Minggu, 15 November 2020
Nestapa Belajar dan Iman by Muhammad Raffi Athallah Miraza
Kecil Tapi Bermakna by Luthfita Chairani Fatihah
Penggerak Kebenaran by Indra Suparlan
Bangun Untuk Berdiri by Immanuella Senja Dwi Febriani
Spiritualitas Yang Terenggut by Imanisa Inner Putri
Doa Mu Senantiasa Bersama Ku by Hafsyah Ranita
Khayalan Palsu untuk Anak-anak Kami by Feliciano Lucky Pratama
Ayu Akal dan Kalbu by Dwi Anjeli P
Kunci Penerus Bangsa by Dea Ferbiliana Fajri
Norma mulai terkikis,
Untuk masa depan yang lebih cerah.
Pemuda Pemudi Harapan Bangsa by Azritamara Shalsadila
Kita Adalah Anak Alam by April Lia
Anak Baru? by Dinda Putri Rahmawati
Anak Baru?
Kicauan burung menenangkan hati, embun menempel di daun, dingin menyeruak ke dalam tulang. Seorang gadis remaja sedang duduk di jendela kamarnya, menikmati semua suasana itu. Hahh, terasa sangat tenang hati ini, batinnya.
***
“ARINII!”
Teriak sebuah suara mengagetkannya, ternyata sudah setengah jam dia duduk disitu, tidak terasa sekali sudah saatnya ia harus kembali ke rutinitas awalnya, pergi ke sekolah.
“Iya, Ma. Arini siap-siap.”
Arini pun segera bersiap untuk berangkat ke sekolah, mandi, memakai seragam, dan setelah dirasa sudah siap ia segera keluar dari kamar dan menghampiri ibunya di dapur untuk sarapan.
“Maa, masak apa hari ini?” Tanya arini seraya memeluk pinggang mamanya dari belakang yang sedang menyiapkan sarapan
“Nasi goreng sama telur mata sapi, kesukaan kamu. Sana duduk, biar mama siapin dulu.”
“Asiik, aku sayang mama.” Ucap Arini sambil mencium pipi mamanya dan duduk di meja makan
Arini dan mamanya pun sarapan dengan tenang dan sesekali Arini bercerita tentang kehidupan sekolahnya.
“Arini berangkat dulu, ma.” Arini mencium punggung tangan ibunya
“Hati-hati, sayang.”
Arini pun pergi dengan sepeda motornya sambil melambaikan tangan kepada mamanya
***
15.30 WIB, SMA NUSA BANGSA
Kegiatan sekolah memang sangat melalahkan, jam segini lah jam yang sangat menyenangkan karena sudah waktunya pulang ke rumah. Arini pun segera menuju lahan parkir tempat iya memarkir motor dan melajukan motornya untuk pulang ke rumah.
Saat diperjalanan pulang, di dekat rumahnya ia melihat ada dua anak kecil sedang bertengkar di pinggir jalan. Arini pun berniat untuk menghampiri dan memisahkannya.
“Hey hey kamu berdua. Udah-udah jangan bertengkar!” Ucapnya seraya memisahkan keduanya
“Kak, dia duluan tau ga dia ngambil mainan aku.”
“Bener itu? Kamu ngambil mainannya?”
Anak itu malah lari menjauh seraya melempar mainan itu ke tanah.
“Nyebelin banget si kamu!”
“Udah-udah gapapa, sekarang kamu pulang. Ini mainannya, ga rusak kok agak kotor aja sedikit.”
“Makasih ya kak”
Arini tersenyum seraya melihat anak itu yang jalan pulang ke rumah yang memang dekat dari situ. Arini terdiam dan berpikir tentang anak yang lari tadi, sepertinya ia merasa belum pernah melihat anak itu sebelumnya. Ia pun akhirnya melanjutkan perjalanan untuk kembali ke rumahnya.
Sesampainya di rumah ia tidak lupa mencium tangan mamanya dan segera ke kamarnya untuk membersihkan diri. Selesai membersihkan diri, ia keluar dan ke ruang tengah untuk berbincang dengan mamanya, kemana ayah arini? Ayah arini sudah meninggal karena sakit jantung sejak Arini masih berumur 5 tahun.
“Ma, tadi masa ya kan aku lagi pulang ada anak kecil berantem deket lapangan rw itu loh.”
“Hah? Anak mana?”
“Yang satu si aku pernah liat di lingkungan kita, nah yang satu aku belum pernah liat. Ada yang baru pindah ya ma?”
“Baru pindah? Ohhh iyaiyaa, ada ada. 1 keluarga dua-duanya sibuk sih orang tuanya, jadi anaknya masih 5 tahun tinggalnya bareng sama mbanya art gitu.”
“Iya kali yaa dia kali ya. Pantes aja gapernah liat.”
“Kenapa sih emang berantemnya?”
“Katanya sih gara gara yang anak baru itu ngambil mainannya si anak satunya, rebutan, berantem deh. Pas aku tanyain eh si anak baru malah kabur sambil ngelempar mainannya aja gitu.”
“Kenapa gitu ya?”
“Gatau juga deh, ma.”
***
Keesokan harinya, Minggu pagi
Arini yang sedang berjalan mengelilingi lingkungannya melihat anak yang kemarin baru pindah itu katanya di dekat lapangan sedang duduk di penpopo yang ada dekat situ. Arini akhirnya memutuskan untuk menghampirinya.
“Hai, kamu.”
Anak itu ingin kabur lagi, tapi segera ditahan oleh Arini. “Ehh, jangan kabur. Gapapa sini aja ngobrol sama kakak. Kakak gaada temen nih.”
Akhirnya anak itu menurut, mereka pun duduk berdampingan di pendopo tersebut.
“Nama kamu siapa? Nama kakak Arini.”
Anak itu hanya diam saja
“Kok diam aja si, kan kakak mau kenalan.”
“Yah sedih deh kakak dikacangin.” Ucap Arini dengan raut wajah dibuat sedih
“Gio.” Jawabnya sangat pelan
“Ha? Siapa? Kakak gabisa denger.”
“Gio.” Dengan suara yang lebih pelan
“Ohh Gio. Gio baru pindah disini ya?”
Gio pun menganggunk
“Gio ke pendopo ini sama siapa?”
“Sendiri.”
“Loh mama papanya mana?”
“Kerja.”
“Terus Gio di rumah sendiri?”
“Sama mba.”
“Nah, mbanya kemana?”
“Ke pasar, Gio kabur.”
Arini terkejut mendengarnya namun berusaha tenang
“Kakak boleh Tanya?”
Gio hanya menjawab dengan anggukan
“Anak yang kemarin itu… dia nakalin kamu?”
Gio langsung menoleh kepadanya, mungkin terkejut dengan pertanyaannya
“Cerita aja sama kakak, kakak ga akan marahin kamu kok.”
Gio menjawab dengan gelengan
“Tapi kamu betul ambil mainannya?”
“Iya.”
“Kenapa?”
Gio diam sejenak
“Gio iri.”
Arini menunggu Gio melanjutkan ucapannya
“Gio juga mau mainan kaya gitu, Gio selalu cuma dikasih uang uang dan uang, Gio gabutuh uang, Gio mau mainannya dan juga mau main sama mama papa, dia bisa beli mainan dan main sama mama papanya. Gio gabisa.” Gio bercerita sambil menangis
Arini yang melihatnya iba dan langsung memeluknya, Arini terkejut anak seusia Gio sudah mengalami dan merasakan hal seperti itu, Gio kesepian dan kurang kasih sayang. Mentalnya sudah diuji sejak Gio berusia 5 tahun, karena hal itu bahkan ia sampai mengambil barang yang bukan haknya.
“Gio, kakak ngerti pasti berat. Tapi, mengambil barang orang lain itu ga baik, kalo Gio kesepian main sama kakak ya, kakak siap kok menemani Gio selalu, tapi izin dulu sama mba ya jangan kabur. Udah Gio jangan sedih lagi.”
Akhirnya mereka melanjutkan obrolannya dengan gelak tawa dan kebahagian yang terlihat, dan tentu saja menjadi teman baik.
Nama: Dinda Putri Rahmawati
Instagram: dinpuut
Teka - teki Di Antara Kita by Ilham Maulana
Teka – teki Di Antara Kita
“Whooaaam, ngantuknya hari ini, kemarin abis nugas ampe jam pagi. Dan sekarang keadaan masih jam 10 malah di sekolahan lagi. Kapan sih cepet pulang!” geram Ijul saat jam istirahat.
***
Malam yang sunyi ditemani sang rembulan bintang yang setia membersamai. Ijul dan Tole duduk bersandar di teras rumah sambil mengobrol beberapa topik yang bisa terbilang tidak masuk akal.
“Bang, kamu punya pikiran gak kalo kamu jadi super hero kayak misal di mobile legends jadi Thamuz yang bisa ngebakar dirinya dan bisa ngebuat dirinya bukan mati tapi malah nambah kuat, atau seperti....” ucap Ijul yang terpotong abangnya.
“Ett, apa sih kamu, gini nih keabisan obat ngehalu mulu kerjaannya,” potong Tole.
“Apa sih bang, orang nanya serius juga,” cetus Ijul.
Begitulah perilaku Tole ke Ijul, mereka sering sekali bercanda, dan yang paling sering dilakukan oleh Tole yaitu menggelitiki adiknya. Namun, entah terlalu berlebihan atau memang kondisi adiknya yang sedang lemah saat itu Tole menggelitiki Ijul hingga ia tak sadarkan diri.
“Jul !!, Ijul !!, bangun jul !! kamu kenapa, jangan bercanda lah !!” cemas Tole.
Seketika seisi rumah pun terkejut karena keadaan Ijul. Situasi pun memanas karena Ibu langsung menampar Tole akibat kelakuannya yang tidak dapat ditolerir karena mengancam nyawa dari adiknya sendiri.
***
“Nak, ada apa denganmu ?, kok bisa kamu berada di sini ?” tanya seorang Bapak
“Saya tidak tau pak, saya rasa tadi masih bercanda dengan abang saya, kenapa saya tiba-tiba di sini ya ?” jawab Ijul sambil kebingungan.
“Oh, baiklah sini saya coba bantu kamu kembali , lasian tuh keluarga kamu menunggu” ucap seorang Bapak misterius tersebut.
“Ahahahahahahahah, gelii tidak !!, gelii hentikan !, hentikan !” teriak Ijul sembari bangun dari pingsannya selama seharian penuh.
“Ijul !!” teriak sang Ibu sambil menangis bahagia
“Jul, maafin abang ya udah berlebihan ke kamu. Abang janji gak pernah lakuin hal itu kembali ke kamu, maafin abang ya Jul,” ucap Bang Tole dengan penyesalan yang amat mendalam.
“Ibu, Abang, Ijul gak papa kok,” ucap Ijul sambil memeluk haru.
Malam telah berganti menjadi pagi, dan hari ini merupakan hari minggu. Kejadian kemarin merupakan hal yang sangat tidak terlupakan terutama untuk Tole. Seperti biasa di hari minggu Ijul dan Tole melakukan rutinitas yakni berlomba-lomba membereskan seisi rumah mulai dari membersihkan kamar mandi, kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan juga lingkungan rumah seperti taman dan juga teras rumah.
Tidak disangka, Tole sangat terkejut karena biasanya Ijul hampir tidak pernah bisa mengalahkan kemampuan membersihkan rumah, namun pada kali ini hanya hitungan detik Ijul bisa membersihkan tugasnya dengan baik dan sangat rapih.
“Eh jul, kok bisa sih ngalahin abang sampe abang kualahan gini,” cetus si Tole
“Hehe….,” jawab Ijul dengan sedikit tersenyum
***
“Ibu, aku berangkat ya,” ucap Ijul kepada Ibu.
“Oke, nak. Hati-hati ya, semangat !” jawab Ibu dengan penuh harapan.
Setelah berpamitan dengan Ibunya, Ijul pun melanjutkan perjalanan, dan diperjalanan melihat ada orang yang bertabrakan antara motor dan mobil. Dengan sesegera mungkin Ijul menggelitiki tubuhnya dan terjadilah pemutaran waktu mundur yang mengakibatkan mobil dan motor tersebut tidak terjadi tabrakan.
“Aaaaaaaaaaa,” teriak orang yang di mobil.
“Loh ?!, tadi bukannya kita sudah kecelekaan, eh kok bisa ?, apa mimpi ya ini, Astaghfirullah”.
***
Ijul kembali melanjutkan sekolahnya, dan semua orang menatap wajahnya dengan amat serius.
Entah apa yang dilihat teman-temannya yang jelas ada nyinyiran orang terdengar, bahwa Ijul berbeda dengan yang sebelumnya.
“Weh Ijul, beda banget lu Jul, abis ngapain selama liburan ?” ucap salah satu teman Ijul
“Wahhhh, mantep dah si Jul,” sahut temannya lagi.
“Apasih, orang gua biasa aja, apa yang beda” jawab Ijul dengan santai.
Tiba-tiba….
“Dug…..” Ijul terjatuh karena ada geng siswa jail yang sering membulinya.
“Haha, jangan belagu lu makannya” cetus sang geng siswa tersebut.
Sambil menggelitiki badannya, Ijul bangkit, dan tiba-tiba…
“ZzzzzzZZzzzzzZzzzzzz”
Geng siswa tersebut hangus bagaikan tersengat listrik yang entah darimana datangnya.
Entah darimana kekuatan itu darimana datangnya, yang jelas setelah Ijul pingsan semua itu pun dimulai. Dan sampai sekarang Ijul selalu melakukan hal tersebut apabila ada hal yang dirasa mengganggu dan butuh pertolongan.
Bersambung…
1. mobile legends : game moba online yang sedang hits yang memiliki beberapa tipe karakter di dalamnya
Ilham Maulana
Kimia 2020
Lentera by Azizah Nuraina Fatwaturrohmah
Lentera
Pagi tersambut hujan, membuat matahari tak mendapat kesempatan untuk menampakkan diri memberi sinar jingganya. Namun, bagi Syifa ini tak menyurutkan semangatnya untuk kembali berpetualang di dunia pedalaman. Syifa selain menjadi mahasiswa PGSD semester 5, ia juga seorang pengajar para anak-anak di daerah pedalaman. Tapi tidak selamanya menetap di satu tempat mengajar. Ia random mencari tempat sesuai kebutuhan anak-anak itu sendiri agar tidak tercipta rasa bosan. Syifa tidak sendiri, ia ditemani oleh dua orang temannya yang bernama Niko dan Kevin. Mereka bertiga sudah dekat semenjak awal-awal menjadi seorang calon mahasiswa baru. Dan hingga sekarang, mereka saling menjaga tali silaturahmi antara satu sama lain.
Syifa, Niko dan Kevin pagi itu berencana untuk mengadakan kegiatan mengajar di daerah hutan pinus yang lumayan jauh dari kampusnya. Karena tempatnya yang rindang dan sejuk, pastilah suasana ini akan membuat para anak didiknya menikmati dan mudah dalam menyerap pembelajaran. Mereka menyewa sebuah bus ⁄ untuk membawa anak-anak. Juga tak lupa mereka membawa makanan ringan yang tentu saja untuk dimakan bersama saat jam istirahat.
“Vin, anak-anak udah pada siap semua?” tanya Niko.
“Udah dong.”
Kevin mengatur anak-anak untuk berbaris dan memimpin mereka untuk berdoa sebelum melakukan perjalanan. “Oke semuanya sebelum kita berangkat, alangkah baiknya kita berdoa dulu agar selalu diberi keselamatan dan kelancaran. Berdoa dipersilakan.”
Semuanya tampak menunduk berdoa memohon kepada-Nya agar diberi keselamatan dan kelancaran dalam melakukan kegiatan. Baik dari mulai mereka berangkat hingga berakhirnya kegiatan.
“Oke selesai semuanya. Sekarang tinggal berangkat ya,” ujar Kevin.
Satu per satu mereka masuk ke dalam bus dengan tertib. Saat semua sudah dipastikan berada dalam bus, mereka segera berangkat menuju hutan pinus. Mereka bernyanyi-nyanyi gembira dalam perjalanan dengan iringan tepukan tangan, agar mereka tidak merasa bosan.
“Nah, kita udah sampai yah adik-adik,” ucap Syifa.
Anak-anak pun bersorak gembira. Mereka segera turun dari bus dan berjalan masuk menuju hutan pinus didampingi oleh Kevin, Niko dan Syifa.
Di dalam hutan, mereka merasa tenang dan sejuk dalam suasana hijaunya pepohonan. Ditambah lagi ada beberapa wahana seperti flying fox, jembatan kayu, jarring laba-laba dan rumah pohon. Rasa tidak sabar memenuhi benak para anak kecil. Namun di samping rasa tidak sabar, mereka juga memiliki rasa takut karena ketinggiannya.
“Adik-adik, disana ada beberapa permainan ya. Nah, sebelum kalian mencoba. Kakak mau mengajak kalian untuk kembali belajar dulu tentang materi yang akan kakak kasih. Setuju enggak nih?” tanya Niko.
“Setuju kak,” jawab anak-anak serentak.
Niko dan Syifa memberikan pengajaran kepada anak didiknya. Sedangkan Kevin mengambil dokumentasi yang dilakukan saat itu. Kegiatan mengajar terlihat sangat mudah dilakukan oleh Niko dan Syifa, juga mungkin terlihat mudah untuk dipahami oleh para anak didiknya. Tidak sia-sia mereka memilih tempat untuk menyebarkan ilmu.
Hawa sejuk masih menyelimuti area perhutanan. Dan semuanya tampak tenang menjalani kegiatannya. Niko dan Syifa masih mengawasi anak-anak yang tengah menulis.
“Nik, habis ini langsung aja atau gimana?” bisik Syifa.
“Iya boleh. Soalnya kita enggak akan lama juga kan?”
“Iya kasihan kalau kelamaan. Kalau gitu, biar aku konfirmasi ke Kevin dulu buat check wahananya,” ujar Syifa.
“Oke,” ucap Niko.
Syifa menghampiri Kevin yang tengah duduk di ayunan. “Kevin, tolong check wahananya dong aman atau enggak. Bisa kan?”
“Bisa kok,” jawab Kevin.
“Nah, itu baru Kevin ganteng. Haha.”
Kevin paham maksud yang dikatakan Syifa dan menunjukkan wajah konyol kepadanya. Mereka pun tertawa bersamaan.
Kegiatan belajar-mengajar hari itu diselesaikan, dan mereka melanjutkan kegiatan untuk bersenang-senang. Pertama, anak-anak di arahkan menuju wahana jembatan kayu. Hampir seluruh anak didik Syifa dan kawannya ini takut untuk mencoba wahana ini. Karena mereka takut akan ketinggiannya.
“Adik-adik, kita akan mencoba wahana ini yah. Nah, siapa yang berani mencoba duluan?” tanya Syifa.
Semua anak didiknya diam saja dan terlihat sangat takut untuk mencobanya. Namun, Niko mencoba untuk membujuk mereka dengan memberitahukan hadiah apa yang akan didapat oleh para anak didiknya jika mereka berani mencoba beberapa wahana di hutan pinus itu.
“Kakak punya cokelat banyak. Nah, siapa yang berani mencoba terlebih dahulu nanti akan kakak kasih cokelatnya,” bujuk Niko.
Anak-anak terlihat sangat bingung. Di sisi lain, mereka menginginkan cokelat itu. Tetapi mereka juga memikirkan akan ketakutan mereka.
“Kalian enggak mau nih?” tanya Niko sembari tersenyum dan menunjukkan cokelat yang digenggam tangannya.
Dengan keadaan yang dikatakan sedikit memaksa mereka, salah satu dari anak didik Syifa pun memberanikan diri untuk mencoba jembatan kayu. Namanya adalah Agus. Seorang anak yang seharusnya jika ia berada di sekolah dasar duduk di kelas 6. Namun keadaan ekonomi orang tuanya membuatnya tak bisa sekolah, sehingga ia mengikuti program sekolah terbuka yang diadakan oleh Syifa dan dua orang kawannya.
Agus melangkah penuh kehati-hatian di atas kayu-kayu yang melayang terhubung dengan banyak tali. Di ujung jembatan tampak Niko dan Kevin tengah menunggu Agus untuk menyeberangi jembatan itu. Dalam genggaman tangan Niko terdapat sebatang cokelat untuk Agus yang nantinya berhasil melewati tantangan ini.
Maksud mereka mengajak anak didik mereka mencoba wahana-wahana di hutan pinus itu untuk membangun mentalitas berani dari para anak tersebut. Supaya apa? Supaya mereka tidak takut jika suatu saat nanti mereka berhadapan dengan masalah yang dapat menyulitkan mereka. Dan juga mereka dapat mengambil keputusan yang terbaik kelak ketika sudah dewasa.
“Ayo Agus, kamu pasti bisa!” Syifa berusaha memberikan semangat pada Agus.
Ayo Agus…
Jangan takut, Gus…
Ucapan semangat pun saling bersahutan dari teman yang satu ke teman yang lain. Hingga Agus merasa tidak takut lagi, ia pun berhasil melewati tantangan menyeberangi jembatan kayu itu. Dan akhirnya, Agus benar-benar mendapatkan cokelat itu.
Setelah Agus menjadi yang pertama menyeberangi jembatan kayu, kemudian teman-temannya pun menyusul jejaknya Agus. Dan semua mulai tidak merasakan takut. Meski baru satu wahana yang mereka lalui.
“Semuanya, kita kumpul dulu disini,” teriak Syifa yang sedang berada di rumah pohon sembari melambaikan tangan.
Anak-anak itu pun berlarian. Niko dan Kevin yang mengerjarnya pun hingga kewalahan, karena mereka berlari dengan agak cepat.
Niko dan Kevin menjaga anak-anak yang menaiki tangga untuk menuju rumah pohon. Syifa sudah menyiapkan beberapa cemilan untuk dinikmati bersama-sama. Dan anak-anak pun satu per satu sudah mulai berdatangan dalam rumah pohon itu. Syifa yang tengah terduduk menanti kedatangan mereka pun tersenyum manis ketika mereka semua sudah berkumpul.
“Kakak udah nyiapin cemilan buat kalian semua. Dimakan yah, semoga kalian suka.” Syifa menyunggingkan senyumnya.
“Nah, sambil kita ngemil, kakak mau ngasih pertanyaan buat kalian,” ucap Kevin.
“Apa tuh kak?” tanya Bella, gadis berusia 12 tahun yang duduk di samping Syifa.
“Kira-kira ada yang tahu enggak nih tujuan kakak-kakak tadi ngajakin kalian buat mencoba jembatan kayu?” tanya Kevin.
“Supaya kita enggak takut ketinggian kak,” jawab Agus.
“Yap, betul. Itu salah satu tujuan kakak ngajakin kalian buat nyobain tadi. Tapi ada tujuan utamanya. Apa sih kak Niko?” Kevin melempar pertanyaan pada Niko yang tengah melihat-lihat gambar yang di ambil Kevin di kameranya.
“Oke. Jadi, tujuan kita sebenarnya itu untuk membangun mental keberanian kalian. Gimana supaya kalian menjadi berani dalam menghadapi beberapa masalah ke depannya. Gimana supaya kalian menjadi kuat menghadapi masalah itu. Dan bagaimana supaya kalian bisa mengambil solusi terbaiknya,” jelas Niko.
“Nah betul tuh kak Niko. Apalagi kita ini termasuk orang yang kurang, pasti di setiap saatnya ada masalahnya. Entah itu terkait biaya hidup, tempat tinggal, bahkan sebagai pengajar pun kakak juga terkadang bingung harus cari tempat dimana yang cocok untuk kalian. Supaya kalian enggak gampang bosan, supaya kalian kelihatan senang gitu. Jadi, pada intinya hari ini mengajarkan kita agar kita menjadi orang yang berani, tangguh, kuat dalam menjalani hidup. Kita enggak boleh menyerah, meski di belakang kita ada masa lalu yang mencoba menarik kita, di bawah kita ada jurang berisi duri tajam yang siap melukai kita disaat kita terjatuh, dan di depan kita ada masalah yang akan selalu datang. Ingat, kita punya Tuhan yang akan selalu membantu kita. Dalam setiap ibadah kita, ketika berdoa pasti didengar oleh-Nya,” sambung Syifa.
Mendengar penjelasan Niko dan Syifa, anak-anak itu pun merasa terharu dan amat sangat berterimakasih kepada Kevin, Niko dan Syifa. Dengan susah payah selama 2 bulan mereka mengadakan program sekolah terbuka ini. Ketiga orang ini amatlah berharap, setelah mereka melatih keberanian pada anak didiknya, anak-anak ini akan terbentuk dan tumbuh menjadi seseorang yang tangguh dan berani dalam hidupnya masing-masing. Dan juga, selama mereka mengajar dapat memberikan masa depan yang cerah bagi anak-anak tersebut yang dapat membanggakan keluarganya.
Hari ini berakhir dengan pelukan hangat di dalam rumah pohon. Semuanya segera pulang setelah kegiatan di kawasan hutan pinus itu selesai. Dan hari ini menjadi hari yang amat berharga bagi Kevin, Niko, Syifa maupun anak-anak itu. Terutama bagi ketiga sahabat yang seperti lentera, yang memiliki harapan yang terang untuk membangun masa depan bagi anak-anak pedalaman.
-Azizah Nuraina Fatwaturrohmah
@azizah_nuraina02
Belajar dari Kisah yang Telah Ada by Yunan Sari Lingga Buana
Belajar dari Kisah yang Telah Ada
Suara kicauan burung dari rekaman suara membuat minggu pagi bagi kedua insan
berbeda jenis tersebut menjadi damai. Kemudian salah satu dari mereka membawa sarapan ke
meja di ruang keluarga. Saat mereka akan menyantap hidangan tersebut, tiba-tiba terdengar
suara teriakan seorang gadis dari atas sana.
“Ayah, Ibu!” teriakan seorang gadis yang sedang berlari menghampiri kedua insan tersebut.
“Ayah, Ibu, lihat Manvi. Dia sudah berjanji padaku untuk mengembalikan buku kisah
Ramayana hari ini, tetapi dia tidak mengembalikannya. Lihat saja nanti, kamu akan dapat karma
karena tidak memenuhi janjimu itu.” adu gadis itu kesal dengan menunjuk sumber
kekesalannya. Tidak lama kemudian muncul gadis lainnya dan berucap,
“Berhentilah memanggilku Manvi, Kak Mila. Panggil aku Avi.” dengan penuh penekanan saat
menyebutkan namanya. “Untuk buku itu, sudah ku katakan padamu jika aku belum selesai
membacanya. Tunggu sampai aku selesai.” lanjutnya dengan nada yang tak kalah kesal.
Kedua insan tersebut yang tak lain adalah orang tua kedua gadis tersebut hanya dapat
tertawa melihat pertengkaran keduanya. Bagi mereka pertengkaran kecil ini sudah menjadi
makanan sehari-hari mereka, bahkan yang awalnya damai dan sunyi langsung berubah berisik
karena mereka. Gadis-gadis itu bernama Urmila Yasirah, sang kakak, dan Manvi Yasirah, sang
adik. Mila baru saja menginjak kelas 1 SMP dan Avi kelas 6 SD sehingga sangat wajar jika
mereka sering sekali bertengkar.
“Lihat Ibu anakmu itu, pagi-pagi sudah bertengkar saja.” ucap ayah sambil tertawa melihat
pertengkaran kedua putrinya.
“Anakmu juga itu Ayah.” tanggapan ibu dengan tertawa pula.
“Kalian ini memang senang sekali bertengkar setiap pagi, dan sekarang tentang buku
Ramayana. Ayo kalian duduk dahulu dan ceritakan pada kami apa yang sebenarnya terjadi.”
ucap ibu dengan geli.
Kemudian kedua gadis tersebut duduk dihadapan kedua orang tuanya dengan tatapan sebal satu
sama lain. Lalu mereka mulai menjelaskan apa yang terjadi.
“Ayah, Ibu, dua minggu yang lalu Avi meminjam buku Ramayana milikku, dan hari ini tepat
untuk mengembalikannya. Tetapi saat aku memintanya, dia tidak ingin memberikannya
padaku.” jelas Mila. Kemudian ayah meminta penjelasan dari Avi.
“Ayah, Ibu, aku sudah mengatakan alasannya pada kak Mila jika aku belum selesai
membacanya.” jelas Avi.
“Tetapi kamu sudah janji padaku akan mengembalikannya dua minggu setelahnya, dan jika
kamu belum selesai, kamu bisa melanjutkannya nanti. Lagipula aku pun belum selesai
membacanya saat kamu meminjam.” balas Mila dengan kesal.
“Itu salah kakak sendiri, mengapa meminjamkanku jika kakak belum selesai. Selain itu, kakak
kan tahu jika aku tidak suka membacanya setengah-setengah.” balas Avi tak kalah kesal.
“Jika aku tidak menuruti keinginanmu itu, aku yakin kamu akan terus merengek untuk
dipinjamkan. Jadi, Ayah, Ibu, apa aku salah jika menagih janjinya itu? Tidakkah seharusnya
Avi menepatinya kan?” balas Mila jengkel.
Setelahnya ayah membenarkan duduknya seraya berkata, “Baik, ayah mengerti
permasalahannya sekarang. Avi, sekarang ayah minta agar Avi segera mengembalikan bukunya
pada kakakmu!” perintah ayah kemudian. Mila tersenyum senang mendengarnya.
“Tetapi Ayah, aku ...” bantah Avi, namun tidak selesai karena ibu menatapnya tajam.
Kemudian ibu menghela napasnya sebelum berkata,
“Urmila, kamu tidak salah untuk menagih janji itu. Tetapi mintalah dengan baik-baik dan
berikan penjelasan kepada adikmu agar mengerti. Dan Manvi, tidak seharusnya kamu mengelak
untuk menepati janjimu itu, sayang.” ucap ibu dengam tersenyum kepada kedua putrinya.
Kedua gadis itu pun tertunduk diam dan hening sejenak hingga,
“Kalian mengatakan bahwa kalian sudah membaca cerita Ramayana bukan? Walau tidak
selesai.” perkataan ibu selanjutnya membuat Mila dan Avi menegakkan kepalanya.
“Iya Ibu.” ucap keduanya bersamaan dengan antusias.
“Kalau begitu kalian masih ingat tentang ayah Śrī Rāmā, Raja Daśaratha, yang terikat janji
kepada salah satu istrinya, Ratu Kaikeyī, tiga buah permohonan karena dahulu sang Ratu telah
menyelamatkan Raja pada suatu pertempuran?” tanya ibu.
“Iya Ibu, aku ingat. Aku telah menyelesaikan bab itu.” ujar Avi senang.
“Aku juga Ibu, dan aku masih ingat apa yang diminta oleh Ratu Kaikeyī saat itu. Aku bahkan
masih kesal dengan orang yang menghasut sang Ratu.” jawab Mila dengan nada kesal karena
mengingat bagian cerita itu.
Ayah yang mendengarnya pun bergabung dengan mencoba menguji ingatan kedua putrinya
tentang kisah itu.
“Memangnya Ratu Kaikeyī dihasut oleh siapa?” tanya ayah sembari tersenyum.
“Mantara!” jawab Mila dan Avi antusias.
“Mantara sangat jahat sekali Ayah. Padahal dia hanya pelayan, tetapi berani sekali untuk
menghasut seorang Ratu dari Ayodhya.” lanjut Avi.
“Itu benar Avi, mantara memang jahat. Maka dari itu jangan sampai Mila dan Avi bertindak
seperti yang dilakukan oleh Mantara. Menghasut itu perbuatan buruk dan dosa. Kalian
mengerti?” jelas ibu.
“Mengerti Ibu.” jawab keduanya bersamaan dengan senang.
Dari hal ini kita dapat melihat bagaimana kedua gadis yang tadinya bertengkar, tiba-tiba
menjadi akur dan antusias hanya karena sebuah cerita. Bagi kedua orang tua mereka, hal ini
sudah biasa terjadi. Anak-anak mereka sangat suka membaca dan mendengar suatu kisah zaman
dahulu.
“Tadi Mila mengatakan jika Mila tahu apa yang diminta Ratu Kaikeyī kepada Raja Daśaratha.
Apa itu?” tanya ibu kepada Mila.
Mila menjawab, “Ratu Kaikeyī meminta agar putranya, Bharata, diangkat menjadi Raja dan
mengasingkan Śrī Rāmā ke hutan selama 14 tahun.” ibu tersenyum mendengarnya, dan
bertanya kembali, “Lalu apa jawaban Raja Daśaratha, Avi?”
“Raja Daśaratha menolak permintaan tersebut. Namun karena terikat oleh janjinya tersebut,”
tiba-tiba Avi terdiam, dan yang lainnya masih menunggu kelanjutan cerita darinya, “karena
terikat oleh janjinya, dengan berat hati dan bujukan dari putranya, Śrī Rāmā, Raja Daśaratha
memenuhi permohonan itu.” lanjut Avi dan menundukkan kepalanya.
Ayah dan ibu tersenyum penuh arti mendengar bagian cerita itu dari Avi, begitupun dengan
Mila.
“Ada apa Avi?” tanya ayah dengan tersenyum.
“Ayah, Ibu, Kak Mila, maafkan aku. Seharusnya aku menepati janjiku dan tidak mengelaknya
seperti Raja Daśaratha. Tolong maafkan aku.” ucapnya dengan sedih dan akan menangis.
“Jangan menangis sayang. Sekarang Avi tau jika perbuatan Avi itu salah. Seperti Raja
Daśaratha, meskipun dia sangat menyayangi Śrī Rāmā namun karena janjinya maka dia harus
melepaskan puteranya ke hutan.” ucap ayah dengan lembut, “jadi segeralah kembalikan
bukunya pada kakakmu dan penuhi janjimu itu.”
Kemudian Avi bergegas ke kamarnya dan menyerahkan buku tersebut kepada kakaknya
sambil berkata, “Jika kakak sudah selesai membacanya, pinjamkan kepadaku lagi ya. Tetapi
kakak jangan membocorkan ceritanya padaku, aku baru selesai membaca sampai bagian Dewi
Sītā menginginkan seekor kijang.” dengan nada yang lucu sambil duduk kembali.
“Iya, nanti kalau sudah selesai aku berikan padamu.” balas Mila dengan tersenyum.
“Nah kalian harus selalu ingat, jika kalian telah berjanji akan sesuatu maka segeralah penuhi
janji itu dan jangan pernah mengelaknya. Mengerti?” nasihat ayah.
“Mengerti Ayah.” ucap mereka serempak.
“Dan ingat juga, jika kalian tidak memenuhi janji kalian maka di masa depan kalian akan
mengalami hal yang serupa dengan itu. Seperti itulah hukum karma, tindakan yang pernah kita
lakukan di masa lalu akan kita dapatkan hasilnya di masa depan.” nasihat ibu.
“Maka jadikan karma sebagai suatu pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari, karena
pengaruhnya itu sangat besar bagi kehidupan kita.” tambah ayah.
“Baik Ayah, Ibu.” ucap keduanya besama-sama dengan tersnyum.
“Seperti kematian Raja Daśaratha itu kan Bu?” tambah Mila.
“Iya benar sekali. Wah putri sulung ibu ini sangat pandai ya.” ucap sang ibu bangga.
“Ibu aku juga.” ujar Avi dengan merajuk.
“Iya sayang, Avi juga pandai.” ucap ayah sambil mengusap rambut anak bungsunya.
Tiba-tiba Mila bertanya, “Kalau begitu apa alasan Śrī Rāmā mau menerima keputusan Raja
Daśaratha untuk pergi mengasingkan diri ke hutan? Bahkan dia membujuk ayahnya itu untuk
menepati janjinya.”
“Putriku, disekolah pastinya kalian diajarkan untuk berbakti kepada agama dan juga orang tua.
Keputusan Śrī Rāmā ini tidak hanya untuk memenuhi janji ayahnya, namun juga sebagai bentuk
bakti kepada orang tuanya. Śrī Rāmā dengan tulus dan ikhlas menjalankan keputusan tersebut.”
jelas ayah dengan tersenyum.
“Lalu Ayah, bagaimana dengan ....”
Pembicaraan itu tidak berhenti begitu saja, namun terus berlanjut dengan pertanyaan-
pertanyaan yang terlontar dari Urmila dan Manvi. Sebenarnya minggu pagi ini tidak jauh
berbeda dengan hari minggu sebelumnya. Mereka akan bertanya dan mengatakan pemahaman
mereka terkait beberapa bagian dari buku yang telah mereka baca. Berbedanya hanya pada
cerita yang diangkat dan diawali pertengkaran, namun setelahnya mereka akan berbaikkan dan
bertanya ataupun bercerita seperti saat ini. Tidakkah keluarga mereka begitu hangat dan damai.
Nama : Yunan Sari Lingga Buana
Id Instagram : yunss_89
Nasihat by Tika Kurnia Amaliyah
Nasihat
“Nadeem!” suara Bu Alia memanggil. Aku maju ke depan kelas, mengambil kertas hasil
ulangan harian matematika. Kulipat kertas itu dan segera kembali ke tempat duduk. Gagal
lagi, gumamku. Ku lihat raut wajah gembira teman-teman di sekitarku. 100, 90, 85, 80. Dapat
ku lihat nilai-nilai itu dari secarik kertas yang mereka pamerkan ke sesamanya. Huft, tak
apalah, hasil ini berbanding lurus dengan usahaku. Ya, malam sebelum ulangan ini
dilaksanakan, aku hanya asyik menonton money heist, seri favoritku.
“Assalamualaikum bu, Nadeem pulang!” seruku sambil mengetuk pintu rumah. Seorang
wanita berumur 40 tahun membukakan pintu itu setelah beberapa kali aku ketuk. “Kok
tumben cepat pulangnya?” tanya wanita yang adalah ibuku itu. “Ada rapat guru, bu.” jawabku
sambil mencium tangannya. Segera ku naik ke lantai dua tempat kamarku berada. Hari ini
cukup melelahkan, pikirku. Aku hempaskan badanku ke benda empuk yang dibalut seprai
bergambar logo juventus itu. Sambil melepas rasa lelah dengan merebahkan tubuh, aku
menatap langit-langit kamarku yang berwarna putih polos. Ku ambil lipatan kertas yang ada
di tas dan ku buka tanpa mengubah posisi telentangku. Nilai 60 lagi, gumamku. Aku tidak
terlalu sedih dengan hasil itu, sebenarnya. Tetapi, melihat teman-teman lain dengan
bangganya memamerkan nilai tinggi di kelas sangat membuatku muak, ditambah lagi pujian
yang sangat dilebih-lebihkan dari Bu Alia kepada mereka. “Andai saja Bu Alia tahu
bagaimana cara mereka mendapatkan nilai-nilai haram itu,” gumamku, “Pasti Ia tak akan sudi
mengatakan hal-hal manis tersebut kepada mereka.” Ya, Sagar, Yogesh, Navid, dan Nihal
sudah langganan meyontek di setiap ulangan. Kuis, ulangan harian, ujian tengah semester,
bahkan dalam ujian akhir semester pun mereka tak takut menjalankan aksinya. Sebenarnya,
teman-teman sekelas sudah mengetahui hal ini, hanya saja tidak ada yang berani speak up dan
memilih untuk diam saja, mengingat orang tua mereka memegang posisi penting di sekolah
kami. Ini tahun kedua kami menjadi teman sekelas, dan siang itu aku merasa sudah sangat
muak dengan kelakuan mereka.
Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi, dan segera mengambil wudu sesaat setelah azan
berkumandang. Ku gelar sajadah di samping kasurku dan ku laksanakan salat asar. Setelah
selesai, ku panjatkan doa dengan khusyuk, “Ya Allah, mungkin hamba memang bukan siswa
yang rajin, apalagi pintar. Akan tetapi, hamba tidak pernah berbuat curang dalam pelaksanaan
ujian. Hamba selalu jujur, Ya Allah. Hamba selalu mengerjakannya dengan usaha sendiri.
Akan tetapi, seperti yang telah Engkau ketahui, ya Allah, ada beberapa teman hamba yang
berlaku curang, dan hal itu telah berlangsung lama. Hamba mohon kepada-Mu, ya Allah, mudahkan hamba dalam mengerjakan ujian sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan, ya
Allah. Hamba sudah muak melihat lirikan ejek dari mereka. Hamba sudah muak mendengar
ceramah Bu Alia yang terkesan merendahkan. Untuk pertama kalinya, hamba ingin sekali
merasakan rasanya mendapat nilai bagus. Hamba janji akan mulai rajin belajar, Ya Allah.
Hamba mohon kepada-Mu. Hanya Engkau-lah tempat hamba meminta segala sesuatu.
Perlihatkanlah keadilan-Mu, Ya Allah. Hamba tahu, tidak ada sebaik-baik keadilan,
melainkan keadilan-Mu. Hamba mohon, ya Allah. Hamba sangat merasa ini tidak adil bahwa
mereka, yang sama malasnya dengan hamba, mendapat nilai yang fantastis dengan cara yang
tidak benar. Hamba mohon, ya Allah, bantu hamba untuk menegakkan keadilan di kelas, ya
Allah, hamba mohon. Kabulkan doaku ini, ya Allah, Aamiin.” Ku usap kedua tangan ke wajah
dan langsung sujud dengan cukup lama. Sepertinya itu merupakan doa terpanjang yang
pernah ku panjantkan. Begitulah, sangat besar hasratku untuk menghentikan kecurangan
mereka.
Untuk pertama kalinya, ku duduk di meja belajar, ku buka buku pelajaran yang paling tidak
ku suka, yaitu matematika. Demi bisa membuktikan kepada semua orang bahwa aku bisa, aku
harus belajar dengan giat. Aku sangat-sangat fokus mempelajarinya hingga tertidur lelap pada
tengah malam.
“Nadeem!” teriakan ibuku yang ketiga kali sukses membangunkanku. Saat itu adalah kali
pertamaku bangun dengan perasaan riang. Sangat sulit dijelaskan bagaimana belajar
matematika sebelum tidur dapat membuatku senang saat bangun tidur. Aku pun segera
bangun dan bersiap berangkat ke sekolah.
Jam di gerbang menunjukkan pukul 06.15 saat ku melangkah masuk ke sekolah tercinta. Ku
berjalan dengan percaya diri disertai senyum yang merekah di wajahku. Aku duduk di tempat
duduk seperti biasa dan menunggu bel masuk berbunyi.
Jam pelajaran pertama hari itu adalah matematika. Bu Alia berjalan masuk kelas tepat setelah
bel dibunyikan. “Hari ini kita kuis, ya. Semua barang yang ada di meja kecuali alat tulis,
dimasukkan semua ke dalam tas.” Bu Alia memberi perintah. Entah ada angin apa yang
merasukiku saat itu, aku berdiri dan berkata, “Bu, agar tidak terjadi kecurangan, lebih baik
tasnya ditaruh di depan kelas saja. Dan untuk telepon genggam, saya sarankan untuk
dikumpulkan di meja Ibu saja agar tidak ada siswa yang sengaja menaruhnya di kantung
celana atau rok, bukannya di tas.” Bu Alia menggangguk sebagai tanda setuju. Siswa kelas
pun melakukan perintah Bu Alia yang didasarkan pada saranku tersebut. Dapat ku lihat jelas wajah Sagar, Yogesh, Navid, dan Nihal yang menatapku kesak. Ku balas mereka dengan
senyum.
Bu Alia membacakan soal-soal kuis. Senyuman puas terpancar di wajahku mendengar soal-
soal yang dibacakan tersebut sangat familiar karena telah ku pelajari sehari sebelumnya.
Sebaliknya, dapat ku lihat dengan jelas gerak-gerik 4 serangkai si raja curang tersebut.
Sepertinya kali ini mereka tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengerjakan kuis tersebut
seorang diri.
Dua hari setelahnya, aku melihat notifikasi whatsapp masuk yang berasal dari grup kelas. Ku
buka pesan tersebut dan betapa kagetnya aku membaca pesan yang dikirimkan Bu Alia di
grup tersebut. Bu Alia merupakan guru matematika sekaligus wali kelas kami sehingga kami
mempunyai grup yang juga beranggotakan beliau di dalamnya. Tanpa sadar, air mataku
menetes. Pesan yang dikirimkan Bu Alia ke grup kelas tersebut membuatku terharu. Pada
intinya, beliau menyampaikan dua poin. Yang pertama, beliau mengekspresikan
kekecewaannya kepada siswa yang selama ini dia puji-puji yang pada kenyataannya berbuat
curang. Sebelum mengirimkan pesan tersebut di grup, beliau ternyata telah menanyakan
tentang hal itu kepada pihak yang bersangkutan, yaitu 4 serangkai, untuk memastikan
dugaanya. Setelah berkali-kali ditekan, akhirnya mereka mengakui perbuatannya. Mereka
selalu menggunakan telepon genggam mereka untuk mencari jawaban dari soal ujian. Hal itu
sangat membuat Bu Alia terpukul.
Poin kedua yang disampaikan beliau adalah bahwa beliau mengapresiasi kejujuran siswanya.
Tangis bahagia semakin pecah ketika aku melihat nama Nadeem Maksoot Nagarji, yaitu nama
panjangku, disebut dalam pesan itu. Beliau berterima kasih atas saranku yang membuka
pikirannya. Selain itu, beliau juga menyebut bahwa aku lah yang mendapat nilai tertinggi di
kuis tersebut. Ya, siswa yang biasanya memperoleh 60, 50, 55, kini mendapat nilai 100. Siswa
yang dulu beliau remehkan, ternyata memiliki potensi yang saat itu belum terasah. Beliau tak
lupa meminta maaf atas kata dan perbuatan beliau yang mungkin menyakiti hati siswanya.
Sebagai akibat dari perbuatan curang 4 serangkai, mereka diberi hukuman skors selama satu
minggu. Tak kusangka hal tersebut mendapat respon positif dari teman-teman lain yang juga
muak dengaan tindakan curang 4 serangkai tetapi tidak berani untuk melawan.
Segera setelah ku selesai membaca, ku tunjukkan pesan tersebut kepada ibuku. Ia memelukku
erat seraya berkata, “Ibu bangga sama kamu, Nadeem. Kamu persis sekali seperti ayahmu.
Teruskan menjadi orang jujur ya, nak. Jangan pernah takut akan sesuatu selama kamu benar.
Selalu perjuangkan kebenaran, sesulit apapun itu. Jangan lupa untuk berdoa kepada Allah. Ibu mendengar saat kamu berdoa dua hari lalu. Ibu terharu, Ibu sangat bangga sama kamu. Dunia
ini keras, nak. Ingat pesan ibu, tetap perkuat mental dan spiritualmu. Hal itulah yang dapat
membuat kamu survive di dunia ini.”
Lima belas tahun kemudian, nasihat ibuku tersebut terbukti. Ia benar, dua hal itulah yang
mengantarku menuju kesuksesan hingga saat ini aku berhasil memimpin perusahaan ekspor
terbesar di Indonesia.
SELESAI.
Tika Kurnia Amaliyah
Langit yang Tak Sama by Mutiah
Langit yang Tak Sama
Aku berjalan memecah kesunyian malam dengan deru nafas dan helaan penat, kucoba
menelusuri jalan. Hatiku terasa sesak sedang fikirku, berkelana bagai tau bagaimana
menambah beban. Kini aku sampai dipersimpangan jalan yang tak jauh lagi akan
menghantarkanku ke sebuah tempat yang dinamakan rumah. Lucu bukan, disaat orang-orang
sangat ingin berpulang, aku justru sebaliknya. Disaat rumah bermakna hangat bagiku rumah
hanyalah sebuah tempat yang menyesakkan dengan penuh kenangan dan kepura-puraan. Ingin
rasanya berpulang ke tempat dimaana kau berada, kau yang pergi dan meninggalkanku.
“Assalamualaikum,” ucapku menunggu jawaban di depan pagar.
“Walaikumsalam, gimana tadi kuliahnya?” balas wanita paruh baya sibuk membukakan pagar
untukku.
“Seperti biasa, ibu kenapa belum tidur?” tanyaku padanya yang aku tahu ia sama lelahnya
denngan ku.
“Sebentar lagi tidur, kamu sudah makam belum? Kalau belum, makan dulu tadi ibu masak
buat kamu, jangan lupa bersih- bersih terus istirahat ya cantik,” ucapnya sembari mengelus
pelan pipiku.
“Iya, ibu juga tidur ya, istirahat,” balasku mengakhiri percakapan.
Ku hempaskan tubuhku ke ranjang, kutatap lekat langit- langit. Kembali terlintas raut
wajahnya, seorang wanita yang tak lagi muda, entah mengapa hatiku terasa sesak
menyaksikan serta mendengar segala kebohongan yang ada. Aku tahu bahwa semua tak baik-
baik saja, aku tahu ia pun lelah namun mencoba bertahan. Sudah tiga bulan sejak aku bekerja
paruh waktu di sebuah restorant, dan sudah 5 bulan sejak tragedi naas itu, tragedi dimana
mengubah kehidupanku dan juga ibuku.
“Rara kesayangan ayah tumben mandi,” ucap ayah usil menggodaku.
“Ihh ayah apasi, malu tau!” balasku jengkel.
“Ada apa si yah, suka iseng deh anaknya digangguin mulu,” ucap ibu menggelengkan kepala
akan tingkah ayahku.
“Bu, aku digangguin papah mulu nih,” ucapku lari kepelukan ibu meminta pembelaan.
“udah biarin aja ayahnya, kamu ikut ibu aja yuk sarapan,” ajak ibuku meninggalkan ayah.
“Jahat nih, masa ayah ga diajak?” ucap ayahku sembari mengejar kami.
Kring.... kring.... Kring... Kring...
Dering jam berhasil membangunkan sekaligus membawa diriku tersadar bahwa semua itu
hanyalah mimpi. Perlahan sesaat tersadar kurengkuh tubuhku, kucoba menahan tangisku
namun tanpa sadar setetes air mata terjatuh kepipiku. Sebuah mimpi yang amat kudamba
keberadaannya. Ya, ayahku yang telah lama kurindu, yang kini kehadirannya sangat aku dan
ibuku harapkan. Seorang laki-laki yang mampu mengubah hidup kami akan ketidak
hadirannya. Kucoba menahan diri, kuambil handuk mencoba melepas diri dengan guyuran air
dingin dipagi hari.
“Selamat pagi, ibu masak apa?” sapa ku melihat ibu sibuk di dapur.
“Tumben kamu bangun pagi banget, ini ibu lagi masak buat sarapan sebentar lagi masak
kok,” balasnya yang masih sibuk mengaduk masakan.
“Bu, nanti aku pulang malam lagi ya,” ucapku seraya mencicipi masakannya.
“Semenjak kepergian ayah kenapa kamu jadi suka pulang malam nak?” tanya ibu keheranan.
“Tugas kuliah aku numpuk bu, jadi mau gamau deh aku gini,” jawabku singkat berharap ibu
tak curiga,
“Yaudah, tapi jangan pulang malam banget ya,” ucap ibuku.
“Siap mamah cantik,” balasku memperlihatkan seyum indahku.
Sebenarnya aku tidak mau terus menerus berbohong tentang pekerjaan paruh waktuku kepada
ibu, namun bagaimana lagi hanya ini yang dapat kulakukan agar tidak menambah bebannya.
Apalagi selepas kepergian ayahku, ibuku sering jatuh sakit. Oleh karena itu aku harus bekerja
paling tidak untuk mencukupi kebutuhan ibu dan pengobatannya. Sebenarnya ibu pernah
curiga akan uang yang selalu kuberikan, hingga aku terpaksa berbohong bahwa itu merupakan
uang beasiswa yang kudapat. Aku terpaksa berbohong agar mamah mau menerima dan tidak
merasa sedih mengetahui bahwa kini aku harus bekerja untuk agar dapat mencukupi
kebutuhan kami.
“Sya, selesai ini kamu ada acara ga? Kerjain tugas bareng yuk,” ajak Rizka pada Syasya tepat
didepanku.
“ Rara, kamu ikut juga yuk,” ajaknya tepat sebelum aku pergi.
“Maaf Rizka, tapi aku ga ikut dulu ya,” balasku tak enak hati pada mereka.
“Oh iya gapapa kok,” jawab Rizka.
Ini, sudah bukan pertama kali aku menolak ajakan teman-temanku. Sebenarnya aku yang dulu
seorang wanita yang ceria dan suka berteman dengan siapa saja, terlebih lagi aku yang dulu
suka sekali mengikuti organisasi di kuliah. Namun semenjak kepergian ayahku, entah
mengapa aku lebih suka untuk menyendiri, belum lagi aku harus bekerja sehingga membuat
diriku semakin jauh dengan teman-teman. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk keluar dari
semua organisasi yang telah aku ikuti. Aku rasa mereka juga mengerti akan perubahan diri
dan sikapku setelah kepergian ayah, sebenarnya banyak dari mereka mecoba mendekati dan
berusaha memahamiku. Namun lagi- lagi aku mencoba menutup diri.
Kini aku sedang berjalan di sebuah persimpangan menuju tempatku bekerja. Tak lama saat
aku mengedarkan pandangan, mataku bertemu dengan seorang gadis berambut ikal panjang,
samar aku pun menyadari siapa dia, dengan cepat aku membalik berharap dia tak
menyadariku. Belum sempat aku berlari terdengar suara dengan riang memanggil namaku,
“Eh, Rara?! Rara!” sapanya dengan ceria.
Tak lama kemudian terdengar derap kaki menghampiri diriku. Aku berusaha meyakinkan
diriku bahwa tak apa untuk sekadar bertemu sapa, lagi pula aku dapat beralasan untuk
menyudahi nantinya. “Oh haii” ucapku canggung bersamaan dengan lambaianku padanya.
“Ganyangka banget bisa ketemu sama kamu, oh ya anak- anak kan lagi negrjain tugas
bersama, kamu ga ikut?” tanya Indri padaku.
“Oh itu aku ngga ikut, kebetulan aku memang ada urusan,” jawabku.
“Oh gitu, yaudah kalau gitu aku pergi dulu ya. Kamu juga kayaknya lagi buru- buru,” ucap
Indri padaku.
“Iya duluan ya, hati- hati Indri,” ucapku yang dibalas anggukan olehnya.
Aku bersyukur dalam hati dapat mengakhiri percakapan dengan cepat, aku tidak mau teman-
temanku mengetahui tentang pekerjaanku. Bukan karena malu tapi aku hanya takut nantinya
berita tersebut akan tersebar hingga ke telinga ibu. Aku merasa cukup aku yang menopang
beban ini dan ibuku tidak boleh lagi terluka.
Aku kembali berjalan menyusuri jalan yang setiap malam kulewati. Hari ini rumah makan
tempaku bekerja sangat ramai sampai tidak ada waktu untuk sekadar beristirahat. Namun
dibalik lelah ku, aku merasa senang paling tidak jika rumah makan ramai, nantinya aku akan
mendapat bonus. Kugenggam erat plastik ditanganku, sebuah plastik berisikan makanan dari
rumah makan. Tadi sebelum pulang kami diberikan bungkusan makanan untuk dibawa pulang
karena kami sudah bekerja keras. Aku berusaha berjalan secepat mungkin karena aku tahu ibu
pasti menungguku. Sesampainya di persimpangan jalan rumah, kulihat rumah dengan lampu
menyala, sesegera mungkin aku pulang tak enak hati mebiarkan ibu menungguku.
“Assalamualaikum,” ucapku, namun tak seperti biasa salam ku tak kunjung mendapat balasan.
Kubuka pagar dan kuketuk pintu, betapa terkejutnya aku mendapati pintuku tak lagi terkunci.
“Assalamualikum bu, ibu?” kucoba menahan gejolak dihatiku dan segala fikiran buruk yang
merasuk kedalam diriku. Kucoba menelusuri rumah namun tak kunjung aku menemukan ibu.
Kucoba menelfon ibu namun tak ada jawaban, hatiku sesak membayangkan apa yang terjadi.
Kuletakkan tas dan juga makanan yang kubawa di meja, akupun berlari mencoba bertanya
kepada para tetangga namun tidak ada satupun yang tau keberadaannya. Kaki ku lemas
memikirkan keberadaan ibuku. Kembali kutatap lekat foto keluarga kami yang terpajang di
ruang tamu. Air mata mengucur dari pipiku, entah mengapa aku merasa buntu. Aku tidak
dapat menemukan ibuku dan aku tidak tau bagaimana keadaannya. Hatiku sesak
membayangkan aku akan kehilangan dirinya seperti aku kehilangan ayahku dulu.
Drrt.. drrt...
Dengan cepat kuambil handphone ku berharap sebuah panggilan dari ibu, namun dahiku
mengernyit heran saat kulihat nama yang tertera adalah Indri temanku.
“Halo, Assalamualaikum,” ucapku pada Indri.
“Walaikumsalam. Ra, aku mau kasih tau kalo ibu kamu lagi sama aku. Sekarang aku sama
yang lain juga mau kesana. Jadi kamu jangan khawatir ya.” ucapnya disebrang telepon.
“Alhamdulillah, iya Ndri dari tadi aku bingung ibu ada dimana. Makasih ya aku tunggu di
rumah.” ucapku mengakhiri telepon.
Tak lama ku menunggu, sebuah ketukan pintu mengejutkanku. Segera aku berlari dengan
harap ibuku tak terluka. betapa terkejutnya aku, dihadapanku bukan hanya ibu dan Indri tetapi
semua teman kuliah dan teman-teman yang selama ini bersamaku berbagi pengalaman dan
kisah ada dihadapanku.
“Ra?” ucap Dimas menyadarkanku.
“Kalian, kenapa kalian semua kesini? Ibu aku dimana?” ucapku penuh tanya.
“Ibu kamu ada kok di mobil, sekarang kita masuk dulu ya. Ada yang mau kita omongin dan
jelasin.” ucap salah satu teman ku Indri dengan wajah merasa tak enak.
Kini kami semua sudah berkumpul diruang tamu, Ibu yang sedari tadi kucari kini berada
disampingku. Aku berusaha menenagkan pikiran entah mengapa aku merasa janggal dan
bingung akan keberadaan teman- temanku. Hingga akhirnya salah satu dari mereka membuka
suara berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
“Aku tau Ra kamu sekarang pasti bingung banget, jadi sebenarnya selama ini aku dan teman-
teman berusaha cari cara buat nolong kamu. Kita tau kamu terpukul atas kepergian ayah kamu
dan kita berusaha ngerti akan sikap kamu selama ini. Tapi Ra, kamu ga sendiri, kita semua
ada buat kamu. Selama ini aku dan yang lain tau kamu bekerja sambilan dan berusaha
menanggung beban semua ini sendiri,” ujar Indri.
“Jujur Ra, kita ga bisa diem aja dan berpura-pura ngga tau. Sampai akhirnya kita memutuskan
untuk diem-diem menghubungi ibu kamu dan menceritakan semua. Ra kamu harus tau kita
semua ada buat kamu jadi aku mohon jangan ngerasa sendiri, kita akan bantu kamu dan
masalah ayah kamu, kamu harus ikhlas Ra. Aku tau memang berat tapi ini semua yang
terbaik.” ucap Indri menahan tangisnya.
Pertahanan ku hancur, kini aku terisak dalam. Tak mampu kumenahan beban yang ada, entah
mengapa ucapan Indri dan keberadaan yang lain mengahangatkan hatiku. Membuat ku
tersadar bahwa aku tak sendiri, bahwa aku tak perlu berusaha kuat menahan segalanya.
“Maaf, maaf aku egois, maaf aku berusaha menjauh dan merasa kuat buat semuanya,” uacpku
terisak dalam.
Kurasakan sentuhan hangat menyentuh punggungku, tak lama kurasakan rengkuhan ibuku,
teramat dalam hingga membuatku luluh. Tangisku tak lagi sesak, kini segala bebanku
mengalir bersama tangisku. Membuat ku sadar akan siksa yang selama ini menjeratku.
Hari berlalu tak terasa, sudah tujuh hari semenjak kejadian malam itu. Kini aku menjalani
hariku yang dulu. Diriku yang ceria dan penuh akan tawa ria. Kini akupun mulai kembali
berorganisasi seperti dulu meskipun aku masih harus tetap membagi waktu dengan
pekerjaanku. Berkat kejadian kemarin aku mengerti, ada kalanya langit biru menakuti,
kicauan pagi hari tak lagi dinanti. Cerahnya langit dan sinar mentari hanya menyesakkan diri
ketika seorang yang teramat berarti pergi, Ketika itu terjadi kunci terbaik hanya diri sendiri.
“Ra, yuk pulang. Udah mau malem.” Indri mengingatkanku.
“Iya,” jawabku. “Aku pulang dulu ya, yah,” ucapku pada ayah yang beristirahat tenang
dibawah timbunan dan rerumputan tanah.
Ayah, aku sudah mengikhlaskan mu. Kau tau, aku beruntung bersama mereka yang selalu
disampingku. Beristirahatlah yang tenang disana. Aku percaya yang maha kuasa mencintaimu
melebihi diriku.
--------------------------------------------------SELESAI--------------------------------------------------
Nama : Mutiah
ID Instagram : @mutiahsiregar
Arif Tidak Selalu Bijaksana by Mulyana
ARIF TIDAK SELALU BIJAKSANA
Malam itu bulan nampak malu tuk menyinari bumi yang diselumuti awan gelap nan
kelabu. Desir angin yang dingin seakan menusuk kulit dengan tajamnya. Kilatan petir dan suara
guruh menambah kesunyian malam. Mungkin tak lama lagi hujan kan turun.
Aku berdiri di jalan setapak yang gelap nan sunyi. Hanya ditemani senter kecil yang
kuambil laci kamar ibuku. Aku sengaja pergi dari rumah karena aku begitu kesal atas apa yang
ayahku lakukan. Tiga puluh menit yang lalu, aku tengah menekan-nekan layar kecil berbetuk
persegi panjang di kamarku. Entah mengapa tiba-tiba ayah mengambil handphone dari tanganku.
Yang kuingat kala itu jam menunjukan pukul 6 sore.
“Cepat mandi, ayo kita sholat berjamaah!!!” teriak ayah.
Aku berusaha untuk mengambil handphone-ku kembali. “Bentar dulu yah, game-nya
belum abis.” Aku memohon.
“Liat kakakmu, Kahfi sudah berdiri lama di sana menunggumu.” Mata ayah sudah
memerah dan tangannya sudah mengepal.
“Iya aku tahu, tapi bentar lagi.” Aku masih berusaha.
“Nggak boleh, pokoknya ayo kita sholat.” Ayah kali ini sudah benar-benar marah.
“Nggak mau siniin Hp nya.” Aku mulai kesal juga. Owh ya FYI hubungan aku dan ayahku
sedikit renggang. Kami sering kali bertengkar karena masalah sepele. Hal ini berbeda dengan
kakakku. Dia berbeda lima tahun dariku, mungkin karena itulah dia selalu menuruti perkataan
ayah dan akhirnya mereka akrab.
“SHOLAT, PAKKKKK.” Suara yang terdengar keras itu berasal dari tangan ayah yang
mengenai wajahku. Jujur sangat sakit namun tetap aku membangkangnya. Ini tamparan yang
sering aku terima. Kemudian aku keluar dari kamar meninggalkan ayah yang entah apa yang
dipikirkannya.
Di depan pintu aku lihat kakak dengan balutan koko putih dan berpeci hitam yang aku
kira berdiri selama aku main game tadi. Mungkin tiga puluh menit atau bahkan lebih. Wajahnya
yang polos dan terlihat sangat baik seakan-akan mengatakan jangan pergi. Namun aku balas
dengan tatapan yang berartikan maaf kak, aku harus keluar sebentar.
Oh ya, namaku Arif. Muhammad Arif. Mungkin kala itu orang tuaku ingin aku menjadi
orang yang bijaksana (Arif dalam Bahasa Arab berarti bijaksana). Namun saat ini aku rasa aku
bukan orang seperti itu. Dari aku kecil sampai sekarang aku rasa ayah lebih menyayangi kakak
dari padaku. Makanya aku selalu membangkang perkataannya. Dan menurutku itu adalah bentuk
dari rasa protesku. Kali ini aku berencana untuk menginap di rumah temanku.
Sudah tiga hari aku menginap, begitu sangat membosankan. Dan sialnya HP-ku masih di
tangan ayah saat aku pergi dari rumah. Sudah puluhan kali kakak menelepon dan mengirim pesan
singkat lewat temanku, namun tak pernah aku angkat maupun balas. Saat itu aku masih kesal,
namun entah mengapa aku ingin pulang, mungkin aku rindu rumah.
Ketika aku hendak pulang, temanku yang rumahnya aku inapi mengajak aku ke tempat
tongkrongan. Dan aku pun ikut, sebelum pulang aku harus fresh dulu pikir ku. Namun entah
mengapa pikiranku masih rindu rumah, haruskan aku pulang saat ini? ah kalau di rumah paling
aku ditampar lagi sama ayah. Aku ingat ketika aku berumur 8 tahun, aku dihukum oleh ayah
untuk mengapal 2 juz Al-Qur’an karena aku mengambil uang mushola yang kugunakan untuk
main warnet. Ketika aku berumur 12 tahun aku dihukum tidur di mushola selama 3 hari berturut-
turut. Kala itu aku ketahuan mengintip santriawati di kamar mandi. Dan yang terakhir ketika
umur 15 tahun aku ditampar untuk pertama kalinya karena menyebarkan poto Kak Kahfi yang
sedang mandi tanpa pakaian apapun ke sosial media Twitter yang menyebabkannya viral.
Ah pokoknya aku harus pulang pikirku, ketika aku hendak pergi, teman tongkronganku
menepuk pundak untuk tetap duduk. Kala itu mereka mengajakku untuk minum (minuman
keras). Jujur senakal-nakalnya aku, aku tidak pernah terpikirkan untuk meminum barang haram
tersebut. Botol demi botol itu mulai dibuka, dan dituangkanlah air yang berada di dalamnya ke
gelas-gelas kecil. Semua temanku sudah memegang satu-satu, hanya aku saja yang belum. Aku
menggelengkan kepala menandakan tidak mau. Namun mereka malah tertawa meremehkan.
Sungguh aku merasa tersinggung. Akhirnya tanpa sadar tanganku sudah memegang gelas kecil
itu dan segera kuteguk cairan yang ada di dalamnya.
Sungguh minuman yang sangat menyegarkan. Dan mungkin mulai sekarang ini adalah
minuman favoritku. Tanpa sadar dibantu dengan bisikan setan gelas demi gelas aku minum. Ah
pikiranku seakan melayang, mataku memerah dan rasanya manis. Mungkin rasa itulah yang
sekarang tergambar di pikiranku yang membuatku mabuk tak sadarkan diri.
Jam alarm berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tanganku berbunyi
menandakan sudah pukul 6 pagi. Aku buka mata sedikit demi sedikit. Kepalaku sakit, sangat
sakit. Aku tengok sekelilingku, aku sendiri, tidur di depan ruko yang saat ini belum buka. Sial
aku ingat kejadian semalam. Ternyata aku mabuk.
Akhirnya aku berjalan dengan kepala yang masih sakit. Setelah 30 menit aku sampai di
gerbang pesantren milik ayahku. Namun kenapa orang-orang di jalan menatapku aneh. Bahkan
sampai sekarang, banyak santri yang menatapku. Aku teruskan berjalan sampai ke rumah. Aku
lihat rumah begitu sepi, kemana ayah yang selalu duduk di depan menunggu jadwal mengajar,
kemana ibu yang selalu menyapu dan menungguku di depan rumah, dan kak Kahfi yang selalu
menyambutku dengan hangat ketika aku pulang dari kaburku. Kemana mereka semua?
Jujur hatiku saat ini sangat khawatir dengan mereka semua. Kuberani kan tanganku tuk
membuka pintu. Krekk, suara pintu menyambutku. Aneh, kenapa ada paman duduk di ruang
tamu? Bukankah dia ada luar negeri? Kak Kahfi juga kenapa matanya memerah? Tidak mungkin
bukan kalau dia habis minum sepertiku?
“Akhirnya kau pulang juga?” Paman angkat suara. Dia berdiri dan berjalan ke arahku.
Tatapannya sama kejamnya dengan ayah. Mematikan.
“Kenapa?” aku bertanya kebingungan.
“Kamu tahu Rif....” suara paman terhenti oleh kak Kahfi. Tapi kenapa dia marah?
“Kamu makan dulu Rif, kakak udah nyiapin sarapan di dapur.” ujar kakak tak pernah
berubah. Selalu khawatir denganku.
“Cukup Kahfi, Arif kamu dari mana saja akhir-akhir ini?” tangannya mengepal persis
dengan ayah.
“Aku pergi bentar.”
“Udah paman, Rif ayo kita sarapan.” Kakak menarik tanganku namun dihentikan oleh
paman.
“Kahfi berhenti, anak tak tau diri harus tahu.”
“Tahu apa kak?” tangan kakak semakin erat memegangiku.
“Gara-gara anak sialan seperti lu Rif, kakak gua meninggal. Ayah lu.”
Perkataan paman seperti petir di tengah hari. Aku berdiri kaku. Seperti ada batu besar
yang menimpa dadaku. Sangat sesak. Aku lihat air mata kak Kahfi sudah tak terbendung yang
menandakan ia sangat sedih. Tunggu kenapa aku sangat sedih juga, bukankah aku sangat
membenci ayah.
Air mataku bagai hujan turun. Bibirku diam seribu bahasa. Kenapa mendegar kata paman
begitu menyakitkan? Apakah aku sudah tidak membenci ayah? Atau bahkan emang tidak pernah
membencinya?
“Di...mana ayah kak?” suaraku yang bergetar.
Kak Kahfi tak bergeming. Ia hanya menarik tanganku keluar. Meninggalkan paman
dengan amarahnya. Tak tahu pasti ia tetap membawaku ke suatu tempat. Jalan setapak tempo
hari kini ku lewati lagi. Namun kali ini aku di temani kakak. Cukup jauh kami berjalan dan
semakin tidak enak perasaanku.
Kami berhenti di sebuah gundukan tanah merah yang baru saja ditaburi oleh potongan
bunga. Terlihat gundukan lainnya yang telah usang di tumbuhi rerumputan liar. Di sekeliling
kami tengah berdiri pohon-pohon tua yang mungkin ada sebelum aku lahir.
Aku lihat air mata kakak yang turun bagaikan hujan. “Aku sudah menepati janjiku yah.
Aku sudah membawa anak yang telah ayah tunggu, untuk menemui ayah. Namun aku sangat
menyesal tidak membawanya sebelum ayah pergi. Ayah baik-baik disana ya.”
Apa yang aku denger itu. Ini adalah ayah, tidak, tidak mungkin. Baru kemarin ayah
bertengkar denganku. Aku masih dapat merasakan tamparannya gara-gara kenakalanku. Apa
yang sudah aku perbuat untuknya.
Tubuhku lemas bak tak bertulang. Kupeluk makam yang penuh tanah ini. Air mata yang
entah kapan mulai deras. Aku sangat menyesal yah. Aku sangat menyesal.
“Kamu tahu Rif, ayah terjatuh selepas kamu pergi. Kami membawanya ke rumah sakit.
Sekitar satu hari kami di sana, dan saat itu pula ayah selalu memanggil namamu. Sejak saat itu
aku mencarimu kemana-kemana. Telpon tak pernah diangkat, chat gak pernah dibales. Sampai-
sampai aku nyarimu ke kota sebelah karena aku tahu punya teman di sana. Oh ya aku sangat
terkejut saat dokter mengatakan ayah terkena kanker darah sejak 5 tahun lalu. Selama ini beliau
menyembunyikannya dari kita. Makanya akhir-akhir ini beliau keras kepada kita untuk serius
dalam hidup. Sholat yang rajin, ngaji yang bener, pokoknya beliau mendidik kita supaya kita bisa
menjadi orang yang sholeh baik mental maupun spiritual. Ayah sering sekali marah sama kamu,
tapi itu belum ada apa-apanya. Dulu kakak pernah di pukul, di suruh bersihin WC setiap pagi,
bahkan yang paling kakak inget dulu ayah pernah botakin kakak di asrama. Kamu terlalu kecil
untuk ingat hal itu. tapi kamu tahu, ayah itu sangat sayang sama kita. Ketika kamu di suruh hapal
2 Juz itu karena beliau ingin kamu jadi imam dan melapalkan surat-surat tersebut. Ketika kamu
tidur di masjid beliau tidur di luarnya agar kamu tak apa-apa. Dan untuk tamparan itu beliau
gunakan karena kita sudah kelewat batas Rif.”
Apa yang aku lakukan selama ini untuk ayah, betapa durhakanya aku, Ya Allah. Sering
banget aku banting pintu depan ayah, pecahin gelas dengan sengaja atau membentak ayah jika
keinginanku tidak dikabulkan. Ampuni aku Ya Allah.
“Ayah menitipkan ini buat kamu?” aku berbalik ke kak Kahfi yang sudah menyodorkan
selempar kertas yang masih baru.
Untuk anak bungsuku,
Yang tersayang
Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarukatuh
Anakku yang ayah sangat cintai, 18 tahun yang lalu suara tangisanmu pecah seiring
dengan tangis haru biru ayah, ibu dan kakakmu. Kamu dilahirkan dengan kodisi sehat wal afiat
tanpa cacat setitik pun. Ayah melihat perjuangan ibumu yang penuh menahan beban yang
semoga kelak ia akan berbuah nyata. Dan Alhamdulillah kami mempunyai anggota keluarga
yang kecil nan imut yang ayah berinama Muhammad Arif. Harapan ayah semoga kamu selalu
bijak dalam mengambil keputusan apapun. Seiring dengan waktu anak kecil tersebut tumbuh
dengan baik dan selalu gembira. Anak yang membuat ayah selalu bersemangat dalam bekerja.
Ayah tahu cara ajar keras, kaku dan harus tersusun. Karena ayah ingin kamu lebih baik
daripada ayah. Ayah mengajarmu dengan keras karena ayah tahu kamu sering bermasalah di
sekolah entah karena rokok, iseng ke perempuan bahkan tauran. Ayah tidak mau kamu seperti
itu nak. Karena ayah sayang kamu makanya kamu ayah didik dengan benar. Namun kamu selalu
beranggapan ayah pilih kasih. Tidak nak. Ayah sayang kalian semua. Tak pernah membedakan
kalian.
Di hari ayah nampar kamu, ayah sangat merasa bersalah. Walaupun ayah menampar
kamu sangat lemah lembut, ayah tahu kamu pasti sakit hati. Ayah gak pernah sedikitpun terpikir
untuk menyakitimu. Alasan ayah adalah karena ayah liat setiap jam sholat kamu selalu asik
dengan Hp mu itu. Sering ayah katakan padamu untuk sholat nak, tapi kamu selalu lebih galak
dari ayah. Tapi ayah sama sekali tidak menaruh dendam kepadamu. Ayah sangat
menyanyangimu.
Di hari ayah di rumah sakit saat napas ayah sudah di ujung, ayah tulis untaian kata yang
ayah ingin sampaikan kepadamu. Kakakmu sudah berusaha meneleponmu ratusan kali, bahkan
dia rela jalan kaki ke rumah teman-temanmu, namun ia tak bertemu denganmu. Ayah mengerti
kamu masih marah.
Harapan ayah adalah kamu harus menjadi orang yang yang lebih baik lagi, rajin sholat
dan selalu menjaga kakak dan ibumu. Kamu harus tahu kakakmu punya penyakit seperti ayah.
Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarukatuh
Tertanda,
Ayah
NAMA : MULYANA
IG : ikahfi_17
Kenangan untuk Anak-Anak by Muhammad Zhafran Bahij
Kenangan untuk Anak-Anak
Anak-anak merupakan seseorang yang akan menjadi remaja. Remaja adalah seseorang
yang akan menjadi pemuda. Lalu, pemuda adalah seseorang yang akan membawa perubahan
pada bangsa ini baik secara positif maupun negatif. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa
anak-anak akan membawa perubahan pada bangsa ini. Setidaknya itulah menurut pemikiranku.
Di awal hari yang agak mendung ini, aku sedang bersantai sambil scrolling1
instagram2
untuk mencari kegiatan yang menarik. Tiba-tiba, aku melihat postingan yang menarik sehingga
tanpa ragu aku langsung melakukan bookmark3
postingan tersebut. Kegiatan yang akan
kulakukan kali ini adalah kegiatan yang berhubungan dengan anak-anak. Kegiatan tersebut
diadakan dalam rangka Hari Anak Nasional yang diadakan pada tanggal 20 Juni 2020. Namun,
adanya pandemi membuat kegiatan ini dilaksanakan via zoom4
. Dalam postingan tersebut
dijelaskan bahwa mereka sedang mencari relawan yang berdomisili di sekitar Jakarta. Tanpa
berpikir panjang, aku membuka kalendar di aplikasi ponsel pintar lalu menandainya agar tidak
lupa.
Aku selalu membuat perencanaan dalam kehidupanku sejak masih kanak-kanak. Orang
tuaku mengajarkanku betapa pentingnya rencana jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang. Waktu aku masih berusia lima tahun, aku merasa itu hanyalah hal yang tidak penting.
Namun, setelah beberapa tahun menjalaninya, akhirnya aku mengerti apa pentingnya suatu
perencanaan. Apapun yang kulakukan saat ini adalah hasil dari perencanaanku di masa lalu dan
hal yang ingin diwujudkan di masa depan.
Selain itu, aku dididik dengan menerapkan prinsip reward5
dan punishment6
dalam
setiap hal sampai saat ini. Hadiah yang diberikan saat masih kecil biasanya adalah mainan,
sedangkan semasa SMP sampai sekarang hadiahnya adalah uang tergantung dari tingkat kesulitan
hal tersebut. Hukuman yang diberikan biasanya hukuman yang ringan tetapi konsisten.
Contohnya saat aku melakukan ulangan semasa SMA, setiap kali remedial hukuman yang
diberikan adalah menyetrika pakaian satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang adik
laki-laki selama empat hari. Namun, jika ketahuan melakukannya dengan cara pergi ke laundry,
1 Kegiatan menggerakkan layar dari atas ke bawah ataupun sebaliknya.
2 Salah satu media sosial
3 Menandai
4 Salah satu media konferensi daring
5 Hadiah
6 Hukuman
uang jajanku akan dipotong menjadi seribu rupiah selama empat hari. Sedangkan, jika tidak
remedial, uang jajanku akan dinaikkan dua kali lipat selama beberapa hari tergantung dari jumlah
ulangan yang tidak remedial. Jika aku tidak remedial sebanyak sepuluh kali, uang jajanku akan
menjadi dua kali lipat selama sepuluh hari.
Salah satu prinsip hidupku yang kutanamkan mungkin tidak sekuat tokoh utama pada
komik dan film. Prinsip hidupku adalah “jadilah manusia yang berguna, tetapi jangan lupa
sayangi dirimu sendiri”. Penjelasan dari prinsip tersebut adalah aku sangat dianjurkan menjadi
manusia yang membawa kebermanfaatan selama tidak membuat diri sendiri menderita.
Pendaftaran dan seleksinya diadakan bersamaan sampai sebulan sebelum Hari Anak
Nasional. Proses pendaftarannya cukup mudah dan tidak perlu mengeluarkan biaya, tetapi
seleksinya pasti tidak semudah itu. Tinggal tiga hari lagi sebelum waktu pendaftaran selesai.
Dalam waktu yang singkat itu, aku harus bisa mempersiapkan diri.
Tiga hari telah berlalu, dihadapanku terdapat seseorang yang berada di balik layar laptop.
Pertanyaan yang dilontarkan hampir mirip dengan yang ditanyakan oleh orang-orang pada
umumnya seperti seorang pewawancara yang bertanya kepada calon panitia. Aku bisa menjawab
semua pertanyaan dengan lancar tanpa gagap sedikitpun.
Setelah lulus seleksi, aku dimasukkan ke grup panitia yang ternyata berjumlah sepuluh
orang saja. Namun, setelah kubaca baik-baik judul grupnya, aku dimasukkan ke grup sebelas
yang berarti bisa dibayangkan jumlah grupnya cukup banyak. Jabatanku adalah menjadi bagian
publikasi dan dokumentasi karena itulah bagian favoritku ketika menjadi panitia di suatu acara.
Intinya tugasku adalah yang membuat kerangka logo menjadi logo, lalu membuat postingan di
media sosial mengenai acara ini dan terakhir mendokumentasikan saat rapat dan juga acara.
Seperti biasa, isi dari chat grup saat hari pertama adalah kata-kata perkenalan diri dan
saling menyapa antara satu anggota dengan anggota yang lain. Aktivitas ini membuat ponse
pintarku bergetar cukup lama karena banyaknya notifikasi. Mau tidak mau, Ritual ini harus
kuikuti agar bisa menjadi bagian dari mereka. Alasanku mengikutinya adalah hanya keinginan
sederhana, yaitu menunjukkan identitas diri. Menurutku, seseorang tidak akan dikenal sebelum
dia mengenalkan dirinya sendiri. Informasi diri dan gaya komunikasi yang dikeluarkan dapat
memperlihatkan sedikit sifat dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, aku pernah diingatkan oleh
ayahku mengenai hal ini.
Ayahku mengajariku cara chatting7
di suatu media sosial. Pada awalnya aku berpikir cara
tersebut tidak sesuai dengan diri sendiri karena sesuai dengan kata-kata tokoh utama di film, yaitu
“jadilah diri sendiri”. Ayahku membalaskan kata-kataku dengan cepat “Kalau begitu, apakah
tokoh antagonis harus menjadi diri sendiri? Apakah dia tidak perlu diceramahi oleh tokoh
utama?” Setiap film yang aku tonton, tidak ada tokoh antagonis yang mengatakan “jadilah diri
sendiri”. Mengapa demikian? Bukankah tokoh-tokoh antagonis juga memiliki hak untuk
mengatakan hal tersebut?
Ayah melihatku dengan tersenyum sambil menatap dirku yang dipenuhi dengan
kebingungan. Ayahku lalu berkata “Seseorang pernah berkata bahwa jadilah versi terbaik dari
diri sendiri.” Kata-kata yang ayah sampaikan kepadaku mirip seperti kata-kata yang pernah
kubaca di buku peninggalan ayah yang tersimpan di perpustakaan pribadi miliknya.
Setiap film yang pernah aku tonton, beberapa diantaranya membuatku tersadar bahwa
lawanku adalah diriku sendiri. Apakah aku bisa mengalahkan diriku yang sekarang ini? Ataukah
aku justru dikalahkan oleh diriku di masa lalu? Semua jawaban tersebut hanya bisa dipahami oleh
diriku sendiri.
Akibat melamun, aku tiba-tiba tertidur sekitar dua puluh menit. Waktuku terbuang sia-sia
untuk melamunkan hal di masa lalu atau mungkin ini adalah kesempatan yang baik bagiku untuk
mengingat kata-kata keren itu.
Dua minggu sebelum Hari Anak Nasional, aku diajak mabar8
oleh adikku yang bernama
Zwei Isnain. Berhubung semua tugas telah aku rencanakan, inilah waktu yang tepat untuk mabar
dengannya. Tiga tahun yang lalu, Adikku dan aku sering diajak bermain game9
terutama game
moba10 dan battle royal11 bersama dengan ayah. Aku tidak pernah tahu mengapa ayahku sangat
jago bermain game , padahal usianya sudah mencapai kepala lima. Orang yang bisa mengalahkan
ayahku hanyalah adikku seorang saja. Adikku sangat ahli dalam memainkan game tersebut,
bahkan pernah mengikuti kejuaraan nasional, tetapi belum pernah memenangkannya. Biasanya
ditengah game , kadang suka kepikiran, “bukankah memainkan game hanyalah membuang-buang
waktu saja?”
7 bicara
8 Main bareng/ main bersama
9 Bisa diartikan sebagai permainan, tetapi mengalami penyempitan makna sehingga hanya permaian elektronik yang
dianggap game
10 Multiplayer Online Battle Arena ̧ salah satu contoh game-nya adalah mobile legend bang bang
11 Sebuah gameplay di mana banyak pemain dikumpulkan dalam satu tempat. Pemain terakhir yang masih hidup
adalah yang menang. Contohnya PUBG
Setelah kami bertiga bermain game, aku mulai diajak berbicara dengan ayah di kamar
pribadinya. “Peformamu dalam game ternyata tidak sebagus dalam akademikmu.” Kata Ayahku
dengan agak santai. “Maaf, yah! Karena ini game, kupikir tidak begitu penting.” Jawabku sambil
agak tertawa. Mendengar jawabanku, ayahku tertawa. Aku yang tidak tahu harus bereaksi apa
hanya bisa tertawa kecil saja.
Ayahku kemudian berkata “Menurutmu game itu tidaklah penting. Tapi menurut ayah,
game itu sangat penting.” Jika kupikirkan baik-baik, pekerjaan ayahku tidak ada hubungannya
sama sekali dengan game sehingga tidak mungkin game sangat diperlukan. “Tapi, bukankah
ayah bekerja tidak sebagai gamer?” Tanyaku yang heran.
Ayahku berkata lagi kepadaku “Tidak juga. Berkat game, ayah memiliki pemasukan
tambahan serta relasi yang luas untuk bisa saling tolong-menolong. Selain itu, di game moba
mengajarkan kita agar memahami role12
–nya masing-masing. Peran seorang captain13 jadi apa?
Peran seorang pemain tengah menjadi apa? Peran support14 seperti apa? Semuanya harus ada
komunikasi dan strategi yang baik agar kita bisa memenangkan pertandingan. Lagipula,
bukankah menjadi bermanfaat itu bisa meningkatkan nilai seorang manusia selama tidak
membebani diri sendiri?”
Kata-kata ayahku memang selalu hebat. Aku tidak pernah menyangka bahwa seorang
orang tua mendukung anaknya bermain game dan juga aku tidak pernah menyangka dari sudut
pandang ayahku bahwa game itu bermanfaat.
“Tapi, jangan lupakan kewajibanmu, mas Hiji.” Kata ayahku.
Seminggu sebelum Hari Anak Nasional, aku pernah menyarankan kepada teman-teman di
grup agar semakin sering untuk berdoa. Hampir semuanya merespon dengan tanggapan baik,
walaupun beberapa diantaranya tidak ada yang merespon. Alasanku memberikan saran tersebut
adalah karena teringat pesan ayah yang pernah disampaikan kepadaku sewaktu menjelang UN
SMP.
“Ayah, kenapa kalau mendekati UN, malah ada agenda doa bersama dan diharuskan rajin
beribadah?” Tanyaku yang agak penasaran. “Pertanyaanmu agak aneh.” Jawab ayahku dengan
senyuman. “Bukankah kalau melakukan ibadah maka waktu belajarnya akan berkurang?”
12 Peran
13 Kapten
14 Bantuan
Kataku. “Tuhan akan membantu hambanya yang membutuhkan serta Tuhan tidak akan merubah
nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau berusaha.” Kata ayahku.
Walaupun ayahku bukan seorang guru ngaji, tetapi memiliki landasan agama yang kuat
dalam keluarga ini. Ayahku bisa selalu mengatur antara hobi, pekerjaan, waktu keluarga, serta
ibadahnya dengan tepat.
Sesuatu yang ada di dunia ini sudah direncakan oleh Yang Maha Kuasa. Rencana yang
kita lakukan hanyalah angan untuk bergerak, tetapi keputusan terakhir di tangan-Nya. Sebagai
seseorang yang diciptakan-Nya, tugasku hanyalah mendekatkan diri kepada-Nya agar anganku
ini terwujud.
Sehari sebelum Hari Anak Nasional, aku menghubungi ayahku dengan cara yang terlihat
aneh yaitu main game. Aku mengajaknya duel lima lawan lima, tetapi kami bermusuhan di salah
satu game moba. Sebelum memulai permainan, aku dan ayahku saling memanggil lewat aplikasi
discord15 agar bisa berkomunikasi.
Aku kemudian berbicara beberapa patah kata “Ayah, bagaimana jika semua hal yang kau
ajarkan padaku akan kuberikan kepada orang-orang karena aku merasa apa yang ayah ajarkan
sangat bermanfaat bagi kehidupan semuanya terutama anak-anak.” Ayahku kemudian berkata
“Sepertinya kau harus melakukannya jika kau ingin menjadi manusia yang bermanfaat . Namun,
apakah nuranimu sudah siap dengan apa yang kau ingin lakukan?”
“Memang itulah yang diinginkan oleh hatiku!” Kataku dengan penuh semangat.
Hari Anak Nasional telah tiba, aku dan teman-temanku melaksanakan kegiatan tersebut
dengan santai. Sebelum kegiatan ini berjalan, ketuaku menyampaikan suatu hal dan dia
mengatakan bahwa kegiatan ini tidak perlu dijalani dengan serius, tetapi dijalankan dengan santai
dan semangat. Oleh karena itu, kami melakukan kegiatan ini dengan santai.
Setelah selesai kegiatan, aku dan teman-temanku saling mencurahkan perasaan masing-
masing. Kami semua tidak menyangka bahwa kegiatan ini tetap seru dilakukan walaupun hanya
bisa lewat daring. Sebelum sesi foto bersama, aku menyampaikan suatu kata-kata walaupun
bukan aku ketuanya. “Anak-anak merupakan seseorang yang akan menjadi remaja. Remaja
adalah seseorang yang akan menjadi pemuda. Lalu, pemuda adalah seseorang yang akan
membawa perubahan pada bangsa ini baik secara positif maupun negatif. Dengan begitu, dapat
15 Salah satu aplikasi untuk komunikasi
disimpulkan bahwa anak-anak akan membawa perubahan pada bangsa ini. Oleh karena itu, peran
kita hari ini adalah mengarahkan anak-anak agar menjadi pemuda yang dapat merubah bangsanya
menjadi lebih baik.”
Nama Pengarang : Muhammad Zhafran Bahij
IG : @rainfog.mzb