ditunggu

Oleh para pencari ilmu


Tolonglah

Bangunkan mereka dari lelah

Supaya dirinya bisa terarah

Dan mengerti apa artinya jerih payah


Ketika dirimu mulai menyingsing

Mungkin kondisi akan terlihat asing

Dengan suara yang sangat bising

Dan perut yang semakin langsing


Untukmu sang fajar

Dirimu seperti pacar

Hangatmu seperti lampu pijar

Penampilanmu seperti tentara yang berjajar


Hembusan angin yang sejuk

Ditandai dengan bukanya usaha nasi uduk

Membuat hati teraduk

Sampai menusuk tulang rusuk


Waktu dimana sang insan

Menikmati obrolan

Ditemani cemilan

Dan juga teman teman


Hi senja

Dirimu seperti raja

Momenmu seperti baja

Penampilanumu seperti kemeja


Nama: Rayyan Albieza Anfana Thoriq

Instagram: @__albieza

3

[PUISI] Kelana Cita karya Rahmah Hanifah

 Kelana Cita


Masih terang kuingat perihal penat yang memaksa rehat

Entah darimana rasa percaya yang memaksa daksa tetap mengumbara

Jelas-jelas mata telah buram dan pendengaran telah redam

Bertumpuk buku, berjuta gurat, pun sudah tergoreskan

Drama seperti apa yang tengah kupersiapkan

Tak henti tanya mengais logika


Apakah sebenarnya cita yang begitu keras kuperjuangkan

Ia hanya berupa impian

Satu dua kali juga dapat hilang sendiri

Tepat disebutkan perkara angan serupa angin

Bebas berlayar hingga sesekali tak terkejar

Dengan pena yang menjalar tak henti-hentinya


Sepercik asa kugenggam sebagai iman

Keagungan harap dengan segala tempuh yang menjenuhkan

Ia bergulir seperti zikir pada dua pertiga hari

Seumpama zahar tersihir ashar, berkelana dengan jentaka

Meski kutahu realita ialah hukum nyata

Mimpi dan cita tetap asri kupelihara


Mimpiku tengah menjajal rasa bumi

Ia bahagia, terluka, kecewa, pun juga depresi

Mimpiku selalu liar seumpama singa

Ia mengaum, berlari, berburu, pun juga berkuasa


Mimpiku tumbuh bagai tanaman

Ia meninggi, melebar, menjalar, serta tak lupa mengakar


Nama : Rahmah Hanifah

Id instagram : @rahmah7692

67

[PUISI] Kobarkan Atau Kuburkan karya Rafika Dinillah

 KOBARKAN ATAU KUBURKAN


Malam dan pagi silih berganti

Detik demi detik sudah terlewati

Wahai anak muda tak gundahkah hatimu ?


Lihatlah manusia yang berlalu lalang

Menerpa angin menerobos hujan

Sedang kau berdiam diri sahaja

Wahai anak muda tak risaukah dirimu ?


Gelembung angan yang kau ciptakan

Rangkai khayalan yang kau pikirkan

Tidak akan pernah bisa merubah keadaan

Wahai anak muda beranjaklah dari tempatmu !


Hempaskan saja segala ragu

Kurung rapat-rapat segala takutmu

Wahai anak muda apa lagi yang kau tunggu ?


Biar peluh bercucuran

Derai air mata tak lagi dapat kau hentikan

Kobarkanlah, kobarkanlah api semangat perjuangan

Wahai anak muda masa depanmu kini sedang dipertaruhkan!


Jangan terlalu lama berdiam diri

Meratapi segala hal yang belum tentu terjadi

Bangkitlah! Wujudkan segala angan dan mimpi

Wahai anak muda kesempatan takkan datang dua kali!


Jika tubuhmu tak lagi ingin beranjak pergi

Semangatmu tak lagi berkobar seperti api

Kuburkan saja! Kuburkan segala rangkai mimpi yang ada

Wahai anak muda hari yang kau lalui sungguh sia-sia.


Nama : Rafika Dinillah

ID Instagram : @ra.fikahh

7

[PUISI] Angan dan Roda Kehidupan karya Nanda Permata Putri

 Angan dan Roda Kehidupan

Nanda Permata Putri

@nandapermataputri


Ini adalah eunoia dari yang berpura-pura tegar

Dari mimpi yang harus diwujudkan

Bersandiwara tanpa henti

Padahal hati dan sanubari terlukai


Semua hal tentang memikul

Tanggung jawab serasa dipukul

Dari kesabaran tak terhitung

Orang yang tidak beruntung


Malam yang hitam kelam

Dan hati berangan yang tenggelam

Mengharap cahaya keajaiban

Dari sang pencipta alam


Kamu tahu apa yang menjadikan orang bahagia?

Ketika keinginannya terwujud kan

Ketika impian kini bukan angan

Ketika berhasil memenuhi persepsi diri dan orang-orang


Tahu apa yang membuat orang tenteram?

Saat perjuangan dan angan mulai menuju kesuksesan

Saat bisa berdiri dari rintangan yang kian menghadang

Saat mencapai titik keberhasilan


Kemudian cara mewujudkannya adalah

Bertahan dalam perjuangan yang akan jadi alasan terdepan

Saat bisa membersamai doa dengan usaha tanpa celah

Harapan ada meski secercah

Bertahanlah dan jangan menyerah akan jadi alasan setidaknya menyebut diri ini pejuang


Aku, kamu, kita, dan roda kehidupan

Akan selalu berdampingan beriringan

Untuk menyeimbangkan

Harus ada yang di atas dan di bawah bukan?

0

[PUISI] Mengejar Sinar karya Nabila Huriyatul Jannah

 Mengejar Sinar


Cerah langit terhampar

Ku ayunkan langkah kaki yang kekar

Menyusuri gelapnya jalanan

Menuju mimpi yang tertahan

Walau penuh hambatan

Tetap berjuang demi sampai tujuan


Sinar kecil mengintip diujung jalan

Ia memberi semangat pada jiwa yang mulai luntur

Airmata yang mengalir sepanjang jalan terganti sebuah senyum harapan


Kutarik paksa tubuh ini

Dengan melodi rintihan

Tidak meruntuhkan semangat hati

Demi mencapai angan yang selama ini kudambakan


Impian didepan mata

Dunia penuh dengan sinar

Benderang seperti bintang

Kan ku ulas senyum kemenangan

Menggenggam impian yang tercapai


By. Nabila Huriyatul Jannah 

ig: nabilahrytl

0

[PUISI] Pembangun Bukan Penghancur Karya Muhamad Hasni

 PembangunBukanPenghancur

Karya Muhamad Hasni


Banyakyangberanggapan...

Kamigenerasikebebasan

Warnasosialkebaratan

Budayamodernyanglupadaratan


Tidak...

Anggapandemikiantidaklahbenar

Seolahkamiyangmenjajahbangsa

Kamiyangmenindasnegeriini

KamiyangmemperkoyakNegaraini


Tidak...

Kamibukanlahpenjajah

Kamibukanlahpenindas

Kamibukanlahkriminalyangberaksidalamdiam


Karena...


Kamiadalahpemudagenerasimilenial

Generasipembaruan...

Generasiterlahirdierakemajuan

Menuntutperubahanpikirzamankekinian

Karena...Kamipemuda!!

28

[PUISI] Jeremba Asa Baswara karya Indah Heriyanti Kartika Sari

Jeremba asa baswara


Tatkala goresan pena menyelimuti kertas putih

Dengan segenap asa yang menjalar bersih

Semangat menggapai mimpi diraih dengan gigih

Walau keringat bercucuran tak kenal letih


Sebongkah mimpi terpatri dalam diri

Saban waktu menahan getir dan perihnya menggapai mimpi

Selaksa jiwa diterpa harapan kian menderita tanpa diprediksi

Kuatkan tekad mengukir impian yang penuh berarti

Menghadapi terjalnya tantangan kehidupan kini dan nanti


Tanamkan persistensi dalam diri menggapai asa

Hindari ego akan kemalasan dan rasa pesimis mengusik dalam jiwa

Janganlah terperangkap akan tipu muslihat kenikmatan duniawi semata

Hiraukan ocehan hina berbagai spekulasi negatif yang masuk ke telinga

Serta kobarkan semangat membara dalam jeremba masa depan baswara


Tetaplah melangkah menapaki jalan yang penuh harapan dan tujuan

Membuka lembaran baru mengukir mimpi dan cita dengan kebahagiaan

Pantang sumarah meski kaki tertusuk duri tak bertuan dalam sebuah pengorbanan

Berjuang merangkai mimpi membuat orang tua bangga dengan pencapaian yang menakjubkan


Di atas bumi yang dipijak selalu terselipkan niat yang penuh arti

Di atas bumi ini pula, akan tersematkan segudang prestasi

Tentang semua mimpi yang tersirat akan dipastikan dapat terlahir dalam dunia ini

Walau berpuluh kali harus menahan pedihnya hantaman keras meraih mimpi


Kumpulkan segudang informasi untuk meraih prestasi

Sadarkan pikiran dan berani mencoba hal baru

Tunjukkan pada seluruh dunia bahwa dirimu bisa menggapai mimpi

Hingga semua orang akan mulai mengagumimu


(Karya Indah Heriyanti Kartika Sari, IG : kartikaindah261)

2

[PUISI] Kita dan Kala karya Diva Azhari

 Kita dan Kala


Kita..

Tatkala usia kurang dari sedekade

Begitu banyak rentetan kisah karangan

Terukir indah di benak ini, terbakar pula semangat ini

Untuk menakhlilkannya nanti, saat tiba masa akal sempurna

Kita..

Tak terasa sudah beranjak remaja

Kala tak mau dimanja mereka bilang

Kala paling berwarna mereka bilang

Kala tepat ‘tuk berkompetisi mereka bilang

Berkenalan dengan persaingan dan rintangan

Mengecap manisnya kemenangan, mencicip pahitnya kegagalan

Kita..

Ingatkah akan kala ini?

Di kala segala hal yang ingin dicapai

Terasa begitu jauh, terasa tidak mungkin, terasa sangat sakit ‘tuk jadi impian

Jatuh, jatuh, dan terus jatuh

Gagal, gagal, dan gagal lagi

Lelah.. dan hanya lelah yang tersisa

Kata menyerah sempat mengetuk, rasa putus asa pun nyaris mengakhiri

Kita..

Mengapa kita masih berjuang disini?

Kegagalan bukan hal menyenangkan untuk dirasakan


Mengapa kita masih berjuang disini?

Penghinaan dan pengkhianatan tak jarang jadi kawan seperjalanan

Lalu.. Mengapa kita masih berjuang disini?

Kita..

Teringatlah kita pada kala itu

Tatkala usia kurang dari sedekade

Semangat membara mengingat apa yang telah terukir menjadi cita

Tatkala beranjak remaja

Walau pahit rasa kekalahan, manis persahabatan tetap menyelimuti diri di kala itu

Kita..

Teringatlah kita pada kala itu

Lelah dan rasa ingin menyerah, asa sedang tak tahu ada di mana

Namun ternyata diri tak mau juga menyerah

Janji bahwa asa nanti akan bertemu kembali

Karangan impian hanyalah sebuah ilusi mati

Tak kan tergapai bila tak dihidupi

Kita..

Terima kasih karena masih berjuang disini

Untuk menggapai satu persatu

Kisah karangan mimpi-mimpi kita kala itu


Nama : Diva Azhari Zahra

Instagram : @divaazhari

1

[PUISI] Asa di Ujung Senja karya Dika Amalia

 Asa di Ujung Senja


Derap langkah menggema

Fana merah jambu seakan menyilaukan mata

Bait aksara dalam balutan tinta mengajak bercengkerama

Lukisan semesta seolah memberi tanda


Ada asa di ujung nestapa

Jiwa yang layu menggiring baswara

Resah seolah mengajak berkelana

Tetapi ambisi tak pernah berhenti menggema


Di dalam sanubari terpatri

Jutaan mimpi telah menanti

Senandika bersua menghadirkan tawa

Monokrom kini berganti pelangi


Sesulit apapun aku berdiri

Selalu ada jalan untuk kembali

Telah kutemukan saujana yang menawan

Selalu ada asa di ujung senja


Nama: Dika Amalia Lutfiana

ID IG: @dikaamalia_

23

[PUISI] Suratan Hatiku Dalam Lamunan karya Desi Puspita Sari

Suratan Hatiku Dalam Lamunan


Serayu dinginya angin malam mengusik pikiranku

Membangunkan setiap indra perasaku

Kini hatiku yang hampa dibuatnya terpana

Dengan sejuta angan-angan yang tak nyata

Ku pejamkan mata menikmati setiap mala yang ada

Selaksa ketaksaan tak tau darimana datangnya

Seolah membuatku terdayuh akan lamunan ku sendiri


Kini pikiranku berkelana entah kemana

Memikirkan masa depan kan jadi apa

Apakah seorang ahli hebat dengan wibawan yang bergegar?

Atau hanya seorang pengangguran tanpa miliki semangat membakar?

Sempat terlintas mengapa diriku diam tak berbuat apa-apa

Padahal aku seorang remaja yang beranjak dewasa


Pikiranku semakin berkelana memikiran setiap problema

Yaa... problema yang datang silih berganti!

Seakan waktu menyapa dan memaksaku tuk kuat

Padahal Aku ini rapuh, tak sekuat benteng Tiga Ngaria

Aku rapuh bagaikan sehelai bulu yang terbang tertiup angin

Aku yang rapuh ini harus tertindih dan terhimpit akan kerasnya buana

Yaa... tak ada waktu tuk ku meratapi garis hidupku!


Pahitnya buana seakan sudah menjadi makanan ku sehari-hari

Memang hidup tak mudah tuk dijalani

Dan tak seindah mimpi disiang hari yang ku alami


Haruskah ku siapkan baju zirah terkuatku?

Haruskah ku siapkan kuda tercepatku?

Haruskah ku siapkan pedang tertajamku?

Aku yang mengambau kini harus menentukan langkahku

Bermimpi seolah aku menunggang kuda

Dengan kecepatan penuh seakan menebas angin

Jika kalau aku rimpuh ku tak akan menyesal

Karena sudah kupersiapkan yang terbaik dari yang ku punya

Tuk berperang melewati batasan takdirku

Berpetualang meraih mimpi yang sudah ku pilih

Biarpun semangatku padam berkali-kali

Akan ku coba seribu kali tuk bangkit menetapkan hatiku


Puisi karya Desi Puspita Sari

Instagram: @desthsa_

43

[PUISI] Mimpi dan Semesta karya Cindy Kristina Sartika

 “Mimpi dan Semesta”


pada tiap ruang sunyi,

aku mengadu dalam elegi.

menyalurkan seluruh sepi,

yang menelan habis segala mimpi.


dunia tidak boleh tahu,

tentang mimpi yang semakin semu.

semesta tidak perlu tahu,

tentang harap yang semakin abu-abu.


jalan memang tidak selalu lurus,

jatuh dan patah seolah berdampingan terus.

berlomba membuat semangat pupus,

mereka lupa aku si ambisius.


langkahku memang terkadang henti,

tetapi mimpi tetap abadi.

ia mengakar dalam sukma,

menjadi alasan untuk tetap bertahan di dunia.


sejak fajar hingga senja,

tak henti aku berusaha.

mengejar mimpi sampai ujung dunia,

hingga semesta berkata "iya".


Cindy Kristina Sartika_@cii.ndys

5

[PUISI] Jadilah Terang karya Arvi Shalom Efata

 Jadilah Terang

Karya Arvi Shalom Efata


Jadilah Terang...

Bagaikan Menarik Nafas

Bagaikan Menentang Semua

Bagaikan Memperjuangkan Segenap Hidup

Kita Harus Maju


Jadilah Terang...

Walaupun Kegelapan Menyelimuti

Walaupun Banyak Tantangan Didepan

Walaupun Jiwa Dan Raga Terambang

Percayalah Kita Adalah Terang


Jadilah Terang !

Majulah ! Diantara Kegelapan

Majulah ! Diantara Masalah

Majulah ! Didalam Perjuangan

Karena Terang Itu Akan Terus Bersamamu


Jadilah Terang !

Ketika Terang Itu Hadir Kegelapanpun Sirna

Walau Gelap Itu Ada

Walau Hanya Setitik Cahaya

Pecayalah ! Kita Mampu Merubah Dunia

2

[CERPEN] Warisan Biji Kopi Malika karya Syakira Maulida

 Warisan Biji Kopi Malika



“Selamat ya, kamu hebat. Kamu sudah saya anggap sebagai adik kandung saya.”

Abah dan ambu pasti sangat bangga terhadapmu.”

        Aura bahagia dan gembira terpancar dari wajah seorang gadis desa yang berhasil sukses diusia muda. Senyuman manis terukir elok di paras cantiknya. Energi positif tergambarkan dari setiap perilakunya. “Hatur nuhun A, ini semua berkat doa abah sareng ambu, juga bantuan Aa Malik.” Tuturnya bahagia.

        Grand opening Nataprawira’s Coffee and Restaurant telah diselenggarakan. Para tamu yang terdiri dari sanak saudara, keluarga, dan teman terdekat turut menghadiri pembukaan coffee shop tersebut. Acaranya sungguh meriah dan khidmat. Para tamu undangan turut merasakan kebahagian yang dirasakan permiliknya.

***
 
        Aduh Gusti, meuni luas pisan euy. Kumaha ayeuna? Bagaimana memperbaiki semua ini?” Wak1 Hartati menggelengkan kepalanya. Terlihat dari sebuah villa mewah milik keluarga besar keturunan bangsawan Sunda, Nataprawira. Hartati menyaksikan sebuah lahan perkebunan hijau dengan ukuran empat ratus hektar. Lahan perkebunan yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga besar Nataprawira.

        Hartati datang dari ibukota, untuk menyaksikan kondisi perkebunan yang sedang tidak baik-baik saja. Terdengar di telinganya, bahwa produksi kopi yang dihasilkan dalam satu bulan terakhir semakin menurun, dan para petani satu per satu mulai mengundurkan diri dari perkebunan.


        “Kacau.” Tutur seorang lelaki paruh baya yang tepat berada di samping Hartati. Mata lelaki itu memandang kosong hamparan perkebunan. Keriput-keriput kecil kerap muncul di ujung kelopak matanya. Untaian rambut bewarna putih mulai mendominasi kepalanya. Garis-garis kulit mulai terukir di dahinya. Pertanda ia sedang berpikir keras tentang perkebunan.

        Adigusti tak pernah berhenti berpikir untuk mengatasi masalah-masalah di perkebunan. Rasanya ia ingin bangkit dan membenahi kekacauan semua ini, namun apalah daya ia semakin menua. Tubuh dan pikirannya sudah tidak bisa lagi dipaksakan untuk bekerja mengurusi perkebunan tersebut.

1 Panggilan untuk kakak perempuan dari ayah dan / ibu.





        Si cikal anjeun henteu hoyong ngagentos anjeun ngatur sadayana ieu? Toleh sang kakak kepada adiknya, keduanya sudah sama-sama renta. Perbincangan keduanya terdengar santai namun tersirat makna yang berat.

        “Si sulung anakku Malik?” Tanya Gusti kepada Hartati.

        “Setelah tamat kuliah, Malik berencana merantau ke kota, ia lebih memilih menjadi budak corporate. Aku sudah menjelaskan semuanya, bahwa aku sudah tidak sanggup lagi mengurus perkebunan, namun sepertinya ia tidak peduli.”

        “Malik tetap ingin mengejar cita-citanya di kota.” Tutur Gusti menceritakan calon pewaris perkebunan kopinya, Malik Nataprawira.

        Hartati terdiam. Sedikit rasa kecewa mulai muncul dalam benak kepada keponakannya,

        Malik adalah sosok yang pantas untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala perkebunan, terlebih lagi ia merupakan anak laki-laki pertama dari pasangan Adigusti Nataprawira dan almarhumah istri tercintanya, Meyliha.

        Langit berganti warna menjadi gelap. Kabut di puncak gunung Pangrango semakin tebal. Suhu menurun hingga mencapai sepuluh derajat celcius. Tiap kali Hartati dan Gusti berbicara, hembusan udara dingin keluar dari mulut mereka. Kain cotton tebal yang menyelimuti tubuh mereka seakan tidak menghalangi udara dingin di puncak.

        Hartati dan Gusti memutuskan melanjutkan perbincangan penting ini di lantai bawah. Wajar saja, tubuh keduanya sudah tidak sanggup lagi menahan dinginnya kabut puncak.


***

        Dua buah cangkir bewarna putih yang berisi wedang jahe2, telah disediakan di atas meja tamu oleh seorang gadis cantik dan santun. Gadis itu merupakan putri angkat Adigusti Nataprawira, bernamakan Malika Halwa. Gelar bangsawan Nataprawira tidak mendampingi nama aslinya.

        Gadis itu berumur delapan belas tahun. Seharusnya tahun ini adalah tahun yang tepat untuk Malika mendaftarkan diri ke sebuah universitas favorite, untuk melanjutkan pendidikannya. Akan tetapi, benteng besar dan menjulang memutus harapannya tahun ini. Malika disarankan dokter untuk beristirahat selama setahun penuh, karena kondisi tubuhnya sudah semakin melemah dengan kehadiran virus-virus jahat.

        Kumaha kaayaan anjeun? Cageur?” Ucap Hartati, menanyakan kabar keponakan kesayangannya, Malika. Senyum tipis dari bibir manis Malika berucap “Alhamdulillah, cageur Wak.”

        Setelah mengantarkan minuman hangat untuk Hartati dan Gusti, Malika kembali menyendiri di kamarnya. Sehari-hari Malika menghabiskan waktu di kamarnya untuk beristirahat. Membiasakan diri dengan menekuni hobby-nya yakni menggambar bangunan-bangunan megah seperti: gedung, rumah sakit, sekolah, dan masjid. Hasil karyanya tak jarang ia upload di media sosial. Karya-karyanya itu banyak mendapatkan dukungan dari warga dunia maya. Tak jarang pula para warganet3 memberikan komentar-komentar yang positif.

2 Hidangan minuman sari jahe tradisional dari daerah Jawa Tengah. 

3 Warganet : warga internet





        Jika tahun ini dokter mengizinkannya untuk melanjutkan pendidikan, Malika berniat masuk jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung sesuai dengan skill dan potensinya di bidang menggambar.

        Akan tetapi, tak jarang pula Malika hanya melamun dan menyendiri menahan kerinduan terhadap almarhumah ambu4–nya, yakni Meyliha yang sudah sepuluh tahun meninggal dunia.

        Ambu...

        “Malika teh rindu pisan sareng ambu...

        “Perkebunan sedang kacau mbu, sigana mah Abah teh geus kolot.”

        “Malika tahu, Abah sudah tidak sanggup mengurusi perkebunan itu.”

        Seketika, butiran air mata membasahi wajah Malika. Paras cantik dan elok mulai dibasahi dengan butiran-butiran air mata. Matanya tidak mampu membendung air asin itu. Setelah Malika berbincang sendiri,seraya berbincang dengan almarhumah ibunya. Malika turut merasakan kesedihan ayahnya perihal kekacauan perkebunan. Di sisi lain, ia pun sedih dengan kondisi tubuhnya yang tidak bisa membantu apa-apa terhadap permasalahan ayahnya.

***

        “Bapak Adigusti Nataprawira, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Perusahaan kami memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan perkebunan kopi milik keluarga Nataprawira. Dilihat dari data produksi kopi dalam bulan Juni ini, perkebunan kopi milik keluarga Nataprawira mengalami penurunan hingga lima puluh persen.” Ujar seorang lelaki tua kepada Gusti. Lelaki itu berpenampilan mengenakan jas hitam dan accesories dasi bergaris bewarna biru.

        Mendengar perkataan rekan bisnisnya, Gusti hanya tertunduk lesuh. Ia hanya menghela dan membuang napas panjang. Berulang kali ia lakukan hal itu. Bibirnya tak mampu berucap kata-kata. Kepalanya menunduk seraya menyetujui keputusan Nichole Darn.

        Nichole Darn merupakan pemilik PT. Restaurant & Coffee Bar Jakarta. Salah satu restoran termewah dan terbesar di Jakarta. Perusahaan yang menjadi distributor bagi perkebunan kopi Nataprawira. Gusti kehilangan investor utamanya, sekaligus kehilangan orang yang berpengaruh besar terhadap perkebunan kopi milik keluarga besarnya.

        Perbincangan berat dan rumit antara Gusti dan Nichole terdengar jelas dari sudut kamar Malika. Di balik pintu kayu bewarna coklat, Malika menempelkan telinganya. Pikirannya sedikit terhenti kebingungan. Matanya berkaca-kaca. Sorot matanya melirik ke arah sebuah bingkai putih yang terpajang di bilik5 kamarnya. Siapa lagi kalau bukan foto Meyliha yang ia pandang.

        Malika sedih dengan ketidakberdayaan Gusti dengan keputusan Nichole. Malika berbalik arah, menyandarkan tubuhnya ke pintu kayu kamarnya dan berucap, “Apa yang harus aku lakukan
ya Allah? Wahai Tuhan yang Maha Mengetahui Segala Hal.”

4 Panggilan untuk ibu dalam bahasa Sunda. 

5 Dinding yang terbuat dari anyaman bambu.





        Ambu...

        “Apakah mungkin?”

        “Gadis desa lulusan SMA yang berpenyakitan seperti diriku mampu menyelamatkan perkebunan Nataprawira?” Ujar Malika dalam hati.

        Seketika layar handphone Malika menyala. Bergetar dan berdering sekejap. Sebuah notifikasi pesan muncul. Pesan itu berisikan permintaan dari seseorang yang tidak diketahui inisialnya.

        Sebut saja anonim. Beliau meminta Malika untuk mendesain sebuah bangunan kekinian dan modern. Bangunan tersebut akan digunakan untuk tempat bersantai dan hangout para anak muda. Bangunan tersebut juga sedang trend dikalangan anak muda. Nama bangunannya adalah coffee shop.

***

        Tak perlu berpikir panjang, Malika langsung membalas pesan tersebut dan menerima tawaran dari seorang anonim itu. Malika langsung bergegas mempersiapkan alat menggambarnya seperti: kertas gambar, pensil, penggaris, dll.

        Perasaan senang dan gembira menyelimuti hati Malika. Sembari mengerjakan proyek desain itu, tak henti-hentinya ia menunjukkan senyum manis yang terukir di wajahnya. Ekspresi bahagiannya ia pancarkan melalui wajah, dan ia aplikasikan ke sebuah kertas kosong yang berada di hadapannya. “Aku akan menggambar sebagus mungkin.” Tuturnya semangat.

        Malika merasa kesusahan dalam mencari ide dan inspirasi untuk menggambar bangunan itu. Wajar saja, gadis itu merupakan gadis desa yang belum pernah menginjakkan kaki di kota. Malika hanya tahu pemandangan hijau seperti: sawah luas yang terbentang, kebun hijau yang subur, dan pegunungan-pegunungan yang berjejer.

        Tangan kanan Malika melepas pensil. Kertas putih itu masih kosong. Belum ada setitik coretan yang membekas di dalamnya. Malika benar-benar kehabisan ide. Ia sungguh tidak tahu bagaimana bentuk bangunan itu.

        Malika bangkit dari kursinya, meninggalkan seluruh alat menggambarnya. Ia mendekat ke arah tirai yang berada di sisi kiri kamarnya, lalu membuka tirai itu. Terlihat pemandangan sebuah gubuk kayu yang beratapkan jerami. Dinding gubuk terbuat dari kayu dan beralaskan papan. Kokoh dan tebal. Saat kecil, Malika sering bermain di gubuk itu bersama teman-temannya. Gubuk yang nyaman sebagai tempat berkumpul dan berbincang dengan teman-teman. Sudah delapan belas tahun berlalu, gubuk itu masih terlihat kokoh dan kuat, Meskipun kerap kali angin kencang yang bertiup dari sisi kiri gunung Pangrango menghantam gubuk itu.

        “Aku tahu, ini bangunannya.” Tuturnya dalam hati.

        Malika berbalik arah. Ia kembali ke kursi untuk mengerjakan proyek desain tersebut. Dirinya sudah mendapatkan ide dan inspirasi yang dimaksud anonim. Sebuah bangunan yang dijadikan sebagai tempat untuk bersantai dan berdiskusi ialah gubuk.

***

        Waktu menjukkan tepat pukul 18.00 WIB. Matahari mulai menenggelamkan tubuhnya. Awan berubah menjadi warna jingga kemerahan. Azan magrib mulai berkumandang, seruan untuk salat bagi umat muslim telah diserukan.

        Malika menghentikan jemarinya, melepas pensil yang sudah enam puluh menit digenggamnya. Desainnya hampir selesai. Hanya perlu sedikit arsiran-arsiran warna untuk mempercantik desainnya.

        Malika bergegas menuju kamar mandi, lalu mengambil air wudu. Ia tunaikan dulu kewajibannya sebagai seorang muslim. Seperti biasa, hari-hari abah selalu mengajak anak-anaknya untuk salat berjamaah.

        Sebuah lampu dengan cahaya kuning menyinari tiga insan yang hendak bersujud kepada Tuhannya. Suasana sungguh khidmat. Gusti telah menggelar sajadahnya dan memposisikan diri sebagai imam, sedangkan Malik dan Malika berbaris di belakangnya sebagai makmum.

        “Rapatkan saf..” Perintah abah.
    
        Allahu akbar..” Salat dimulai.

        Dua rakaat salat telah dilaksanakan, hingga pada akhirnya mereka berada di penghujung rakaat.

        Allahu akbar..” Perintah imam salat untuk sujud terakhir dalam salat.

        Lima menit berlalu, abah masih belum bangkit dari sujudnya. Ia belum memberikan isyarat untuk menunaikan tasyahud akhir. Malik mulai kebingungan, sedangkan Malika pun merasakan hal yang sama. Badan mereka sudah mulai terasa pegal karena terlalu lama bersujud.

        Sampai pada akhirnya, Malik bangkit dari sujudnya dan mencoba membangunkan abah.

        Abah terbaring setelah tubuhnya didorong oleh Malik. Pergerakan napas dari perutnya sudah tidak terlihat. Matanya terpejam. Hanya ukiran senyum bahagia yang terpancar di jenazahnya.

        Malik membendung air matanya. Menahan tangis di hadapan Malika. Melihat sosok ayah dalam hidupnya yang sudah terkapar dan tidak bernyawa. Hanya abah yang tersisa di rumah ini. Sosok malaikat tanpa sayap sudah meninggalkannya sejak sepuluh tahun lalu. Dan kini, sosok kesatria dalam hidupnya juga harus pergi meninggalkannya.

        Malik beranjak satu saf, maju ke depan untuk menggantikan sosok abah sebagai imam salat. Salat harus tetap diselesaikan dan disempurnakan. 

        Allahu akbar..” Seruan suara Malik untuk bangkit dari sujud terakhir dalam salat.

        Malika bangkit dari sujudnya. Matanya terbelalak melihat sosok ayah tercinta dalam hidup terbaring tak berdaya di hadapannya. Ruang mulutnya terbuka lebar. Ingin berteriak kencang sambil memanggil sosok ‘abah’ dan menangis sejadi-jadinya. Namun, hal tersebut ia tahan sampai wajahnya menengok ke arah kiri sambil berucap salam.

        Assalamu’alaykum warahmatullah.” Tutur Malik.

        Salat magrib telah diselesaikan oleh kedua adik kakak itu. Salat magrib yang ditemani dengan jenazah ayah mereka. Malik dan Malika langsung memeluk erat tubuh abah yang sudah tidak bernyawa. Perasaan keduanya sungguh hancur. Air mata keduanya berurai tak henti-henti. Teriakan sosok ‘abah’ terdengar kencang bersamaan dengan derasnya air mata yang membasahi wajah mereka.

***

        Setelah acara grand opening selesai, Malik mengajak Malika untuk menaiki sebuah bukit di pegunungan Pangrango. Sebuah bukit hijau dan menjulang yang dahulu sering ia kunjungi bersama Malika, abah, dan ambu. Bukit yang menjadi cerita indah masa kecil bangsawan muda Nataprawira dengan adik angkatnya. Untuk mencapai ke atas bukit, mereka harus melewati sebuah perkebunan hijau yang subur dan makmur. Perkebunan yang menjadi warisan keluarga besar Nataprawira.

        Setiap matahari terbit, menampakkan keindahan cahaya terangnya. Di perkebunan ini, pemandangan seorang petani mengenakan caping sambil memikul padi dan dolar menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Ada pula para petani yang berbaris berjejer sedang menanam biji kopi di perkebunan itu.

        “Lihatlah Malika, perkebunan ini baik-baik saja.”

        “Kita berhasil memperbaiki semua ini.”

        Tutur Malik kepada adiknya. Di atas bukit hijau dan menjulang, Malika bersandar di bahu Malik. Kabut puncak menjadi saksi keduanya tengah mengobrol sambil membicarakan masa lalu dan masa depan. Menceritakan masa kecil dan masa-masa indah sewaktu kedua orangtua mereka masih hidup. Menceritakan permasalahan perkebunan yang tiada habisnya.


        Malik sangat bangga terhadap adiknya, sepeninggal Gusti lima tahun lalu. Perlahan Malik dan Malika mampu mengembalikan kondisi perkebunan yang sedang kacau menjadi sedia kala. Semenjak Gusti tiada, Malik memutuskan untuk tetap tinggal di desa dan memutus harapannya untuk bekerja di kota. Ia meneruskan peran almarhum ayahnya sebagai kepala perkebunan. 

        Seiring dengan berjalannya waktu, Malika pun dikenal sebagai desainer ternama dan mampu mendirikan bangunan-bangunan yang megah. Salah satunya Nataprawira’s Coffee and Restaurant. Sebuah restaurant mewah yang sudah memiliki lebih dari lima puluh cabang di Indonesia. Seluruh cabang restaurant ini memanfaatkan produksi kopi dari perkebunan Nataprawira. Perkebunan ini menghasilkan biji kopi terbaik dan asli dari alam. Sehingga rasa kopi nikmat dan disukai oleh masyarakat Indonesia.




Syakira Maulida_@syakiramld_
1

[CERPEN] Sayembara di Tanah Buangan karya Siti Muspiroh

Sayembara di Tanah Buangan


        "Keadaan genting! Sampah kian menumpuk dan menghasilkan bau yang tidak sedap. Udara semakin buruk akibat gas yang disebabkan oleh pembusukan sampah. Walikota perlu mengambil tindakan serius untuk mengatasi sampah yang makin menumpuk. Sebelum kota ini tenggelam oleh sampah!"


        Klik


        Aegean menutup saluran televisi jadul miliknya. Ia nampak tidak tertarik dengan pembahasan sampah yang sudah menjadi template saluran berita. Masyarakat modern kini senang mengkritik orang-orang yang duduk di kursi pemimpin. Hal tersebut yang memicu berita kegagalan pemimpin lebih diminati dibandingkan prestasinya.

        "Pewara sekarang gencar sekali mengkritik tentang sampah, padahal ia juga ikut berkontribusi menghasilkan sampah," monolog Aegean pada ruang sepetak itu, "peradaban semakin maju, tapi masalah sampah saja tidak bisa diselesaikan, padahal setengah abad lalu mereka dengan bangga berhasil melawan virus mematikan.”

        Menjadi pengangguran di tengah gempuran aktivis intelektual yang berjasa memajukan peradaban bukan perkara mudah bagi Aegean. Tak ada tempat bagi orang sepertinya, semuanya telah digantikan oleh AI. Robot pintar? Tidak, sekarang mereka hanya sebatas pelayan minimarket ataupun restoran cepat saji. Semua pekerjaan telah digantikan oleh robot, maka sudah dipastikan bagaimana membeludaknya pengangguran.

        Manusia sekarang terbagi atas dua kubu, yaitu kubu kanan dan kiri. Mereka yang berada di kiri mendapatkan kesejahteraan dengan memanfaatkan cara kerja otak mereka. Kebanyakan mengambil kursi di laboratorium dan industri teknologi yang sudah merajalela. Sedangkan mereka yang dominan kanan, tak tahu bagaimana memanfaatkan dirinya. Bahkan kebanyakan dari mereka mengganggap semakin maju peradaban, semakin tak dibutuhkan pula mereka. Mereka bagaikan penumpang getek yang benar-benar ketinggalan jaman, ditengah mobil terbang yang berkeliaran dan polisi AI yang memantau.

        Aegean adalah salah satu bukti keberadaan kubu kanan. Ia selalu mendapatkan IQ dibawah rata-rata ketika tes, baik ketika masih SD maupun sekarang setelah lulus. Meskipun kebanyakan studi mengajarkan tentang matematika dan kalkulus, ia tetap tidak mengerti. Aegean lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca tulisan sejarah dan mempelajari peristiwa menarik di masa lalu. Baginya, semakin bertambah tahun, manusia semakin tamak dengan segala kebutuhannya. Tidak ada cara untuk menghentikan hal tersebut, karena tak ada planet layak huni seperti bumi, meskipun telah beribu-ribu ilmuan meneliti. Kalaupun ada, hanya pintu ajaib Doraemon yang dapat membawa manusia kesana.


***



        Aegean berjalan-jalan—dengan sepeda motornya, menikmati sore di kota berpolusi ini. Ketika orang berbondong-bondong menggunakan scooter terbang keluaran terbaru, Aegean tetap setia dengan sepeda motor peninggalan ayahnya. Klasik di tengah megahnya pembangunan kota yang tak henti-henti. Gedung-gedung semakin tinggi dengan bentuk yang unik, mulai dari bentuk mercusuar hingga bentuk patung pemilik gedung. Aegean melajukan sepeda motornya menuju taman kota untuk bertemu seseorang. Perempuan yang mati-matian mengajak Aegean keluar dari tempat tinggalnya untuk menikmati sedikit udara luar.

        Ketika Aegean baru menjejakkan kaki di taman, tampaknya Vanila telah sampai terlebih dahulu. Vanila sengaja mengajak Aegean keluar dari kamar sepetaknya untuk memberikan sebuah kabar.

        "Nih, liat!" Vanila menyodorkan sebuah brosur yang telah disebarkan oleh staf walikota. Brosur tersebut berisi sayembara ide untuk penanggulangan sampah yang kian meresahkan.

        "Apa ini?" tanya Aegean sembari mengambil brosur. "Baca dulu, itu kesempatan emas," jawab Vanila

        Dengan tatapan malas—karena sering dibohongi Vanila, Aegean mulai membaca satu per satu kalimat dalam brosur tersebut dengan teliti. Hingga pada akhir brosur tertulis sesuatu yang membuat Aegean terkejut.

        "Satu juta USD! Yang benar saja!" matanya tak berkedip menatap kertas iklan di depannya. Vanila tersenyum puas melihat reaksi itu. "Ini kesempatan emas, Gean! Baca lagi sampai selesai," desak Vanila. Aegean kembali membaca brosur, "Pemenang juga akan direkrut sebagai kepala staf walikota."

        "Tapi... walikota dan ilmuan pun tak tahu caranya, bagaimana denganku?" eluh Aegean. Vanila menatap Aegean dalam-dalam, "Pasti ada caranya!“

        "Baiklah! Terima kasih, ya, sepertinya aku harus pulang dulu." Aegean bangkit dari tempat duduknya dan berpamitan pada Vanila.

        "Pulang? Susah payah aku membawamu ke sini malah pulang," ujar Vanila.

        Aegean kembali ke kediamannya di sebuah rumah susun. Ia bergegas menuju kamarnya dan mengambil sebuah buku pada rak. Buku tersebut berjudul "Bagaimana Manusia Hidup Berdampingan dengan Alam" yang terbit pada tahun 2025. Masa di mana manusia mulai menyadari pentingnya alam bagi kehidupan. Namun, sekarang manusia kembali pada masa jahiliah yang hanya haus teknologi tanpa memikirkan keberlangsungan ekosistem.

        "Wah, hutan pada masa itu luas sekali, sekarang untuk menghindari pemandangan gedung saja sudah sulit." Aegean mulai tertarik dengan buku tersebut dan mencari tempat ternyaman untuk membaca.


***


        Hari demi hari berlalu. Aegean tenggelam dalam fantasinya bersama buku-buku dan sebuah bangku di sudut kamarnya. Pinggang dan kakinya kesulitan merasakan sesuatu akibat terlalu lama duduk. Ia lupa apa tujuan sebenarnya setelah bertemu Vanila beberapa hari lalu, dan baru menyadari ketika melihat brosur pemberian Vanila tentang sayembara penanggulangan sampah itu. Setelah membaca beberapa buku, Aegean sadar bahwa sebentar lagi Tuhan akan mengambil kepandaian penduduk bumi sebelum manusia melampaui batas. Salah satu cara Tuhan yang terlihat sekarang adalah kebodohan manusia yang tak dapat mengolah sampah, padahal sudah berkali-kali mendarat di bulan.

        Aegean juga menyadari ketidakmampuannya memikirkan sesuatu hal yang ajaib, seperti menghilangkan sampah dengan tongkat sihir atau memanggil monster pemakan sampah. Ia melamun untuk beberapa saat di bangkunya, memikirkan bagaimana caranya ia bisa menciptakan suatu terobosan untuk menanggulangi sampah—lebih tepatnya memenangkan sayembara. Ia kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.

        "Ide bagus!" Aegean langsung bangkit dari duduknya. Ia dengan sigap mengeluarkan A-Watch yang dapat mengeluarkan layar di depannya dengan teknologi holografi. Ia kemudian segera masuk pada laman website resmi walikota untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu peserta sayembara. Dengan prototipe seadanya, Aegean dengan percaya diri langsung menekan tombol submit pada alat komunikasi canggih miliknya.

        Aegean memantau beberapa peserta dan melihat bagaimana prototipe yang mereka buat. Setelah membacanya dengan saksama, ia mulai kehilangan kepercayaan diri. Banyak dari mereka menemukan ide-ide yang lebih baik serta menarik daripada idenya. Namun, ia memantapkan hati untuk melihat ke depan, menunggu pengumuman dan tetap tenang.

        Hari di mana sayembara penanggulangan sampah telah tiba. Aegean menjadi salah satu peserta yang berhasil lolos pada tahap seleksi awal, dan diharuskan datang ke kantor walikota untuk menjelaskan idenya secara langsung. Ia mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke kantor walikota. Tidak lupa ia menggunakan parfum untuk menjaganya tetap harum tanpa perlu mandi.

        Kantor walikota hari ini dipenuhi para peserta sayembara. Mereka datang dari berbagai daerah untuk mengutarakan idenya demi kebaikan kota. Sebelum masuk, peserta diperiksa satu per satu oleh sebuah robot penjaga guna pengecekan kebenaran identitas. Selanjutnya peserta diarahkan oleh staf walikota ke sebuah aula. Pada seleksi kedua ini, peserta diharuskan untuk mempresentasikan bagaimana cara kerja dari ide yang telah dibuat, demikian dengan estimasi anggarannya.

        Aegean menunggu gilirannya dengan berbincang pada beberapa peserta. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang kubu kanan yang berharap mendapatkan hadiah sayembara atau sekadar pekerjaan. Waktu mereka begitu luang, hingga dapat memikirkan berbagai ide dan datang ke kantor walikota. Tidak seperti kubu kiri yang sibuk dengan tugas dan pekerjaan membangun kota dengan berbagai teknologi canggih mereka. Mereka tidak memiliki waktu luang untuk sekadar mengikuti sayembara ini, tentu bagi mereka uang sebanyak itu tidak susah dicari.

        Kini giliran Aegean untuk mempresentasikan idenya di depan walikota. Aegean memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya berisi walikota dan beberapa stafnya. Ia berdiri di depan dan kemudian memulai presentasinya.

        "Selamat siang, Pak Walikota. Seperti yang kita ketahui masalah penumpukan sampah yang kian hari makin meresahkan, perlu adanya sebuah penanganan yang tepat. Berbagai cara juga telah dilakukan oleh orang-orang hebat sebelumnya. Mereka menciptakan sebuah alat untuk mengolah sampah menjadi barang-barang lain, bahkan bahan bakar. Namun, seperti yang kita ketahui hal tersebut tetap menghasilkan sampah. Saya akui tidak dapat sehebat mereka, saya hanya ingin memberikan sebuah saran apa yang seharusnya kita lakukan," Aegean menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.

        "Pernah berpikir berapa banyak pohon yang telah kita tebang? Berapa banyak ekosistem yang telah hancur? Mereka tidak mati, Pak. Mereka bereinkarnasi menjadi sampah yang kita lihat sekarang. Saya pernah membaca bagaimana luasnya hutan pada masa lalu, dan berpikir bagaimana luasnya tumpukan sampah masa kini. Satu-satunya cara adalah berdampingan dengan keduanya, baik alam maupun sampah. Dalam prototipe ini, saya mengusulkan ide "Hutan Masa Depan". Gundukan sampah yang selalu saya lihat, mirip seperti gunung dan bukit. Kita juga bisa membuat pohon yang kokoh dari sisa besi..." belum selesai Aegean menjelaskan, Walikota memberi interupsi.

        "Butuh dana yang cukup banyak untuk strelisasi lahan seluas itu. Idenya juga kuno, tidak ada bantuan teknologi pada prototipe ini," ujar walikota tanpa basa-basi.

        "Kebetulan saya punya teman yang bisa membantu, Pak. Dia dari sektor teknologi dan bersedia membantu saya," Aegean menekan layar A-Watch miliknya untuk menelepon seseorang. Layar holografi memunculkan sesosok perempuan dengan rambut pendeknya.

        "Selamat siang, Pak Walikota yang terhormat. Perkenalkan saya Vanila Glaucous senang bertemu dengan Anda."


***


        Setelah adanya sayembara penanggulangan sampah, kota ini kini lebih tertata. Berbagai ide dan gagasan terbaik mulai direalisasikan. Ada beberapa proyek yang sedang berjalan, artinya tidak ada juara satu pada sayembara tersebut. Namun, bagi mereka yang idenya disetujui oleh walikota mendapatkan keistimewaan sekelas para ilmuwan di kota ini serta gaji yang cukup besar.

        Proyek terbesar adalah "Hutan Masa Depan" yang diusung oleh Aegean dan Vanila. Mereka berhasil menciptakan sebuah alat sterilisasi lahan dan karpet rumput raksasa untuk menutupi gundukan sampah. Proyek tersebut hampir rampung dan sudah dapat dinikmati oleh masyarakat kota.

        "Jadi, sekarang pengangguran bisa tetap dapat uang?" ujar Vanila dengan nada mengejek. Aegean yang tak mau kalah membalas, "Orang tamak memang selalu ada. Pekerjaan gaji besar tapi tetap mencari proyek dengan uang besar juga."

        "HAHAHA!" Mereka berdua tertawa bersama.

        "Mau apapun tujuannya, yang penting kita sudah membantu memperbaiki peradaban ini. Jika di masa depan akan lebih banyak tantangan, semoga generasi penerus kita bisa lebih kuat dan kreatif dari kita," jelas Aegean dengan bangga.


***





Siti Muspiroh_@pipppiii_
18

[CERPEN] Berteman dengan Seni karya Salwa Muthmainnah

Berteman dengan Seni


        Bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Alyssa selalu memutuskan untuk menunggu beberapa saat di dalam kelas sampai suasana sedikit lebih lengang.

        Tepat ketika Alyssa beranjak dari kursinya, tiba-tiba hadir seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu kelasnya. “Al,” panggil Sadam sambil tersenyum.

        Alyssa langsung menghampiri Sadam, “Ngapain lu, Dam?” tanya Alyssa.

        “Ayo ke parkiran!” ajak Sadam.

        Alyssa terdiam dan mengerutkan alisnya memberi isyarat kebingungan. “Aduh, Al, kayak gue mau nyulik lo aja. Jadi, Mami sama Bunda tadi siang pergi terus gue disuruh balik ke rumah lo sekalian jemput Mami,” ucap Sadam.

        “Lah, tapi, kan lo tau setiap Jumat gue dijemput Bang Aldi.” Tepat setelah Alyssa selesai berbicara tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi dari handphone Alyssa. Pesan dari Bang Aldi.

        “Nah, pasti itu Bang Aldi kan? Bang Aldi pulang terlambat karena mau ngurusin acara kampusnya dulu,” ucap Sadam sambil berlagak.

        Ya, Sadam benar, Bang Aldi akan pulang terlambat karena ada urusan di kampusnya. Kalau Alyssa tidak pulang dengan Sadam, dia harus menunggu Bang Aldi di sekolah seorang diri atau mengeluarkan uang untuk membayar ojek. Akhirnya, Alyssa memutuskan pergi ke parkiran dan pulang bersama Sadam.

        “Kok, lo lebih tau dari gue sih, Dam?!”

        “Al, kita udah sahabatan dari lahir dan lo masih heran?” tanya Sadam.

        “Huft, gak salah sih, tapi aneh aja. Masa, lo dikasih tau jauh lebih awal dari gue? Syukur-syukur tadi Bang Aldi kirim pesan ke gue.”

        “Kalau lo yang dikasih tau duluan mungkin gue udah pulang karena lo telat ngasih tau ke gue. Karena setiap istirahat kedua lo hampir gak pernah buka handphone, Al. Lo pasti lagi sibuk sama pengadministrasian OSIS.”

        Alyssa mengangguk setuju dengan penjelasan Sadam sambil masuk ke dalam mobil. Lagi pula, hal seperti ini juga sudah sering terjadi di antara mereka.

        Sejak taman kanak-kanak sampai SMA, Alyssa dan Sadam selalu belajar di sekolah yang sama sehingga mereka berdua sudah saling mengenal dan memahami. Hal tersebut didukung oleh persahabatan Bundanya Alyssa dan Maminya Sadam. Jadi, tidak heran keluarga mereka kenal dekat satu sama lain, bahkan Sadam sudah dianggap seperti adik sendiri oleh Abangnya Alyssa—Bang Aldi.

        “Duh, macet banget gue jadi mau tidur,” ucap Alyssa

        “BIG NO! gak boleh ada yang tidur di kursi depan kalau gue lagi nyetir.”

        “Bosen banget, Dam. Lama-lama gue bisa ketiduran.”

        “Kalau dari awal udah mau tidur kenapa gak di kursi paling belakang, Al..”

        “Karena, rasa kantuknya baru datang sekarang, Dam. Kalau dari awal udah mau tidur gue juga bakal tidur di kursi belakang, enak.”

        “Nyanyi aja deh Al, nyanyi. Jangan tidur di kursi depan kalau gue lagi nyetir nanti rasa kantuknya menular ke gue, bahaya.”

        “Gue gak mau nyanyi di depan lo, nanti nada gue direvisi terus-terusan sama lo.”

        “Hahaha, kalau gitu mending lo bikin puisi terus diposting di Instastory,” pinta Sadam.

        Alyssa terdiam. “Lo lagi suka posting puisi-puisi buatan lo, kan?” tanya Sadam.

        “Hm...iya, tapi engga dulu deh karena lama-lama gue jadi malu.”

        “Loh, kenapa? Gue malah mau posting lagu-lagu iseng buatan gue karena terinspirasi dari lo terus juga puisi-puisi buatan lo bagus, Al.”

        “Eh, serius? Gak kenapa-kenapa sih Dam, tapi malu aja.”

        “Iya, serius Al... Hm, malu karena takut karya lo dibilang jelek sama orang lain?”

        “Semacamnya mungkin...rasanya kayak apa ya? Pokoknya lama-lama jadi malu ditambah gue merasa kayak gak punya bakat seni sama sekali. Kalau menggambar jelek, melukis juga nol besar, kalau nyanyi sendirian suka salah nada, gak bisa main alat musik, apa lagi? Rasanya diri gue jauh banget dari kata seni, Dam,” ungkap Alyssa.

        “Oke, gue paham kok, Al.”

        “Gue pernah baca penggalan tulisannya Rupi Kaur. Kurang lebih kata-katanya begini, karya senimu itu bukan soal berapa banyak orang yang suka, tetapi soal apakah hatimu suka, apakah jiwamu suka. Jadi...lakukan aja apa yang lo suka dan apa yang membuat diri lo senang selagi gak merugikan diri lo dan orang lain. Lagi pula, gak ada karya seni yang jelek. Lo masih inget kata-kata guru seni rupa kita saat SMP? Bu Menik selalu bilang kalau gak ada karya seni yang jelek, semuanya bagus. Menurut gue, tinggal karya tersebut bertemu dengan penikmatnya aja, Al.” Sadam menjelaskan panjang lebar sambil sesekali menengok ke arah Alyssa.

        Alyssa tersenyum. “Catalya Alyssa Putri, lo beruntung banget sahabatan sama seorang Sadam Muhammad.”

        “Al...Al...” ucap Sadam sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

        “Bukan lo aja yang beruntung, gue mungkin jauh lebih beruntung sahabatan sama lo. Nih ya Al, pokoknya kita fokus ke diri kita dulu aja. Berusaha untuk terus gali kreativitas yang ada di dalam diri kita.”

        “Iya ya...dengan kita berusaha gali kreativitas di dalam diri anggap aja untuk mengembangkan diri kita juga.”

        “Nah, itu poin pentingnya.”

        “Oh iya, besok mau lo ikut gak, Al?”

        “Mau ke mana?”

        “Pameran seni.”

        “Di sana ada berbagai jenis seni, Al. Kalau lo mau ikut gue jemput jam 8, tapi harus udah siap dan udah sarapan.”

        “Hm, oke!”

        “Tiba-tiba banget, Dam?”

        “Enggak...awalnya, gue mau ke sana bareng Gio sama Farhan, tapi tiba-tiba mereka berdua gak bisa terus sebenarnya gue mau kasih tawaran ke lo dari kemarin, tapi lupa.”

        “Oalah...”

        Percakapan yang cukup panjang membuat rasa kantuk Alyssa menghilang begitu saja. Kemudian, mereka berdua memutuskan bernyanyi bersama selama di perjalanan. Kalau Alyssa nyanyi bersama Sadam tidak akan terdengar ocehan Sadam merevisi nadanya.

        Setelah tiba di rumah Alyssa, ternyata Bunda dan Mami sudah pulang. Kedatangan mereka disambut hangat oleh makanan kesukaan mereka waktu kecil. Pai stroberi. Saat makan pai bersama, Alyssa meminta izin ke Bunda untuk pergi ke pameran seni besok pagi bersama Sadam. Seperti dugaan Alyssa, Bunda mengizinkan Alyssa pergi dengan syarat harus menyarap terlebih dahulu.

        Esok paginya, Alyssa sudah siap pergi ke pameran dengan pakaian cantiknya. Sebelum pergi, Alyssa memutuskan makan semangkuk sereal terlebih dahulu. Setelah Alyssa selesai menghabiskan semangkuk sereal, tidak lama kemudian terdengar bunyi klakson mobil Sadam dari luar.

        Alyssa langsung menghampiri Bunda dan berpamitan. “Bun, Alyssa pergi dulu ya.”

        “Hati-hati ya, Sayang.” Bunda mengantarkan Alyssa ke depan pintu rumah.

        Sadam dan Alyssa melambaikan tangannya dan berkata, “Dadah Bunda.” Bunda pun membalas lambaian tangan mereka.

        Sepanjang perjalanan mereka menikmati pemandangan Jakarta di pagi hari ditemani dengan lantunan musik klasik dari radio mobil. Setelah hampir satu jam di perjalanan, akhirnya mereka berdua sampai di tempat tujuan.

        Alyssa dan Sadam langsung menelusuri tempat tersebut. Mereka menikmati karya-karya berupa patung, model pakaian, nyanyian, bahkan pertunjukan. Semua pemilik karya tersebut menyambut    mereka dengan senyuman hangat. Dari wajah para pemilik karya terlihat hubungan yang sangat erat antara mereka dengan hasil karya mereka. Setelah mengunjungi seni teater, seni musik, dan beberapa seni rupa, Sadam mengajak Alyssa mengunjungi salah satu tempat yang terpisah sendiri. Selama pameran seni ini berlangsung, setiap harinya akan ada satu pelukis yang terpilih dan berhak menampilkan semua hasil lukisannya di salah satu tempat terpisah tersebut.

        “Al, lihat hasil lukisannya Rasya Aaliyah yuk!” ajak Sadam

        “Rasya Aaliyah?”

        “Iya. Rasya Aaliyah itu pelukis yang terpilih hari ini, dia bakal menampilkan semua hasil lukisannya di salah satu tempat di sini.” Sadam menjelaskan sambil berjalan ke arah tempat tersebut diikuti oleh Alyssa di sampingnya.

        “Wow! Keren.”

        “Nah, ini tempatnya. Setahu gue Rasya Aaliyah itu mahasiswa kedokteran yang sering mengorbankan dirinya untuk orang lain ataupun lingkungannya. Salah satunya dia memilih menjadi mahasiswa kedokteran karena lahir di lingkungan para dokter spesialis, padahal dia mau banget masuk jurusan seni.”

        Alyssa menyimak penjelasan Sadam sambil sesekali menganggukan kepalanya dengan pelan. Mereka pun masuk ke dalam ruangan tersebut dan mulai menelusurinya.

        “Wow! Dam, lihat!” seru Alyssa sambil memperlihatkan penjelasan yang ada di layar handphone-nya setelah memindai barcode yang tertera.

        “Ternyata lukisan-lukisan yang di sini itu hasil karya Rasya Aaliyah sejak dia menjadi mahasiswa kedokteran terus lukisan ini dibuat ketika dia lebih memprioritaskan orang lain, dia mengorbankan diri dia untuk lingkungannya, pokoknya ketika dia gak adil terhadap diri dia sendiri,” lanjut Alyssa.

        “Keren kan, Al? Melukis menjadi satu-satunya momen dia bisa adil dan jujur sama diri sendiri, ibarat seharian dia udah gak adil sama diri sendiri dan udah bohongi diri sendiri terus semuanya itu dituangkan ke dalam lukisan.”

        “Keren...keren banget. Dan dia melukis ini semua dengan perasaan senang dan penuh kejujuran, tanpa beban pikiran, dan tanpa memikirkan penilaian orang lain.”

        Sadam mengacungkan kedua jempolnya sambil tersenyum. “Iya, Rasya Aaliyah sangat berteman dengan karya seninya makanya hasil lukisannya banyak yang penikmatnya karena maknanya berasa banget.”

        Setelah mengitari tempat tersebut dan menikmati lukisan-lukisan yang dipajang di dinding, mereka memutuskan untuk pulang dan berjalan ke arah parkiran mobil.

        Setelah memasuki mobil, Alyssa mengeluarkan selembar kertas dengan ukuran tidak kecil dan tidak besar sambil tersenyum. “Tadi pas keluar dari tempat lukisannya Rasya Aaliyah, gue dikasih ini.”

        “Tau gak tulisannya apa?”

        Sadam hanya memberikan isyarat tidak tahu dengan menaikkan salah satu alisnya.

        “Karya senimu bukan soal berapa banyak orang suka, karya senimu adalah soal apakah hatimu suka? apakah jiwamu suka? Adalah soal seberapa jujur kau kepada dirimu sendiri dan kau tidak boleh menukar kejujuran dengan ketidakmasukakalan.”

        “Tulisannya Rupi Kaur yang kemarin lo bilang ke gue.”

        “Versi lengkapnya,” lanjut Alyssa sedikit meledek dengan nada bercanda lalu diikuti suara tertawa mereka berdua.

        Sadam mengangkat jari kelingkingnya sebagai tanda perjanjian. “Enggak ada lagi bermusuhan dengan karya sendiri, apalagi bermusuhan sama diri sendiri.”

        Alyssa tersenyum lalu membalas tanda perjanjian tersebut dengan mempertemukan jari kelingkingnya dan jari kelingking Sadam. “Enggak ada lagi. Sekarang tugas kita hanya mengembangkan diri dengan terus berusaha menggali kreativitas di dalam diri tanpa memikirkan penilaian orang lain.”


Salwa Muthmainnah_@salwamuth

0

[CERPEN] Sejarah di Sebelah Timur karya Rekso Jumantoro

 Sejarah di Sebelah Timur


        Kala itu merupakan malam yang begitu tenang dan sunyi, hanya terdengar jangkrik yang saling beradu suara. Suhunya yang lebih rendah dari biasanya membuat suasana malam ini semakin mendukung bagi orang-orang untuk bersantai dan meletakkan punggung mereka ke tempat penuh dengan gravitasi yang begitu kuat sembari menarik selimut untuk menghangatkan diri. Tidak terkecuali bagi Dean seorang mahasiswa berusia 19 tahun yang kini telah menginjak semester 4. Karena tidak ingin membuang waktu liburannya, Dean membunuh waktu dengan berbaring dari pagi hingga pagi lagi untuk menggeser-geser sesuatu yang ada di tangannya, melihat hal-hal yang menyenangkan, mendengarkan alunan musik, menonton film, meretas NASA, mendengarkan podcast, dan hal menyenangkan lainnya.

        Dean amat sangat menikmati masa-masa membuang waktunya sampai ia melihat sebuah berita menarik yang disebar di grup chat kelasnya. Sembari setengah berbaring dengan tangan kiri memegang ponsel serta tangan kanannya memegang camilan, ia membaca berita bahwa salah seorang temannya baru saja memenangkan perlombaan membuat desain grafis. Bahkan lebih dari itu, di grup chat lainnya Dean membaca berita yang serupa bahwa salah seorang mahasiswa di jurusannya mendapatkan juara 1 lomba menulis puisi. Benar-benar malam yang buruk bagi Dean.

        “Benar-benar orang yang sangat kreatif” ucapnya sambil menggerutu.

        Malam ini begitu dingin bagi Dean, melihat kawan-kawannya begitu hebat menorehkan prestasi sedang dia hanya menghabiskan setiap detik dengan melakukan hal yang sama sekali tidak bermakna. Dean pun memutuskan untuk menyimpan ponselnya ke meja di sebelah kasurnya lantas mulai berbaring dengan tatapan hampa kearah langit-langit kamarnya. Tatapannya begitu hampa dan jauh sampai langit-langit kamarnya pun seolah tertembus hingga Dean mampu melihat Sirius yang begitu berkilau mengalahkan bintang di sekitarnya. 

        “Benar-benar bintang yang sangat indah” gumamnya sembari tersenyum lesu.

***

        Siang itu merupakan siang yang sangat terik tetapi cukup tenang, hanya terdengar beberapa kendaraaan saja yang lalu lalang melalui jalan di dekat rumah Dean. Ia masih belum beranjak dari tempat tidurnya, berbaring dengan rasa malas yang begitu mendalam melebihi palung mariana serta gravitasi benda elastis di bawah punggungnya yang begitu kuat. Masih dengan posisi merebah dengan tatapan suram kea rah langit-langit kamarnya. Tiba-tiba secara samar terlihat tulisan yang muncul dari langit-langit kamarnya itu. Dean menyipitkan matanya berusaha membaca tulisan itu hingga akhirnya terbaca historiae in orientalem. Begitulah tulisan dengan bahasa yang begitu asing yang terbaca oleh Dean. Dia mengulang-ulang mengucapkan kalimat yang ada di langit-langitnya tersebut hingga sangat melekat di kepalanya meski ia tidak dapat memahami maknanya. Namun secara mendadak tulisan tersebut semakin membesar sehingga secara alamiah Dean bangkit dari rebahannya karena begitu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Benar-benar hari yang aneh bagi Dean. Sembari mengatur napasnya yang sempat tertahan karena kejadian beberapa detik yang lalu, dean melihat sebuah buku yang sangat tebal dengan sampul berwarna cokelat dengan motif klasik berwarna emas dan terlihat sudah cukup tua tergeletak di meja sebelah tempat tidurnya. Di bagian tengah atas sampulnya tertuliskan opus libri. Lagi-lagi bahasa yang tidak dipahami oleh Dean. Tanpa berpikir panjang ia meraih buku tersebut lalu membuka halaman pertama. Dengan aroma buku yang begitu khas dan kertas yang sudah terlihat tua yang sepertinya berjenis ivory yang halus dan mewah, ia lagi-lagi menemukan tulisan facere. Hanya itu yang berada di halaman pertama, dan ketika ia membuka halaman-halaman selanjutnya, hanya ada kertas kosong tanpa bertuliskan satu kata pun, tidak satu garis gambar pun. Dan ketika buku tersebut masih berada di tangan Dean, tiba-tiba keluar cahaya yang begitu terang lalu disertai dengan ledakan yang begitu dahsyat.

        Dean bangkit dari tidurnya dengan keringat yang bercucuran dan napas yang terengah-engah dan ekspresi terkejut yang tidak dapat disembunyikan. Ia langsung meraih kertas dan pena lalu menuliskan tiga baris kata

        historiae in orientalem

        opus libri

        facere


        Ia mengingat semua kejadian di dalam mimpinya yang aneh barusan, dan ia segera menuliskan kata-kata yang ia temukan di dalam mimpi tersebut sebelum ia melupakannya.

        “Benar-benar mimpi yang aneh”

        gumamnya sembari mengatur napasnya dan mencoba menghapus keringatnya. Sembari menenangkan diri, Dean meraih ponselnya lalu mencari makna dari ketiga kata yang baru saja ia tulis ke internet dan menemukan bahwa ternyata ketiga kata tersebut berasal dari bahasa latin yang secara berurutan bermakna sejarah di sebelah timur, buku karya, buatlah. Tiga buah susunan kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Dean. Ia berpikir sejenak, merenungkan ketiga kata tersebut lalu seperti ada bohlam yang muncul dari kepalanya ia mengingat sesuatu. Ada museum sejarah di dekat rumahnya dan letaknya adalah di sebelah timur kota ini.

        Seolah tak percaya, tapi Dean merasa telah berhasil menafsirkan makna dari kata yang ada di mimpinya itu. Dan di hari selasa yang sedan cerah ini secara tiba-tiba dia ingin berjalan-jalan menuju ke museum tersebut, karena memang sudah lama juga dia tidak mengunjunginya. Ia menghubungi salah seorang temannya untuk ia ajak bersama ke museum dan temannya pun mengiyakan dan berjanji untuk bertemu di sana.

        “Hey”

        Teriak seorang pria tinggi berusia sekitar 20 tahun dari kejauhan sembari melambaikan tangan kepada Dean. Ia adalah Paul, teman sekelas Dean yang sangat akrab dengannya seperti Luffy dan Zoro pada serial One Piece. Dean menghampiri lalu mereka pun masuk ke dalam museum dan berkeliling-keliling melihat peninggalan sejarah yang ada di sana. Sembari melakukan obrolan ringan, sesekali Dean tertawa dengan keras namun Paul mengingatkannya untuk tidak berisik karena orang-orang di sekitar mulai menatap kea rah mereka. Benar-benar hari yang menyenangkan bagi mereka berdua. Sambil berkeliling tiba-tiba Dean mengatakan sesuatu yang cukup serius tetapi ia ucapkan dengan santai.

        “Enak ya jadi orang kreatif”

    Paul masih diam sambil mengamati benda-benda di sekitarnya, namun tetap mendengarkan Dean.

        “Mereka bisa bikin karya-karya bagus dan karyanya diakui sama banyak orang, coba aja aku bisa kaya mereka.”

        Sambung Dean, dan Paul masih tetap diam tetapi masih tetap mendengarkan apa yang dikatakan oleh Dean. Akhirnya mereka mencari tempat duduk untuk sedikit beristirahat sembari membuka ponselnya sebelum akhirnya melanjutkan untuk berkeliling.

        “Menurutku, orang-orang yang kamu sebut kreatif itu adalah para pekerja keras yang berani membuat sesuatu dan terus berusaha menambah kualitas pada sesuatu yang mereka buat. Kadang orang kebanyakan mikir tapi hanya terbatas sampai sana. Gak ada kelanjutannya dan apa yang mereka pikirin itu perlahan bakal lenyap tanpa pernah jadi apa-apa.”

        Paul baru menjawab kalimat yang Dean katakan tadi setelah mereka duduk beristirahat. Dean hanya diam dengan mata yang terbelalak. Ia terkejut melihat ada uang dengan jumlah yang cukup besar jatuh di depannya lalu mengambilnya dan memberikannya kepada petugas museum agar bisa kepada pemiliknya. Di sisi lain dia mendengarkan dengan saksama apa yang diucapkan oleh Paul.


***

        Malam pun tiba, Dean telah kembali ke rumahnya dan ia sudah berada di kamarnya duduk di dekat jendala kamarnya yang berada di lantai dua dan menghadap ke arah kota dengan langit malam yang begitu bersih dan diterangi dengan bulan purnama dengan kilauan bintang yang nampak cukup jelas. Ia masih merenungkan beberapa kejadian mulai dari mimpinya, makna dari ketiga susunan kata yang ia temukan dalam mimpi, uang yang ia temukan di museum, dan kalimat yang Paul ucapkan ketika mereka duduk-duduk di museum.

        “sejarah di sebelah timur, buku karya, buatlah, banyak mikir, gak ada aksi, gak jadi apa-apa. Hmmm”

        Dean terus menggumamkan hal yang sama berulang-ulang hingga ia mencapai sebuah kesimpulan. Ia tergerak untuk pergi ke museum yang berada di sebelah timur kota dan Paul tanpa sengaja memberikan sebuah pandangan baru kepada Dean tentang orang yang kreatif. Dan buku berjudul opus libri atau dalam bahasa Indonesia artinya buku karya yang ia temukan dalam mimpi, kata pertama yang ia temukan dalam buku yakni facere atau yang artinya buatlah, serta halaman-halaman kosong dalam buku tersebut merupakan pesan bahwa buku karya yang masih kosong tersebut harus mulai ia isi dengan membuat sesuatu yang disebut dengan karya.

        Setelah mendapatkan kesimpulan tersebut Dean sedikit lebih lega dan senang karena merasa telah berhasil menafsirkan mimpinya semalam meski ia tidak tahu itu tafsiran yang benar atau bukan. Tetapi itulah kesimpulan terbaik yang bisa ia berikan dan ia puas dengan itu.

        Setelah selesai merenung, Dean kembali memberikan perhatiannya kepada pemandangan di luar jendelanya lalu sembari tersenyum ia mengatakan

        “Tuhan benar-benar seniman yang sangat hebat.”

        Lalu ia beranjak dari duduknya, menutup jendela lalu meraih laptop yang ada di lemarinya untuk melakukan sesuatu. Ia sudah bersiap mengisi opus libri-nya itu dengan karya pertamanya, sebuah Notasi Syair Kebebasan, sebuah cerita pendek berjudul Sejarah di Sebelah Timur.




Rekso Jumantoro_@ecooscnd
0

[CERPEN] Berayun karya Hananda Fitri Nur Fadzillah

 Berayun


Awan hitam menjadi pengucap selamat datang dibulan Maret. Dua orang perempuan cantik tengah saling mengeliuk berpelukan dengan dekapan terkuat, berusaha menyingkirkan pilu yang tak kunjung sembuh oleh kenyataan. Seperti hal nya air langit yang akan kembali lagi ke asalnya setelah melalui jalan panjang dan proses penguapan, begitupun manusia akan kembali ketempat asal dia diciptakan.

Mereka mengingat akan perih nya rasa sepi yang semakin menguatkan rasa sakit kehilangan orang yang dicintai. Dua orang wanita cantik dengan rentang usia yang cukup jelas mengidentifikasikan bahwa orang yang pergi begitu berharga dalam hidup mereka.

Mereka menutup sesi pelukan dengan saling kembali pada bilik masing masing. Dan mengakhirinya dengan beberapa kata.

“Sudah ya dek, adek jangan lupa makan. Mamah mau langsung tidur ya capek.” Kata sang wanita paruh baya, yang kini bergerak untuk bangun dari duduknya.

“Mamah udah makan?” Tanya seorang perempuan manis dengan rambut terurai, dan mata yang sedikit merah.

“Sudah, tadi sore." Jawab wanita paruh baya itu, dengan mengusap lembut rambut perempuan manis dihadapanya.

“Biasanya ayah yang temenin aku makan kalau mamah tidur." Perempuan itu menjawab dengan sedikit menundukan kepala dan suara yang parau, menahan kemungkinan meluapnya benteng pertahanan.

“Yaudah sekarang mamah temenin ya.” Ucap wanita paruh baya itu dengan senyum terbaiknya.

“Katanya mau tidur mah? Udh gapapa mamah tidur aja. Lagian aku mau makan dikamar aja sambil selesaikan kerjaan ini, besok harus udah beres.” Kata si perempuan manis dengan senyum termanisnya.

“Jangan lupa tidur dek, nanti ayah marah kalau adek kebanyakan begadang.” Ucap wanita paruh baya itu setelah merapikan rabut anaknya yang berantakan.

“Aku senang kalau ayah marah, aku pasti bakal kangen ribut sama ayah.”

“Sudah sudah, kalau memang ada yang harus diselesaikan segera ya dek biar tidur nya ga terlalu malam juga ya. Mamah mau ke kamar duluan.” Kata si wanita paruh baya itu setengah berjalan menuju bilik pintu.

Setiap hari tidak pernah berhenti waktu memberi kejutan, termasuk kepada kedua perempuan ini kedua perempuan yang pada akhirnya harus belajar merajut hidup keluarganya berdua setelah sang paduka keluarga memilih kembali pada sang kuasa. Kejutan yang sangat mengukir luka di hati kedua wanita ini, anak dan ibu yang kini menempati istana tanpa sosok pemimpin. 

Perempuan manis itu biasa dikenal dengan nama Dibya. Dibya kini menghadiri acara rutin setiap akhir bulan di minggu ke-4. Kegiatan yang sudah cukup lama ia datangi disetiap sela kesibukanya, yaitu menghadiri pertemuan sosial dengan para komunitas penyelamat generasi emas indonesia. Bertemu dengan anak-anak kecil itu menjadi hiburan dan bentuk kebahagian yang dapat membantu memudarkan rasa sakit baginya.

Tepat hari-hari sebelumnya Dibya diputuskan dalam ikatan pekerjaanya. Hari yang melelahkan baginya mencari pekerjaan dan harus bersaing dengan ribuan manusia yang juga ingin bertahan dalam kehidupan. Hingga akhirnya beberapa waktu pekerjaan datang dengan upah yang jauh dari pekerjaan sebelumnya diluar jauh batas UMR ibu kota. Dan kejutan besar itu datang kemarin, tepat dihari hari kelelahan yang datang bertubi tubi menjatuhkan gadis puluhan tahun ini dalam pelosok yang jauh.

Ditengah kegiatan menggambar dan mewarnai, Dibya berjalan memperhatikan dan menelusuri setiap anak yang menarik untuk ditanya lebih jauh alasan dia menggambar. Hingga Dibya bertemu seorang anak laki-laki berambut pendek rapih, mengenakan kaos longgar berwarna biru muda. Laki-laki kecil itu menggambar seorang sosok manusia berambut sebahu, dengan badan yang cukup besar dan pastinya gambar itu tidak seperti wujud manusia sungguhan karena Dibya hanya menebak layaknya gambar manusia yang sering anak-anak buat.

“Ini siapa yang digambar?”

“Ini ibu aku.” Kata si laki-laki kecil itu

“Wah cantik banget ya ibu kamu, sama ibu aku juga cantik tau.”

“Iya.” Ucap laki-laki kecil itu yang masih sibuk mewarnai gambarnya

“Kenapa kamu gambar ibu? Eh ini ada foto, ini foto ibu kamu?” tanya Dibya setelah menemukan sebuah foto kecil berukuran 2R dari balik kertas gambar anak laki-laki itu.

“Iya. Tapi ini punya kakak, jadi aku mau bikin punya aku sendiri. Biar kalau kangen ibu, aku bisa terus liat ibu dari gambar ini.”

Waktu berlalu, tepat ketika Dibya telah mendapatkan informasi dari temanya bahwa laki-laki kecil itu seorang piatu. Ibunya telah meninggal sekitar satu tahun yang lalu, dan kini tinggal dengan ayah dan satu kakak perempuanya. Dibya terkejut dan matanya terasa panas, mengingat bahwa laki-laki kecil itu mampu membuatnya merasa sangat kecil dan lemah. 

Dibya kembali kerumah, tepat di dalam kamar dan kini duduk menghadap jendala. Di depan jendela itu ada balkon kecil tempat dimana ayah Dibya biasanya duduk meminum secangkir kopi, dan melukis abstrak tentang hari-hari yang telah berlalu. Kehidupan keluarga Dibya memang dekat dengan seni, dan lewat seni juga mereka membentuk keluarga yang harmonis.

Dibya kini berada di balkon tempat kesukaan ayahnya menghabiskan waktu sendiri. Gadis itu mulai menggoreskan beberapa warna pada kanvas yang sedikit usang tak tersentuh. Setelah waktu mengelabuinya hingga matahari mulai mengurangi jarak pedarnya, kini dia mengambil hasil karyanya dan mengabadikan dalam dunia maya.

Waktu berlalu cukup padat bagi Dibya. Seorang wanita paruh baya yang biasa dipanggil mamah oleh Dibya, kini menatap anak perempuanya yang tengah sibuk menghabiskan waktu disebuah ruangan. Kegiatan ini bukan sekali dua kali baginya, karena Dibya yang terlalu sibuk membuat keberadaan mamahnya sedikit tersamarkan.

“Dek, ini sudah malam kapan mau tidurnya?” tanya wanita didepan pintu

“Iya, mah. Bentar lagi kok ini.”

“Kamu selalu jawab gitu tapi baru matiin lampu jam 2 pagi.” Wanita itu masuk menghampiri dan memerhatikan kegiatan Dibya.

“Mamah udah makan? Maaf ya akhir akhir ini aku sibuk banget, sampai ga bisa temenin mamah makan bareng.” Dibya mengehntikan kativitasnya dan mengedarkan pandangan pada wajah mamahnya.

“Kamu yang harusnya jangan lupa makan, ini kue-kuenya juga buat dimakan jangan jadiin pajangan aja.” Ujar mamah Dibya dengan menunjukan sebaris kue-kue dalam piring.

“Iya, iya mah..”

“dek, dengerin. Mamah mau kita saling jaga, jangan egois untuk menyibukan diri sendiri hingga melupakan bagian dalam diri kita yang butuh istirahat.” Setelah terucap kalimat tersebut Dibya hanya diam memperhatikan mamahnya yang pergi meningglakan kamarnya.

Dibya terbangun tepat satu jam sebelum mamahnya bangun, kemudian menyediakan beberapa makanan yang telah ia siapkan seorang diri. Merencanakan semuanya sejauh ini tidaklah mudah menurutnya, terlebih jika pusatnya itu untuk seorang wanita yang paling berjasa dalam hidupnya hingga tak henti hentinya Dibya tersenyum selama mempersiapkan semuanya. 

Semua selesai, acara makan dan mengembalikan beberapa momen yang tertinggal karena pencapaian yang belum usai. Dibya memulai percakapan sederhana dengan mamah nya dengan nada biacara yang dalam.

“Mamah jadi mau umrah?”

“Sudah teruskan dulu makan yang banyak.” Mamah Dibya menjawabnya dengan senggan

“Mamah, lihat ini deh” menunjukan gambar pada handphone Dibya

“Cantik bagus.” Ucap Mamah Dibya dengan tersenyum dan mengangkat jempol kanannya

“Aku yang lukis di tembok ini, ini tembok di tempat anak-anak binaan aku beraktifitas.”

“Masyaallah, masih berjalan kegiatanya?”

“Masih dong mah.. bahkan meluas bukan hanya tentang edukasi lisan, tapi juga bentuk keberagaman lainya.”

Dibya terus bercerita tentang semua hal bahagia yang membuatnya harus menghabiskan waktu belakangan ini, hingga dibya mengeluarkan secarik kertas yang membuat haru keadaan seketika.

“Ini untuk mamah. Maaf aku gagal membantu kebutuhan rumah hingga menghabiskan uang tabungan mamah yang seharusnya untuk pergi umrah mamah dan ayah tahun ini, sesuai dengan rencana kalian waktu itu.”

“MasyaAllah, dek. Dapat dari mana uangnya?”

“Ini namanya sosial media mah, dan yang aku buka saat ini namanya instagram. Aku sempat mengunjungi dan tenggelam dalam aktivitas yang biasa ayah lakukan, kemudian membagikan hasil karyaku diberbagai media sosial terutama instagram. Aku tidak ingat tepatnya tapi mereka menghubungiku dan menawarkan kerja sama, dan sampai kini aku bisa berdiri sendiri mengembangkan potensiku dengan bidang yang sesuai denganku. Aku tidak meninggalkan pekerjaan yang dulu kok mah, pekerjaan baru ini menyenangkan mah dan omset yang didapat berkali kali lipat dari gajiku sejak awal.”

“Jadi apa yang sebenrnya kamu jual?”

“Aku awalnya jual jasa, mereka percaya karya ku bisa direalisasikan lebih dari batas kanvas. Maka aku mencoba dari dinding dalam rumah binaan ku tadi, hingga aku dan teman teman memperluas hal ini menjadi produk barang. Produk barang yang kita hasilkan berupa paket alat melukis dan buku petunjuk singkatnya, sehingga mereka yang ingin memulai hobinya dapat dengan produk ini. Produk yang dipasarkan memang belum pernah aku bawa pulang, karena proses produksi berjalan ditempat binaan yang nantinya dananya akan terbagi juga untuk kelengkapan rumah binaan, agar anak-anak rumah binaan akan lebih tersaring luas terutama untuk memaksimalkan mereka yang tertinggal dalam pendidikan dapat tertolong.”

“Alhamdulillah, kamu masih peduli dengan yang lain. Kamu ga seharusnya kasih ini ke mamah, menurut mamah yang terpenting sekarang kamu sehat jangan terlalu capek ya dek.”

“Aku sehat mah, aku sangat sehat karena dapat bergerak untuk dapat membantu sekitar dan juga mamah.”

“Ayah pasti bangga sama kamu dek, kamu mau bergerak untuk mencetak kretivitas kamu menjadi manfaat untuk semua orang.”

“Aamiin, dan satu lagi ini aku mau kasih liat.” Dibya berjalan kekamar dan kembali dengan sekotak kanvas ditangannya. Kemudian meletakanya tepat di sebelah tangan mamahnya.

“Seorang anak kecil di rumah binaanku mengajarkan aku bahwa dari gambar kita dapat terus merasa dekat dengan seseorang dan mengobati yang tidak bisa terbayarkan.”

Dibya tersenyum mengusap punggung tangan mamahnya, dan saling melempar senyuman bahagia. Kehangatan kian menjalar pada keduanya ketika mereka saling mengulur tangan untuk mendekap. Perasaan hangat menyelimuti kuat diri Dibya yang telah berjuang sejauh ini menghadapi segala ekspetasi yang terlampau jauh dari realita yang terjadi. Dibya terbuai dalam dekapan hingga mengingat tentang beberapa hari kebelakang.

Pada malam itu Dibya menatap layar gawai nya yang sempat berbunyi lemah. Terdengar notifikasi masuk disalah satu sosial medianya, raut wajah sendu berubah menjadi banyak tanya tidak percaya akan penawaran yang masuk begitu saja malam itu. Hingga hari-hari berlalu menghantarkannya sebagai seseorang yang baru, dia bekerja untuk memberikan desain pada seorang juru interior. Namun, selama kerja sama itu berjalan beberapa bulan waktu membongkar bahwa hasil karya nya selama ini dibayar semakin rendah bahkan diambil hak ciptanya. Dibya memutuskan kerja sama mereka. Jika saja Dibya berhenti saat itu mungkin kini mereka tidak dapat saling menebar hangatnya pelukan. Dibya yang terus kembali sebagai aktivis dalam rumah binaan yang berisi banyak anak-anak mendapat dorongan untuk dapat memberi kontribusi lebih dari sekedar waktu dan energi, dan mengingat bahwa ada seorang wanita cantik dirumahnya yang harus dia bahagiakan. Hingga perjalanan Dibya dimulai kembali, mencari apa yang harus dimulai dengan modal seadanya dan memberikan wujud yang layak.

Berteman dengan kicauan jangkring, bunyi-bunyian malam, dan gelapnya langit menjadi awal yang begitu berat sebagai langkah pertamanya. Namun, dibya adalah perempuan yang cerdas dan cerdik seperti namanya dalam arti bahasa sansekerta. Perempuan ini dengan segala pengalamanya sangat yakin bahwa dia bisa mengikuti arah angin membawanya pada puncak yang diimpikan. Dibya selalu mengerjakan semuanya dalam meja belajar di kamarnya yang menghadap langsung pada balkon kecil tempat ayahnya dahulu menghabiskan waktu sendiri.

“Ayah benar, kita tidak bisa diam untuk membuat perubahan dan menggali kreativitas. Terima kasih, ayah.” Gumamnya dimalam yang sudah banyak hari menghabiskan waktunya dan memotong jam tidurnya.

Kembali pada keadaan saat ini, Dibya terbangun dalam lamunan yang telah menenggelamkan dirinya selama dalam dekapan. Tersenyum bahagia dan saling melontarkan tawa dihadirkan oleh kedua perempuan kuat yang saling menguburkan luka bersama, dan menanamkan bahagia baru diwaktu yang bersamaan.

Dunia ini seperti sebuah wahana, wahana kecil yang sudah familiar dalam kehidupan manusia. Beberapa daerah akan menyebutnya ayunan, yang akan terus bergerak selama titik tumpu nya masih bertahan. Pergerakan yang tidak akan membawamu terus ke atas namun juga tidak membawamu pada titik setimbang ataupun kebawah. Hidup ini penuh kejutan, dalam cerita Dibya mengurai kuat bahwa tidak ada suka cita ataupun duka cita yang berlebih. Dan selama kita masih bergerak tidak ada impian yang hanya menjadi khayalan.


Hananda Fitri Nur Fadzillah_hanandafadz